13 September 2010

Seri Cerita Remaja: Petuah Sang Ayah

Di suatu pulau di seberang lautan nun jauh, terdapat sebuah kota sebagai pusat perniagaan. Kota yang letaknya di tepi laut itu selalu ramai. Kapal-kapal dagang melakukan bongkar muat di pelabuhan setiap harinya. Salah satu pemilik kapal itu adalah Tuan Ahmad, seorang saudagar kaya raya di kota El Hikmah yang padat penduduk tersebut. Kapalnya besar dan bagus. Tuan Ahmad, seorang yang dermawan lagi pekerja keras. Kesuksesan yang dia miliki bukan didapat dengan mudah. Tuan Ahmad mempertahankan bisnis keluarga turun temurun selama beberapa generasi. Menjaga agar usaha keluarga itu tidak mengalami kemunduran.
Tuan Ahmad tinggal di rumahnya yang besar beserta istrinya, Nyonya Amina, dan kedua putrinya, Sarah dan Hannah. Keduanya bukanlah gadis sembarangan di kota El Hikmah. Keduanya merupakan putri-putri yang cantik. Sarah berambut panjang bergelombang, matanya coklat, wajahnya bulat telur, hidungnya mancung mungil, dan bibirnya yang kemerahan seperti mawar. Hannah, sang adik, tak kalah cantik dengan kakaknya dengan rambut, kuku, dan kulit terawat baik.
Sarah dan Hannah tumbuh menjadi gadis remaja. Suatu pagi di ruang makan. Keluarga itu menikmati sajian sarapan Tuan Ahmad memberi nasehat kepada kedua putrinya, mengajarkan kebijaksanaan agar menjadi pribadi yang anggun, baik hati dan cerdas, supaya kelak bisa melanjutkan perniagaan keluarga. Kata sang ayah, “Putri-putriku, kelak sebagian harta ini kuwariskan pada kalian berdua. Aku harap kalian bisa membagi dengan adil. Masing-masing mendapat setengahnya dari yang kuberikan. Sedangkan sebagian lagi akan kusumbangkan untuk ornag-orang yang tidak mampu.”
“Kenapa mesti demikian, Ayah? Jika dibagi untuk kami berdua saja tentulah kami akan mendapat bagian yang lebih besar jumlahnya?” Tanya Sarah tiba-tiba.
“Memangnya semua orang-orang miskin di daerah ini bekerja untuk Ayah? Tidak kan? Kenapa mereka mesti mendapat sebagian dari harta kita?” Hannah berucap dengan nada tidak senang. Tuan Ahmad tidak langsung merespon kata-kata putrinya.. .
“Ayah kalian hanya ingin berderma. Sedikit harta yang diberikan untuk seseorang, akan bermanfaat jika orang tersebut mampu memanfaatkannya.” Nyonya Amina, memberi nasehat dengan nada lembut dan bijak.
“Benar kata Ibu.” Tuan Ahmad setuju. “Jadi kunasehatkan ini kepada kalian. Mumpung kalian masih muda. Kalian masih punya waktu untuk belajar kebaikan. Dengan sebagian harta yang kuwariskan. Aku harap kalian bisa berpikir dan berusaha untuk menjaga bahkan mengembangkan perniagaan keluarga kita. Jika kalian sudah mendapatkan harta cukup, aku takut kalian akan malas bekerja. Hal tersebut malah akan membawa kerugian pada diri kalian sendiri.”
Sarah mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Ucapan orang tuanya dipahami benar, dirasakan dalam hati, dicerna dalam pikiran, dan disimpan dalam ingatan. Gadis itu mengakui kebenaran perkataan ayah ibunya. “Aku mengerti Ayah, Ibu. Aku akan belajar mandiri sekarang. Aku akan memulai dari pekerjaan rumah terlebih dahulu.”
Tuan Ahmad dan Nyonya Amina tersenyum mendengar ketulusan hati putri tertuanya. “Bagus!” Seru Tuan Ahmad gembira.
Sikap Hannah sangat bertentangan dengan kakaknya, lebih manja. Ini salah satu pengaruh dari kehidupan mewah yang serba ada Hannah sulit terbuka hatinya. Bagi Hannah, dengan harta, ia akan terselamatkan hidupnya.. “Tapi aku masih ingin menikmati masa mudaku. Aku ingin merasa senang setiap hari, karena masa-masa seperti ini tidak akan pernah kembali lagi.” Kata Hannah sambil bersungut-sungut.
Semakin hari Sarah semakin rajin belajar. Tak segan dia membantu pelayan di dapur dan membersihkan rumah. Dia lakukan pekerjaan tersebut dengan ikhlas karena ingin membuat orang tuanya bangga. Sarah mendapat bimbingan dengan baik, sehingga Sarah senang membantu pelayan di dapur.
Bahkan, Sarah bersedia ikut sang ayah ke dermaga mengangkut barang-barang bersama para pekerja. Walaupun pekerja bongkar muat itu semuanya laki-laki, Sarah tidak merasa malu. Hal itu dilakukan dengan hati riang. Tujuannya agar Sarah memahami sirkulasi barang perniagaan, mulai dari pelabuhan, hingga ke pasar. Para pekerja pun senang dengan Sarah. Jika putri tersebut melakukan kesalahan, tidak pernah marah ketika denasehati oleh bawahan ayahnya.
Bila malam tiba, si sulung belajar menyulam dengan ibunya dan agama pada ayahnya.. Sarah tak pernah lupa bersyukur kepada Allah yang telah memeberi kemakmuran dan keluarga yang menyayanginya.
Hannah lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya yang bagus. Kamarnya memang luas dengan jendela-jendela tinggi dan tirai satinnya menjuntai bersulamkan benang emas pada tepinya. Dia senang berada di depan cermin, bersolek, mencoba-coba perhiasan dan gaun-gaunnya, mengagumi kecantikan dirinya. Hampir setiap ayahnya pergi berlayar, dia meminta oleh-oleh berupa gaun baru dan perhiasan yang banyak.
Hannah sering memamerkan keindahan gaun dan perhiasan dari negeri seberang kepada teman-temannya. “Oh, Hannah, Gaunmu indah sekali. Perhiasanmu juga.” Hannah menjadi pusat perhatian di rumah seorang karibnya, suatu malam yang cerah berbintang. . Ketika itu sedang diadakan pesta ulang tahun yang sangat meriah. Sarah datang seperti tamu kehormatan..
“Tentu saja. Ini buah tangan ayahku dari negeri jauh. Sebuah daratan luas di seberang lautan sana. Gaunku ini dari sutra. Coba pegang, lembut bukan? Sulaman di gaun ini adalah benang emas! Dan perhiasan-perhiasan yang menempel di tubuhku ini dari mutiara yang mahal. Diambil dari lautan dalam.” Dengan penuh gaya, Hannah berdiri berputar-putar di sekeliling teman-temannya yang semakin terpana mendengar penjelasan tersebut.
Meskipun demikian, tidak semua teman-temannya senang dengan perilaku Hannah yang dianggap berlebihan. “Huh, kau memang sombong, Hannah!” Kata seorang gadis yang berpenampilan biasa-biasa saja.
“Hei Karin! Kau iri padaku. Aku tahu gaun yang kau kenakan itu adalah gaun bekas yang dijual di pasar loak. Karena itu adalah gaun lamaku.” Hannah tertawa mengejek lalu disambut tawa riuh rendah teman-teman lainnya. Sedangkan Karin, hanya bisa terdiam, merasa malu dan rendah dihadapan teman-temannya.
Suatu hari, Tuan Ahmad dan para awak kapal hendak kembali berlayar, mengarungi samudra luas untuk berniaga. Perjalanan tersebut bisa memakan waktu lebih dari satu minggu Sebelum berangkat, Tuan Ahmad berkata pada kedua putrinya, “Putri-putriku, oleh-oleh apa yang kalian inginkan? Insya Allah aku berjanji akan membawakannya sepulang dari berlayar.”
“Seperti biasa, Ayah. Aku ingin gaun dan perhiasan. Kali ini aku ingin gaun-gaun dari broklat, perhiasan dari emas putih berukir indah dan bertatahkan permata.” Hannah membayangkan benda-benda impiannya. Wajahnya berseri-seri. “Indah sekali, bukan? Pilihan gadis kelas atas.” Dia sudah tidak sabar.
“Kalau kau? Apa yang kau inginkan.” Tuan Ahmad beralih pada Sarah.
Sarah tidak memperlihatkan wajah antusias, “Apapun yang akan Ayah berikan padaku, pasti akan bermanfaat untukku. Aku percaya pada Ayah.”
“Aku akan menjaga putri-putri kita selama kau pergi.” Nyonya Amina. Turut melepas kepergian suaminya di dermaga. .
Selama beberapa hari, setiap sore, Sarah mengunjungi pelabuhan. Dia cemas dengan keadaan rombongan ayahnya. Benarlah firasat si sulung, warna langit di salah satu sudut cakrawala menampakkan kegelapan yang nyata. Sepertinya firasat itu menjadi kenyataan Yang terjadi, cuaca memburuk. Di langit tempat Tuan Ahmad berlayar tampak awan bergulung-gulung hitam lebat melayang. Menghalangi cahaya Matahari yang menyirami Bumi. Selama berhari-hari cuaca buruk, petir menyambar. Lautan tak setenang biasanya. Ombaknya besar menggunung, hujan turun sangat lebat. Telah terjadi badai menyapu kapal Tuan Ahmad.
.Sampai pada akhirnya, datanglah tiga orang dengan pakaian kusut, wajah lelah, dan tubuh penuh luka. Salah seorang berkata. “Maafkan kami, Nyonya. Kami tidak bisa menyelamatkan Tuan Ahmad. Kecelakaan itu terjadi cepat dan dahsyat. Hanya kami yang selamat. Kami bertahan dengan pecahan bagian kapal, dan mengayuh dengan patahan tiang untuk pulang kemari.” Ketiga pria itu tertunduk sedih.
Nyonya Amina terkejut bukan main. “Innalillahi.... Suamiku....” Dia lemah seketika. Tubuhnya serasa tak berdaya. Orang-orang di rumah saudagar berduka.
Sarah berlari ke dermaga dan memandang ke laut lepas. Dengan mata berkaca-kaca, dia melempar karangan bunga. Bunga-bunga yang harum itu kemudian dilahap ombak berbuih yang membawanya ke tengah samudra. “Selamat tinggal, Ayahku yang baik hati.” Suaranya tertahan oleh isak tangis.
Sementara itu Hannah, menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya. Dia mengurung diri seharian. “Ayah, kenapa kau harus pergi selamanya? Bagaimana dengan gaun dan perhiasan pesananku? Kapan aku bisa mendapatkannya lagi?” Hannah menangis meronta, menyesali kejadian yang menimpa ayahnya, karena membuat dia kehilangan harta yang sangat diidamkan.
Nyonya Amina dan dua putrinya tak menyangka, bahwa perkataan Tuan Ahmad saat sarapan pagi itu, merupakan nasehat terakhir. Tak lama kemudian, Nyonya Amina jatuh sakit karena terus menerus bersedih. Entah dari mana datangnya, penyakit itu menyerang Nyonya Amina secara tiba-tiba. Sehari-hari, nyonya hanya berbaring di ranjang. Pada awalnya Sarah dan Hanna secara bergantian mendampingi ibunya. Lama kelamaan, Hannah merasa bosan. Dia tak lagi bersama Sarah. Si bungsu itu merasa terikat bila harus terus-menerus di rumah. Dia kembali bersenang-senang memanjakan diri, kadang-kadang berpesta dengan teman-teman hinggal malam larut.
Seorang tabib dipanggil oleh Sarah. “Sepertinya penyakit Nyonya sulit disembuhkan.” Kata seorang tabib. “Maafkan saya karena tidak bisa mendeteksi, apakah penyakit ini dikarenakan oleh virus, bakteri atau jamur. Ini aneh.”
Sarah tertegun mendengar penjelasan sang tabib. Ini sudah yang kelima kalinya dia memanggil tabib. Dari kelima tabib yang berbeda, semua menyimpulkan sama, bahwa penyakit ibunya aneh dan sulit disembuhkan. Namun kelimanya mencoba memberikan resep obat untuk nyonya. Pembelian obat yang mahal secara terus menerus membuat krisis ekonomi keluarga.
“Hannah, kita harus berhemat. Ibu sedang sakit.” Sarah menemui Hannah yang sedang bersolek di kamarnya. Nampaknya, Hannah sedang bersiap hendak pergi bersenang-senang lagi.
“Aku tahu itu.” Jawab Hannah dengan nada acuh tak acuh. “Kalau demikian, kita harus memberhentikan semua pelayan. Karena kalau tetap dipekerjakan, mereka pasti akan protes, karena upah mereka selalu berkurang dan semakin lama tidak ada upah lagi, Kak Sarah.”
“Dan kau juga Hannah. Jangan membelanjakan harta untuk barang yang tidak penting.” Sarah menasehati.
“Aku membutuhkan barang-barang itu, Kak.” Hannah berbicara dengan nada ketus, “Dan itu adalah kepentinganku.”
Sarah menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan adiknya. Ternyata Hannah benar-benar tidak bisa dinasehati. Bahkan, adiknya itu hampir tidak mempedulikan ibu yang sedang terbaring tak berdaya.
Benar juga, keluarga itu akhirnya tidak mampu mnggaji pelayan. Kehidupan para pelayan yang juga tinggal di rumah saudagar itu tidak terjamin lagi. Upah mereka minim sekali. Tanpa sepengetahuan Nyonya Amina, dua putri terpaksa memberhentikan para pelayan.
“Paman dan Bibi semua, kami minta maaf. Kami tak bisa lagi memberi upah pada kalian. Sedangkan untuk memulihkan kembali perniagaan keluarga, tidak semudah yang kubayangkan selama ini. “ Sarah berkata sambil tertunduk sedih. “Seperti pesan ayah. Kantung-kantung yang akan kuberikan untuk kalian masing-masing ini, adalah upah kalian dalam jumlah beberapa kali lipat. Aku berharap, dengan pemberian terakhir yang tidak seberapa ini, kalian bisa meneruskan hidup kalian. Semoga kalian mendapat pekerjaan yang lebih baik lagi.” Sarah berkata sambil meneteskan air mata. Hannah tidak ada rasa penyesalan sedikitpun. .
Satu per satu, pelayan menerima sekantung uang, lalu pergi dengan perasaan sedih. Mereka telah mengabdi pada keluarta Tuan Ahmad selama belasan tahun. Pelayan-pelayan itu juga turut merawat kedua putri sejak lahir.
Setelah pelayan tidak bekerja lagi, rumah menjadi sepi. Nyonya Amina menyadari akan situasi yang terjadi. “Sarah, mana para pelayan? Mengapa rumah terasa sepi.... uhuk...uhuk....uhuk....” Nyonya Amina bertanya, suaranya lirih dan terbatuk-batuk.
Sarah yang mendampingi ibunya setiap hari, tidak berani berkata apa-apa. Dia malah menangis mendengar pertanyaan itu. Takut, ibunya akan semakin sedih bila dia berkata yang sebenarnya.
“Kenapa menangis, Nak? Apakah mereka semua sudah pergi?” Nyonya Amina cemas.
“Maaf, Bu. Terpaksa kulakukan. Karena keuangan semakin menipis. Tapi Ibu jangan khawatir. Aku akan bekerja. Semoga Hannah, mau menjaga Ibu selama aku bekerja di luar rumah.” Sarah berjanji. Dia selalu ingat nasehat-nasehat ayahnya.
Beberapa hari kemudian, Sarah mencari majikan baru yang mau menerimanya bekerja. Namun, karena orang-orang di kota El Hikmah mengenal Sarah sebagai putri saudagar yang ditinggal mati ayahnya lalu jatuh miskin, mereka meragukan kemampuan sang putri untuk bekerja. Para majikan pikir, putri-putri saudagar itu pasti ceroboh, dan tidak betah berada di depan tungku lama. Maka dari itu, mereka menolak.
Tapi ada suatu toko yang memandang lain sang putri. “Oh, Nona Sarah. Ada yang bisa saya bantu?”
“Apakah saya bisa bekerja di sini, Tuan? Ibu saya sakit sedangkan obatnya sangat mahal.” Sarah berkata dengan hati-hati.
Pemilik toko itu berpikir sejenak. Kemudian, “Baiklah. Kau boleh bekerja di sini, Nona.” Kata laki-laki bertubuh tambun itu dengan gembira.
“Terima kasih, Tuan. Semoga saya bisa bekerja dengan baik.” Sarah tampak senang. Matanya berbinar-binar.
“Aku percaya. Adikku adalah pekerja ayahmu. Jadi, aku sudah tahu kemampuanmu dari cerita Adikku.”
“Assalamualaikum, Nona Sarah.” Seorang pria jangkung muncul dari dalam.
“Waalaikumsalam. Oh, Paman Qomar. Kau rupanya adik pemilik toko kain ini.” Hari itu juga Sarah, memulai pekerjaanya. Dia membantu menjaga toko kain yang tidak begitu besar. Sebuah tempat dimana banyak sekali terdapat rak-rak berisi gulungan kain warna-warni. Sore hari Sarah pulang ke rumah dengan membawa sedikit upah, setiap hari.
Sedangkan Hannah yang dipercaya untuk menjaga Nyonya Amina, tidak bisa menjalankan tugas dengan baik. Dia tidak betah melakukan pekerjaan yang tidak disenanginya. Dia melayani sang ibu dengan setengah hati dan wajah selalu cemberut. Hannah malah melimpahkan penjagaan ibunya pada seorang tetangga. Beruntung wanita tetangganya itu baik hati. Meski wanita itu sibuk dengan pekerjaan rumahnya, dia meluangkan waktu untuk menjenguk dan merawat Nyonya Amina, karena sebagian besar orang-orang di kota dagang ini sibuk dengan pekerjaan mereka, baik pria maupun wanita. Tentunya, tetangga itu tidak bisa menjaga Nonya Amina sehari penuh.
Suatu sore datang seorang utusan dari Tuan Hamzah, saudagar lainnya di kota El Hikmah. Utusan itu menagih uang yang dipinjam Hannah beberapa bulan lalu, jumlahnya 500 keping emas. Pada waktu itu, Sarah baru saja pulang dari toko. Dia terkejut bukan main. Dia merasa adiknya memang keterlaluan. Dia jengkel, tapi juga sedih.
Kebetulan Hannah sedang tidak ada di rumah. Belum lama tadi, adiknya itu pergi. Dengan perasaan kesal, Sarah, mengambil barang-barang berharga milik Hannah lalu memberikan kepada utusan Tuan Hamzah. “Tuan, ini perhiasan milik Hannah. Semoga jumlahnya mencukupi untuk membayar hutangnya. Kalau harus dibayar dengan uang, kami tidak punya banyak.”
“Wah, cukup sekali. Terima kasih, Nona.” Lalu utusan itu pergi.
Sarah menunggu dengan cemas kepulangan Hannah hingga larut malam. Dicegahnya sang adik di depan pintu ketika hendak masuk kamar. “Hannah! Apa yang telah kau lakukan?! Apa kamu tidak ingat nasehat ayah?! Apa kamu masih belum juga sadar, bahwa perkataan ayah itu benar?! Kenapa kau tak bisa bersabar!”
“Maaf, kakakku Sarah! Aku tidak bisa bersabar terlalu lama. Aku tahu sekarang kita miskin. Makanya aku selalu mencari peruntungan di luar.” Hannah membawa sekantung uang emas. Ditunjukkan dengan rasa bangga.
“Apa kau berjudi, Hannah?!” Perkiraan buruk itu langsung muncul di benak Sarah. Lalu Sarah menceritakan perihal kedatangan utusan tuan Hamzah. Kakaknya juga bilang kalau dia telah memberikan perhiasan Hannah untuk membayar hutang..
“Apa?! Parhiasanku yang berharga?!!” Hannah buru-buru ke kamar dan memeriksa, kotak perhiasannya telah raib. “Keterlauan kau, Kak! Itu perhiasan kesayanganku!”
“Karena tindakanmu juga keterlaluan, makanya kuberikan.” Ucap Sarah.
Hannah semakin berapi-api. “Baik! Kalau begitu aku akan pergi dari sini. Aku akan mencari tempat yang menyenangkan untuk hidup. Aku akan meninggalkan kemiskinan ini!” Kemudian Hannah, berbekal sekantung uang emas hasil taruhannya, dia mengangkat kaki dan tidak kembali lagi ke rumah.
Dari atas ranjang, sayup-sayup Nyonya Amina mendengar keributan kedua purtrinya. Hatinya seperti disayat, dia sangat pilu. Dia menangis menahan kepedihan hatinya. Suaminya telah meninggalkannya, sekarang si bungsu juga akan pergi.
Sarah berlutut di samping ibunya. “Ibu, aku tidak bisa menahan Hannah.”
“Sekarang hanya kau yang kumiliki, putriku.”
“Bu, aku tetap bekerja atau kita tidak punya apa-apa lagi.”
“Pergilah, Nak. Ibu akan baik-baik saja selama kau di luar rumah. Ada tetangga yang memperhatikan kondisiku, meski tidak sering.” Nyonya Amina membelai Sarah dengan tangan lemas. Ibunya sekarang menjadi semakin kurus saja.
Sarah tahu, dia tidak bisa lama-lama di luar rumah. Ibu tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuan orang lain. Maka dari itu, Sarah mengajukan permohonan pada sang majikan untuk bekerja paruh waktu agar dia bisa segera pulang untuk merawat ibunya. Sarah juga rela jika upahnya dikurangi.
Pada saat yang sama, seorang pemuda memasuki toko. Dia juga hendak mencari pekerjaan. Jika dilihat dari penampilannya, dia bukanlah pemuda kaya. Dia membawa bungkusan dan tongkat kayu. Dia seorang pengembara, tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan tetap.
Karena melihat ketulusan hati Sarah saat memohon pada majikan, pemuda itu langsung menghampiri, “Jika diperbolehkan, separuh waktu kerja yang lainnya biar aku yang mengerjakan, Tuan. Namaku Amar, aku pengembara. Upah kerjaku akan kugunakan sebagai bekalku.”
Sang majikan, pemilik toko, kembali tertegun. Baru kali ini dia melihat ada peristiwa yang membuat hatinya tersentuh. Orang-orang yang saling menolong demi kebaikan. “Baiklah. Aku menyetujui usul kalian.”
Bulan pun berganti. Sarah mengenal Amar sebagai pemuda yang jujur, rajin, dan bertanggung jawab. Amar juga telah mengenal Sarah yang ternyata putri bangsawan, namun dia rajin bekerja. Mereka selalu bertemu pada saat pergantian jam bekerja. Jika sedang ada perayaan, toko sangat ramai, sehingga sang majikan meminta Amar untuk bekerja sehari punuh. Mereka berdua semakin mengenal satu sama lain.
Dan pada suatu hari, “Sarah, jika engkau memang tempat hatiku berlabuh, maka aku akan tetap tinggal di sini. Membantumu, berbagi masalah kebidupan yang rumit.” Kata Amar. Dia mengetahui seluk beluk keluarga Sarah dari majikannya.
Ucapan Amar, mengingatkan Sarah pada ayahnya. Gadis itu meyakini sungguh-sungguh, bahwa si pengembara itu adalah seorang yang berjiwa seperti ayahnya. Maka tanpa ragu, dia menerima Amar menjadi suaminya. Tidak ada upacara yagnmeriah dalam pernikahan tersebut. Dengan demikian Sarah bisa mengurus ibu sedangkan Amar yang bekerja di toko.
Nyonya Amina begitu bahagia, akhirnya dia bisa melihat putrinya menikah. Tapi dia juga sedih, karena putri dan menantunya harus bekerja keras setiap hari. Sang ibu juga sedih memikirkan nasib si bungsu yang entah di mana. Sampai saat ini belum ada kabarnya. Hampir setiap malam, Nyonya Amina menangis, tanpa sepengetahuan Sarah dan Amar. Dia menangisi nasib Hannah dan kasiahan pada Sarah. Anak-anaknya bercerai berai. Lagipula tak ada kerabat dekat yang dapat membantu mereka. Namun dalam hati, nyonya selalu memohon perlindungan dari Allah untuk keluarganya.
Suatu pagi yang dingin, Sarah membawakan air hangat untuk membasuh ibunya. “Saatnya aku membasuhmu, Ibu.” Si Sulung itu lebih mendekat lagi kepada ibunya. Dia memegang tangan ibunya, namun dingin sekali “Ibu...” Sarah menggoyangkan tubuh ibunya berkali-kali agar bangun Tapi, gadis itu mendapati ibunya telah tak bernyawa lagi. Sarah semakin sedih dengan kepergian ibunya. Sekarang dia dan Hannah tak punya orang tua lagi. Sayang, si bungsu tak tahu jika ibunya meninggal. Amar tak pernah berhenti mendampingi istrinya. Dia sangat kasihan pada Sarah. Mungkin ini adalah ujian hidup agar mereka berdua selalu sabar dan tidak mudah putus asa.
Sepeninggal Nyonya Amina, Sarah dan Amar memutuskan menjual rumah di kota El Hikmah, yang merupakan harta terakhir, pada sebuah keluarga yang datang dari luar koga. Mereka tidak akan maju kalau hanya menjadi pelayan toko kain saja. Dari hasil menjual rumah itu, meraka membeli tanah cukup luas di Desa Zamrud di kaki pegunungan yang sejuk, membangun rumah sederhana, dan hidup menjadi petani. “Maafkan aku Ayah, Ibu. Aku meninggalkan kota. Aku tidak bisa menjalankan amanatmu dengan sempurna, Ayah. “ Sarah berkata dalam hati dengan perasaan pilu, dan sedikit menysali kelakuan Hannah. Namun jika suatu hari adiknya berubah pikiran dan bertemu kembali, dia akan menerima dengan senang.
“Bagiku, kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan harta, Amar. Dengan bekerja sama, maka kita pasti bisa.” Sarah bangkit dari kesedihannya saat memulai hidup baru di desa.
“Benar, Sarah. Kita bisa mencari harta itu dengan bekerja bersama-sama. Sama seperti kita menginginkan keluarga yang utuh dan bahagia. Kita harus saling mengerti satu sama lain.” Tanpa banyak mengeluh, Amar dan Sarah menggarap lahan. Mereka tanam sayur-mayur dan buah-buahan. Hasilnya mereka jual ke pasar.
Uang hasil penjualan sebagian mereka sisihkan, baik itu pendapatan sedang naik atau menurun. Dari hasil jerih payah itu, mereka memperluas produksi dengan menambah areal perkebunan. Amar dan Sarah juga menyadari, tidak mungkin mereka menggarap lahan yang semakin luas itu hanya berdua saja. Mereka menerima beberapa orang untuk bekerja. Mereka berdua adalah majikan yang baik, membayar upah tepat pada waktunya, sehingga para pekerja terjamin kesejahteraannya. Ketika pendapatan sedang naik, Amar dan Sarah dengan senang hati memberi bonus upah untuk para pekerja. Lama-lama mereka bisa menjual hasil tersebut sampai ke kota El Hikmah yang letaknya jauh di tepi pantai.
Kebahagiaan Amar dan Sarah bertambah dengan hadirnya seorang putra, Sammi. Walaupun masih kecil, Sammi lincah dan sehat. Di tengah-tengah kebahagiaan tersebut. Sarah kembali teringat adiknya, Hannah. Ia ingin mencari Hannah ke kota El Hikmah dan sekitarnya. Sudah beberapa tahun dia tidak bertemu sang adik.
Sarah tidak tahu, adiknya telah menikah dengan seorang putra bangsawan. Tidak sulit bagi seorang Hannah dan suaminya tinggal di perbatasan Kota El Hikmah dengan Kota Hasana. Hannah sebenarnya menikah untuk menyelamatkan hidupnya dari kemiskinan, dan tidak kehilangan wibawa sebagai putri bangsawan. Suaminya selalu mencukupi kebutuhan ekonominya dengan harta yang melimpah. Siapa yang tidak terpikat dengan harta sebanyak itu? Namun sayang seribu sayang, Hannah tidak pernah ingat nasehat orang tuanya, dia memanfaatkan kebaikan suaminya untuk mendapatkan kesenangan hidup. Jika suaminya meminta bantuannya menimbang emas untuk di jual, maka Hannah akan mengurangi timbangan. Hasil korupsi tersebut untuk dinikmati sendiri. Hannah mengingkari kepercayaan suaminya.
Ketika suaminya sedang pergi berniaga, Hannah berpesta pora. Yang labih parah lagi, Hannah tergoda untuk kembali bertaruh di meja judi dengan uang yang tidak sedikit. Dia merasa yakin dengan kemenangan yang akan diperolehnya. Memang benar-benar beruntung, Hannah memenangkannya. Tergoda untuk bertaruh lagi, Hannah kembali memasang taruhan lebih besar. Lagi-lagi dia menang. Begitu hingga lebih dari lima kali taruhan, Hannah pemenangnya.
“Aku memang hebat kan?” Hannah tertawa bangga di hadapan teman-temannya. Tak jarang Hannah membagikan hasil peruntungannya kepada teman-temannya.
“Ayo Hannah, Kau saja yang bertaruh. Kalau kau pasti menang. Kan kami juga yang untung.” Bujuk salah seorang temannya.
“Benar Hannah! Bertaruhlah lebih besar kalau kau berani!” Bujuk yang lainnya.
Nampaknya setan telah berbisik di hati Hannah melalui bujukan teman-temannya. Hannah menyetujui, “Baik! Aku tidak takut. Kali ini aku akan bertaruh rumah dan seisinya!” Sungguh, Hannah telah dibutakan matanya dengan kemilau kejayaan semu.
Di luar dugaan semua orang yang berkeliling di meja judi tersebut, bahwa Hannah kalah! Istri bangsawan itu kebingungan bukan kepalang. Apa yang akan dia katakan pada suaminya, bahwa rumahnya telah dijadikan taruhan.
Tanpa ba bi bu lagi, pemenang judi tersebut mendatangi tempat tinggal Hannah dan suaminya. Dia meminta suami istri itu meninggalkan rumah, segera. “Istrimu telah mempertaruhkan rumah bagus ini seisinya tadi.”
Bangsawan itu terkejut, “Apa?!” Kemudian dia beralih pada istrinya, “Hannah! Kau benar-benar keterlaluan. Tega sekali kamu memanfaatkan aku! Apa yang kuberikan selama ini kurang cukup?! Padahal perniagaan kita sedang seret akhir-akhir ini, karena mereka tidak puas dengan hasil penimbangan di tempat kita yang lebih sedikit daripada di tempat lain. Kenapa kau tidak jujur, Hannah!” Suaminya sangat murka. “Sekarang juga, kau bukan istriku lagi!!”
“Tapi suamiku. Pasti terjadi kesalahan semalam sehingga aku kalah. Pasti dia telah curang.” Hannah memohon belas kasihan, “Dimana lagi aku akan tinggal?”
“Pintu maafku sudah terkunci rapat. Kau tau! Kesalahan terbesarku adalah memperistrimu! Gara-gara ini, aku harus berusaha keras mengembalikan kepercayaan orang atas perniagaan dan juga membangun kembali tempat tinggal.”
Hannah yang diusir, menyusuri jalanan di kota. Perasaan sesalnya tidak berarti apa-apa sekarang. Sepanjang jalan, Hannah merasa malu karena semua orang serasa menatap dengan pandangan mencela. Dia berniat kembali pada ibu dan kakaknya.
Hannah sampai di depan pintu rumah orang tuanya. Dengan muka memelas dan penuh penyesalan, serta tubuh yang lelah, Hannah mengetuk pintu dengan keragu-raguan. Dia khawatir akan diusir lagi.
Sepasang suami istri dan keempat anaknya, muncul dari balik pintu. Hannah dan keluarga itu saling berpandangan dengan heran. “Siapa kau? Kenapa tinggal di rumahku?”
“Ini rumah kami. Kami membeli dari suami istri Sarah dan Amar.” Kata tuan rumah.
“Lalu ibuku kemana?” Tanya Hannah lagi.
“Kata tetangga, Nyonya rumah ini sakit keras. Dan sudah meninggal lama, sejak putri bungsunya pergi dari rumah.” Kata nyonya rumah, sepertinya ibu empat anak itu tahu siapa yang datang. Dalam hatinya dia yakin bahwa gadis kumal dengan pakaian mewah di depannya ini adalah putri bungsu tersebut. “Kemudian, katanya, Sarah dan Amar, pindah ke Desa Zamrud.”
Hannah menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan itu, namun sekarang sudah tak ada gunanya lagi menyesal. “Akulah si bungsu yang tidak tau diri itu.” Katanya dalam isak yang dalam.
Hannah tahu, desa tempat tinggal kakaknya jauh dari kota El Hikmah. Dia pikir, kesalahannya sangat banyak dan kakaknya belum tentu menerimanya lagi. Dia memutuskan bekerja di pasar, menjadi anak buah seorang pedagan sayur dan buah. Upahnya tak seberapa. Hanya cukup untuk makan dan menyewa sebuah kamar apartemen tua reot di sebuah gang kecil dekat pasar. Tak ada jendela-jendela tinggi bertirai satin bersulam benang emas, tak ada ranjang empuk yang bagus, tak ada cermin yang besar, apalagi meja rias, tak ada pula kursi malas. Awalnya Hannah malu menjalani pekerjaan itu. Tapi demi kelangsungan hidupnya, mau tak mau dia harus menerima nasib.
Takdir mempertemukan kembali kedua putri Tuah Ahmad tersebut. Seorang pegawai Amar dan Sarah mengetahui bahwa ada seorang wanita cantik, berkulit bersih, wajahnya mirip dengan Sarah, sedang berjualan di pasar. Menurut majikan wanita cantik itu, namanya Hannah dan punya seorang kakak yang tinggal di Desa Zamrud, tapi wanita cantik itu lebih banyak menutup diri. Segera Sarah meminta pelayannya menjemput Hannah. Sarah senang karena adiknya mau ikut ke desa.
Suasana yang mengharukan itu langsung terjadi begitu Hannah tiba di rumah Sarah pada sore hari.. Sarah dan Hannah saling berpandangan, terkejut. Sarah, didampingi Amar dan Sammi, kaget melihat adiknya, dimana pakaiannya sudah banyak tambalan. Begitu juga dengan Hannah, dia terkejut melihat kakaknya yang berhasil. Persis seperti apa yang dinasehatkan ayah dulu. Hannah baru menyadari setalah dia kehilangan segalanya. Dia telah mendurhakai orang tua dan kakaknya.
Sarah memeluk adiknya. Air mata keduanya menetes karena bahagia.“Hannah, kau bisa tinggal di sini. Kamu bisa belajar hal baru di sini.”
“Terima kasih, Kak Sarah. Tapi aku tidak mau merepotkanmu lagi. Aku akan kembali ke kota dan membantu berjualan di pasar. Majikanku orang baik. Aku rasa aku bisa belajar dari mereka. Kalau aku di sini, bisa saja hidup serba kecukupan. Benar kata ayah, aku sudah banyak hidup dalam harta melimpah, dan akhirnya malah jadi begini.”
Keputusan itu membuat bangga Sarah, tapi juga sedih karena mereka tidak bisa berkumpul. Demi kebaikan Hannah, Sarah tidak melarang apa yang telah menjadi keputusan adiknya. “Semoga kebaikan selalu menyertaimu, Hannah.” .




MAHA BESAR

Seekor kutu loncat termangu ketika dia kaluar dari sarangnya di padang rumput tepi hutan. Si kutu memandang ke padang yang luas sambil berpikir betapa kecilnya dia berdiri di antara rerumputan yang tumbuh subur.
“Aku ingin bertemu binatang yang lebih besar dariku.” Gumamnya. Kemudian dia melihat barisan semut lewat. Mereka mengangkut makanan dengan cara gotong royong.
Kutu memanggil salah satu dari semut-semut tersebut, yaitu seeekor semut yang berjalan paling akhir. “Hei, Semut!”
Semut itu menoleh dan segera menghampiri si kutu. “Ada apa, kutu?”
“Aku senang bisa bertemu denganmu wahai semut. Kau adalah binatang yang lebih besar daripada aku.”
“Tapi aku bukan yang terbesar. Masih ada yang lebih besar daripada aku.” Semut berkata dengan rendah hati. “Aku pun merasa bahwa aku ini kecil.”
“Apa aku bisa bertemu dengan binatang yang lebih besar itu?” Tanya Kutu.
“Tentu saja. Ayo ikuti aku. Dia tinggal di dekat sarang semut.” Semut mengajak kutu ke sarangnya.
Di perjalanan, kutu-kutu lain dan binatang-binatang renik lainnya berkata dengan keheranan, “Lihat! Seekor kutu berteman dengan semut.” Namun, Semut dan Kutu tidak mempedulikannya. Yang penting bagi mereka adalah bertemudengan binatang yang besar itu.
Sesampainya di dekat sarang, Semut menunjuk pada sebuah lubang besar. “Nah, di gua itulah dia tinggal. Dia suka mengganggu kami, karena dia suka menggali tanah dan melewati areal pertanian para semut. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Ucap Semut dengan muka masam, dia berbalik dan kembali ke sarangnya..
Si kutu mendekati mulut gua dan berseru. “Halo, binatang besar! Aku seekor kutu loncat ingin bertemu denganmu!”
Lalu sebuah kepala berhidung runcing menyembul dari mulu gua. “Apa kau mencariku, makhluk kecil? Aku adalah Tikus tanah. Aku sedang menggali, itulah pekerjaanku.”
Kutu terkagum melihat si tikus tanah. Bulu-bulu di badannya itu pasti hangat dan nyaman baginya. “Wah, kau memang besar. Aku telah bertemu binatang yang lebih besar daripa semut.”
“Kau salah, Kutu. Masih ada yang lebih besar lagi. Aku ini merasa kecil dihadapannya.” Sahut Tikus tanah.
“Oh, benarkah itu? Siapa yang lebih besar darimu? Maukah kau menunjukkannya padaku?” Pinta Kutu..
“Sebenarnya aku tidak berani jika harus berhadapan dengannya, karena dia sangat buas dan menakutkan.” Ujar tikus tanah. “Tapi karena kau penasaran, baiklah. Akan kuantar kau. Tapi kita lihat dari jauh saja, ya?”
“Baiklah, Tikus. Aku sudah tidak sabar lagi ingin melihat binatang besar itu.” Si kutu loncat sangat antusias.
Kutu naik ke punggung tikus. Mereka melakukan perjalanan melalui jalur bawah tanah yang dibuat oleh sang tikus. Di perjalanan cacing dan rayap menyapa mereka. “Tikus, hati-hati dengan kutu busuk di punggungmu itu. Dia hanya akan menjadi parasit bagi binatang yang berbulu.” Namun, kutu dan tikus lagi-lagi tidak mempedulikannya, hingga mereka keluar dari tanah dan tiba di bawah pohon yang rindang. Tikus menoleh kesana-kemari, takut kalau tiba-tiba binatang buas itu memburunya.
“Jadi, dia ada di mana sekarang?” Tanya kutu penasaran.
Tikus hanya menggeleng tanda tidak tahu. Tiba-tiba.... “Meooong!” Ada suara dari atas pohon. Seekor kucing belang melompat turun dari dahan. Dengan demikan, bertambahlah rasa takut si tikus tanah. Cepat-cepat dia beringsut dan melarikan diri. Tinggallah si kutu yang terkagum-kagum berdua dengan kucing.
“Hahahaha.... Tikus adalah binatang penakut.” Ejek kucing. Dia menunduk ke bawah, menyapa kutu. “Selamat datang, Kutu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Wah, kau memang menakutkan. Pandanganmu terlihat culas, bulumu lebat, dan gigimu tajam. Pantas saja si tikus lari terbirit-birit. Tapi aku senang bisa mengenalmu, binatang besar.” Kutu terpana.
“Apa aku sebegitu menakutkannya? Aku rasa tidak.” Sahut kucing. “Masih ada yang lebih besar dan berbahaya daripada aku.”
“Masih ada lagi??” Kutu terbelalak. “Seberapa besar dan menakutkan dia? Dimana aku bisa menmuinya?”
“Kau akan butuh waktu berhari-hari untuk menuju ke sana, tapi aku bisa lebih cepat sampai dengan berlari sebentar.” Kucing membusungkan dada. Dia agak angkuh di hadapan makhluk sekecil kutu.
“Benarkah? Kalau begitu antarkan aku ke sana. Jika aku naik ke punggungmu tidak akan menjadi beban, bukan?” Kutu memohon.
“Baiklah.” Setelah kutu naik di punggung kucing, segera binatang berkumis itu berlari ke tengah padang rumput. Dia berhenti agak jauh dari sekawanan sapi yang sedang asyik memamah biak. Kucing menyuruh kutu turun dari punggungnya. “Nah, sekarang kau bisa melihatnya. Binatang besar yang mengerikan itu. Dia adalah sapi.”
Kutu mengamati gerombolan sapi itu sejenak. “Aku rasa tidak ada tampang menyeramkan dari binatang itu, tapi dia memang sangat besar. Mungkinkan dia mau jadi temanku?”
“Coba saja kau dekati. Aku tidak mau ikut. Bisa-bisa aku terinjak olehnya, seperti yang telah terjadi pada saudaraku.” Kemudian kucing berlari pulang.
“Kucing juga penakut.” Kutu tertawa. Lagi-lagi dia sendiri di tengah padang rumput bersama kawanan sapi. Susah payah dia mendekat dengan hati-hati. Sesekali terdengar suara sapi-sapi mangunyah rumput. Sungguh kutu dibuat terkejut oleh kehadiran mulut sapi yang hendak melahap rumput tempat kutu berdiri. “Stop!!! Jangan kau makan aku!” Seru kutu.
Spontan, sapi yang hendak melahap rumput di depan kutu itu berhenti bergerak. Matanya melongok ke bawah, mencari sumber suara. “Oh maaf, Kutu. Aku tidak tahu kalau kau ada di situ. Sedang apa kamu di sini?”
“Aku ingin bertemu denganmu, Sapi. Kau adalah binatang yang sangat besar. Apakah kau makhluk terbesar di dunia ini?”
“Wahai kutu, Aku memang lebih besar daripada kamu. Tapi aku bukanlah yang terbesar. Ada binatang yang paling besar di padang rumput ini. Kau mau melihatnya. Ayo naik ke badanku, kita akan pergi ke tempat para binatang berkumpul. Kebetulan kelompokku juga akan pergi ke sana untuk minum.”
Seperti yang sudah-sudah, kutu selalu naik ke punggung binatang yang akan mengantarkan ke tempat tujuan. Perjalanan tidak begitu jauh. Mereka tiba di sebuah oase. Lalat dan nyamuk yang sering menghinggapi tubuh sapi menyapa kutu.”Apa kau sekarang kau tinggal di antara bulu-bul sapi yang hangat ini?”
“Tidak. Dia mengantarkanku ke tempat dimana binatang paling besar berada.” Jawab kutu.
Setibanya di oase, kutu melihat pemandanan yang belum pernah dia lihat selama dia hidup. Beraneka ragam binatang berduyun-duyun ke situ untuk minum. Mulai dari yang seukuran kucing, hingga yang paling besar. “Hei sapi, apakah dia yang bertelinga lebar dan berhidung panjang itu binatang paling besar?”
“Ya, dialah yang paling besar. Tidak ada lagi yang lebih besar daripada gajah di sini.”
Kutu yang berada di punggung sapi benar-benar takjub. “Luar biasa.” Gumamnya. Dia memperhatikan para gajah yang sedang bermain sembur-semburan air. “Sapi, apakah kau mau lebih mendekat kepada gajah itu agar dia bisa melihatku dan aku bisa berbicara padanya?”
“Aku siap menolongmu.” Sapi yang baik hati itu berjalan ke samping seekor gajah dan berkata. “Wahai gajah, sahabat kecilku ingin berkenalan denganmu. Binatang yang paling besar.”
“Kutu kecil inikah sahabatmu, Sapi? Tapi sayang seribu sayang. Aku bukanlah yang paling besar di dunia ini. Masih ada yang lebih besar lagi daripada aku.”
Semua terheran. “Apa ada yang masih lebih besar daripada engkau, gajah?” Seekor jerapah bertanya.
“Ya.” Kemudian gajah menyuruh seekor elang untuk mengantarkan kutu ke pasisir. “Di laut kau akan menmukan paus biru. Dia binatang paling besar di dunia ini.”
Elang terbang melayang membawa kutu di sela-sela bulunya. Dia sangat gesit dan kuat. Sesampainya di laut, elang menyeruakan suaranya yang nyaring melengking. Dia berputar putar di udara. Tak lama kemudian seekor paus biru muncul dari dalam air. “Apa kau mencariku, elang?” Tanya si raksasa.
“Ya, karena aku membawa teman kecil yang ingin berkenalan dengan yang paling besar di dunia.” Sahut elang. Dia terus terbang berputarn mengitari paus biru.. Sementara si paus tetap berenang sambil sesekali menyelam.
“Siapa teman kecil itu?” Tanya paus biru.
“Aku. Si kutu loncat dari tepi hutan.” Jawab si kutu. “Sungguh hebat. Aku bisa menyaksikan makhluk terbesar di dunia ini.”
“Begitulah, aku memang makhluk paling besar di Bumi. Tapi apakah kau tidak tahu bahwa masih ada lagi yang lebih besar daripada makhluk yang paling besar sekali pun?” Ujar paus sambil menyemburkan air.
Elang dan kutu keheranan bukan main. “Apakah masih ada yang lebih besar dari engkau, Paus? Seberapa besar dia?”
“Ya. Dia yang menciptakan aku dan juga kalian. Dia yang mengatur rizki bagi tiap makhluknya. Dia mempunyai sembilan puluh sembilan sifat yang serba maha. Dialah Sang Maha Besar. Dia adalah Allah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar