20 Oktober 2010


Susahnya Merumuskan Rambu Penunjuk Jalan


     Tajuk tersebut tidak bermaksud provokatif. Senyatanya, kita sebagai pengguna jalan pasti mafhum atas pusparagam redaksional petunjuk rambu umum, baik itu berupa teks ataupun imbauan memakai sesuatu dengan baik, aman, nyaman. Kita bayangkan betapa pemangku kepentingan—di antaranya pemerintah setempat,  pihak kepolisian—bermaksud baik agar sebuah petunjuk bermanfaat bagi kemaslahatan meskipun tak sedikit yang malah membingungkan.

     Kita masih ingat soal penulisan "Belok Kiri Jalan Terus". Saat itu, JS Badudu sempat memberikan kritik dari sisi bahasa. Rambu yang kerap dijumpai di kota priangan Bandung tersebut, menurut Badudu, malah tak mengizinkan orang belok ke kiri. Bagaimana mau belok ke kiri, lha, orang-orang disuruh jalan terus. Kalimat tepatnya ialah "Belok Kiri Langsung". 
      Setali tiga uang dengan kota yang punya Gedung Sate, di kota gudeg yang punya Istana Negara, Yogyakarta, petunjuk arah yang membingungkan juga kerap kita jumpai, yaitu rambu "Ke Kiri Ikuti Lampu". Tulisan berbahasa Indonesia tersebut umumnya disertai istilah asing "Left Turn Signal", "Turn Left Go a Head", "Straight Signal", "No Turn on Red". Dari sisi bahasa, satuan kata tersebut tentu multitafsir. Sah-sah saja orang berpendapat, "Aku harus ke kiri kalau lampu berwarna hijau". Orang lain akan berpendapat, "Aku akan melajukan kendaraan jika lampu sudah berwarna merah." Sah-sah juga apabila seorang pengendara berseloroh, "Aku tidak akan jalan-jalan karena lampu yang aku ikuti tidak jalan juga." Bagaimana mau jalan, lampu yang diikuti adalah lampu petromak, atau lampu penerangan  jalan yang sampai sepuluh tahun pun akan tetap di tikungan jalan. Momok itu semua karena ketidakjelasan acuan arahan "ikuti lampu"; lampu apakah gerangan? Parah lagi, kalau mengacu ke bahasa kuminggris, Turn Left Go a Head bisa saja kita terjemahkan bebas menjadi belok kiri "gundul pringis". 

     Di kota yang dipimpin oleh wagiman, wali kota yang gemar tanaman, Herry Zudianto ini, banyak rambu jalan yang berbasis sepeda kayuh. Ada istilah "Ruang Tunggu Sepeda" di perempatan-perempatan besar. Ada rambu "Jalur Alternatif Sepeda ke..." di banyak ruas jalan. Hatta penulisan kedua petunjuk itu pun belum bisa dikatakan sukses karena multimakna pula.




     Di sisi lain, ada ragam cara pak polisi ataupun petugas lalu lintas jalan raya menyampaikan imbauan cara memakai helm yang benar. Hari-hari ini acap kali kita saksikan iklan layanan masyarakat yang dibintangi oleh mbak pemenang kontes kecantikan. Doi memberikan arahan kepada sepasang pria dan perempuan yang berboncengan motor agar menggunakan helm hingga terdengar bunyi klik. Di berbagai sudut jalan yang stategis terpampang spanduk bertuliskan "Gunakan helm standar dengan baik dan talikan dengan kencang", " Pakailah helm hingga bunyi klik", "Klikkan helm agar anda selamat sampai tujuan".

     Fakta tersebut sangat mungkin juga terjadi di berbagai tempat di Tanah Air. Inilah persoalan pemakaian bahasa yang mestinya menjadi persoalan bersama antara pemerintah sebagai pembina dalam urusan berbahasa dan masyarakat sebagai pengguna bahasa. Tak berlebihan kiranya penyusunan rambu "Ke Kiri Ikuti Lampu", "Jalur Alternatif Sepeda ke Jalan...", "Ruang Tunggu Sepeda", dan lain sebagainya dijadikan bahan diskusi di ranah akademik, birokrat, hingga praktisi. Tidak tertutup kemungkinan juga melibatkan peran serta masyarakat, misalnya dalam wujud sayembara penyusunan redaksional rambu umum. Semua temuan, hasil kajian di level daerah-daerah tentunya akan ditarik ke pusat sebagai eksekutor.

     Kita ketahui, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta  Lagu Kebangsaan, di antaranya, mengatur rambu umum (dan petunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum).
     Semoga saja, payung undang-undang tersebut menyentuh level problematika yang dikemukakan di alinea-alinea sebelumnya. Alangkah aman dan nyamannya manakala ada standardisasi redaksional rambu petunjuk arah dan rambu umum lainnya. Jadi, ketika orang Papua motoran di jalan-jalan Yogyakarta tidak perlu waswas kena semprit petugas karena paham rambu untuk belok ke kiri-ke kanan dan sebagainya. Orang di Sulawesi tidak perlu bimbang berkelana di jalan-jalan di Surabaya karena imbauan spanduk tentang pemakaian helm yang baik sama dengan yang ia jumpai di kotanya.


19 Oktober 2010


Ada yang Salah dengan 
Pengajaran Sastra




Korupsi kian akut. Kolusi nepotisme masih saja bukan modus tabu. Semua bahkan dilakukan berjemaah. Partai A hingga partai Z, di institusi anu sampai institusi itu, dari level situ hingga tingkat sana selalu saja ada sang korup. Tatanan kehidupan geming dalam karut-marut, absurd.

Itulah cermin kekinian negeri. Semua bermuara pada: Ada yang salah dengan pengajaran sastra. Hatta sukar nian menemukan pejabat, politisi, atau siapa pun yang memiliki kepekaan terhadap kondisi yang dihadapi bangsa ini.

Demikianlah satu sorotan buah pikir Acep Zamzam Noor, pujangga kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, saat menyua dua ratusan ahli bahasa, pakar bahasa, praktisi bahasa, sastrawan, pendidik dalam perhelatan Sarasehan Kebahasaan dan Kesastraan bertajuk "Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Peningkatan Kualitas Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah" yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta, di Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta.

Ia membandingkan antara pengajaran sastra dahulu dan masa kini.
Betapa, besutan pengajaran sastar tempo doeloe mampu mencetak orator-orator andal ala Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Bung Tomo, Natsir, Hamka. Pidato mereka bukan hanya hidup dan indah, melainkan juga sarat makna mendalam yang bikin bulu kuduk siapa pun merinding dibuatnya. Kata-kata yang terucap merupakan rangkaian kata yang telah mereka pahami, hayati, dan jalani. Untaian kata terlahir dari lubuk hati, bukan sebatas luapan kata umpama busa di bak mandi.
Kontra dengan generasi milenium kedua ini. Semua kerap menyaksikan sejumlah politisi muda mengutip teks sastra di saat kampanye pemilu. Kutipan-kutipan tersebut dipasang di baliho-baliho, dan lain sebagainya. Sayang, tak ada keselarasan antara teks dan citra yang melekat pada pribadi mereka. Kata-kata yang terucap tidak matching dengan gerak bibir, ekspresi wajah, dan sorot mata, hingga gestur, apalagi suasana kalbu/hati. 

Penyair yang beberapa kali mendapat Hadiah Sastra Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda untuk puisi Sunda terbaik dan pernah tinggal tiga tahun di Italia ini menyodorkan fakta betapa pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah zaman dahulu sungguh berbobot. Taufiq Ismail pernah mengadakan penelitian mengenai pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah di sejumlah negara. Konon, pascakemerdekaan RI, siswa-siswi tak lagi wajib membaca buku sastra. Padahal, di sejumlah negara, tiap murid diwajibkan membaca 5 hingga 32 buku dalam tiga tahun masa sekolahnya. Padahal, sekolah menengah pada zaman kolonial mewajibkan peserta didik membaca minimal 25 buku, di samping kewajiban mengarang. 

Pada akhirnya, banyak warga Indonesia—dengan status, fungsi, peran masing-masing—tak cukup peka, bahkan "tumpul" terhadap kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini.

Sob, saya kira, bangsa ini masih ada kesempatan buat memperbaiki diri agar mampu mencetak ksatria piningit, sosok yang mampu menjadikan cahaya Indonesia mendatang lebih cerah. 
Caranya? Siapa lagi kalau bukan diri kita sendiri, kapan lagi kalau bukan sekarang, dan di mana lagi kalau bukan di sini, di negeri sendiri, buat berkontribusi dengan cara masing-masing.

Arkian, saya kutipkan saran Acep Zamzam Noor agar pembelajaran sastra makin ciamik.
  • Selain pengajaran sastra yang harus dilakukan lebih serius lagi di sekolah, kampus, maupun sanggar-sanggar, tampaknya dibutuhkan juga terobosan dalam upaya mendekatkan sastra kepada pembacanya, yaitu masyarakat luas. Terobosan ini harus terus dilakukan untuk menyadarkan semuanya, khususnya generasi muda, mengenai sikap kebangsaan yang kian hari makin sirna. Terobosoan harus kreatif, impresif, imajinatif.
  • Karya sastra jangan hanya terkerangkeng di kelas-kelas sekolah, ruang-ruang kampus, perpustakaan atau lembaran-lembaran kertas. Para sastrawan, aktivis, pencinta sastra harus sama-sama bergerak memperluas wilayah apresiasi dengan kemampuan serta latar belakang masing-masing. Pembacaan sastra, dramatisasi sastra, musikalisasi sastra yang selama ini sudah berjalan di banayk daerah harus terus dilakukan, di samping terobosan kreatif lainnya. Mal, supermarket, kafe, restoran, karaoke, radio, televisi lokal, madrasah, pesantren, pasar tradisional, gedung dewan, kantor pemda, kejaksaan, pengadilan, kodim, polres, bahkan penjara, hingga lokalisasi pelacuran akan sangat indah seandainya bisa dimasuki karya sastra.

Sosok

Acep Zamzam Noor

Tempat, Tanggal Lahir: Tasikmalaya, 28 Februari 1960.
Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Pada 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As ­Syafi'iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987).
Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993).
Mengikuti workshof seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996).

Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibu kota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur'an, Jurnal Puisi serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia. Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007), Rambut Ikal (Pustaka Azan, 2010), Marak Cahaya (dalam proses) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994.
Sejumlah puisinya termuat dalam beberapa antologi penting seperti Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987), Dari Poci I/ (Tiara, 1994), Ketika Kata Ketika Warns (Yayasan Ananda, 1995), Takbir Para Penyair (Festival Istiglal, 1995), Negeri Bayang-bayang (Festival Surabaya, 1996), Dari Negeri Poci 1// (Tiara, 1996), Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996), Utan Kayu: Tafsir Dalam Permaianan (Kalam, 1998), Bakti Kemanusiaan (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2000), Angkatan 2000 (Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Napas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan lain-lain.
Sejumlah puisinya juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan termuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), Aseano (Manila, 1995), In Words In Colours (Jakarta, 1995), A Bonsai's Morning (Bali, 1996), Journal of Southeast Asia Literature Tenggara (Kuala Lumpur, 1996), diterjemahkan Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (Ohio University Press, 2001), Poetry And Sincerity (Jakarta, 2006), Asia Literary Review (Hongkong, 2006) serta The S..E.A. Write Anthology of Asean Short Stories and Poems (Bangkok, 2008). Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan termuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004), diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan termuat dalam Orientierungen (Bonn, 2008), diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal dan termuat dalam Antologia de Poeticas (Jakarta, 2008). Belakangan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jepang dan Arab.
Puisi-puisi Sundanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modem Sundanese Poetry., Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan ke dalam bahasa Perancis oleh Ajip Rosidi dan Henri Chambert-Loir untuk Poemes Soundanais: Anthologie Bilingue 
(Pustaka Jaya, 2001).
Beberapa kali mendapat Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda) untuk puisi Sunda terbaik. Kumpulan puisinya, Di Luar Kata, meraih Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2000 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sedang kumpulan puisi Jalan Menuju Rumahmu selain mendapat Penghargaan Penulisan (SEA) Karya Sastra 2005 dari Pusat Bahasa, juga mendapat South East Asian Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand. Mendapat Anugerah Budaya 2006 dari Gubernur Jawa Barat. Mendapat Anugerah Kebudayaan (Medali Emas) 2007 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Kumpulan puisinya, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Namanya termuat dalam Ensiklopedi Sunda dan Apa Siapa Orang Sunda susunan Ajip Rosidi.
Tahun 1995 mengikuti Scond ASEAN Writes Conference di Manila, Filipina, mengikuti Festival Puisi Indonesia-Belanda dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Tahun 1997 mengikuti Festival Seni 1po/7 //, di 1poh, Malaysia. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Wintemachten Overzee di Jakarta, mengikuti Kuala Lumpur Southeast Asian Writers Meet di Kuala Lumpur, Malaysia. Tahun 2002 mengikuti Festival Puisi Intemasional Indonesia di Makassar. Tahun 2004 mengikuti Wintemachten Poetry International Festival di Den Haag, Belanda. Tahun 2006 mengikuti Festival Puisi Intemasional 2006 di Palembang, mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2006 di Bali. Tahun 2007 mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale di Magelang, menjadi mentor pads Bengkel Puisi Majlis Sastra Asia Tenggara (Masters) di Samarinda. Tahun 2008 mengikuti Temu Sastrawan Indonesia di Jambi, mengikuti Jakarta International Literary Festival di Jakarta, mengikuti Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Tahun 2009 mengikuti Nusantara Poetry tattering di Kuala Lumpur, Malaysia.

Sumber:
Makalah Acep Zamzam Noor dalam Sarasehan Kebahasaan dan Kesastraan, Yogyakarta 2010; acepzamzamnoor.blogspot.com



Ada Baiknya Ujian Mengarang Digaungkan Kembali...




Saya tergelitik setelah membaca opini Junaidi Abdul Munif di sebuah media massa. Artikel tersebut bertajuk "Hilangnya Ujian Mengarang". Lokus tulisan tersebut terletak pada pernyataan, "Mengarang erat kaitannya dengan komunikasi, baik tulisan ataupun lisan. Bagaimana seseorang menyampaikan gagasan, keinginan, kegundahan, dan segala perasaan yang dia rasakan. Semua itu memerlukan seperangkat bahasa yang baik agar menghasilkan output yang baik pula. Masyarakat yang jauh dari bahasa, kering diksi, akan memunculkan masyarakat yang kaku dalam berkomunikasi."


Nyatanya, porsi kegiatan menulis di sekolahan sangat sedikit. Buku-buku pelajaran maupun buku pendamping kurang memberikan arena yang luas buat peserta didik. Guru-guru pun seakan abai betapa penting kompetensi menulis. Semua kembali kepada target angka sebagai parameter kelulusan sebuah ujian.
Sah-sah saja pemangku kepentingan kejar target. Namun, akan lebih cantik lagi, di samping upaya menggapai nilai yang optimal an-sich, siswa-siswi didorong buat cakap mengarang. Kita beri rnereka lahan yang lapang buat menjabarkan imajinasi, kreasi, gagasan ke dalam bentuk tulisan bebas dan tema yang dibebaskan.

Ada banyak cara dan media agar para murid memiliki kemauan hingga kecintaan terhadap kegiatan mengarang. Di antaranya, pemberdayaan media majalah dinding, buletin sekolah, memperbanyak porsi portofolio mengarang, lomba-lomba mengarang. 

Berikut saya tampilkan secara utuh artikel JUnaidi Abdul Munif. Sekiranya esai ini bisa memberikan permenungan bagi semua pemangku kepentingan.

Hilangnya Ujian Mengarang
Oleh JUNAIDI ABDUL MUNIF
Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang


Bahasa Indonesia adalah pelajaran “kelas dua” dalam kurikulum pendidikan di Indonesia meski termasuk pelajaran yang masuk kategori wajib Ujian Nasional. Bahasa Indonesia memang diakrabi sehari-hari sebagai bahasa pengantar pelajaran di sekolah, materi kuliah, media massa, diskusi, film, sinetron, lagu, dan pengantar komunikasi di ruang publik,- terutama di kota.
Bahasa Indonesia dikondisikan sebagai pelajaran “legalitas-formalitas” karena bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia diharapkan menjadi “jembatan penghubung” berbagai suku di Indonesia untuk meneguhkan nasionalisme sebagai imagiend communities.
Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia kini hadir dengan gaya mengulas teknis berbahasa dengan baik dan benar secara teoretis. Bahasa Indonesia pun mirip “ilmu eksak linguistik” yang dipenuhi dengan “rumus-rumus” bagaimana membuat kalimat yang benar dan mengikuti kaidah EYD dan SPOK (subjek-predikat-objek-keterangan). Pelajaran Bahasa Indonesia meninggalkan ruang imajinasi, kreasi, dan nalar siswa yang potensial menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang asyik, menarik, dan integratif dalam komunikasi siswa.  
Mengarang sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia pada titik tertentu sering menjadi momok bagi siswa. Jika selama ini pelajaran yang menjadi momok sering disematkan untuk pelajaran eksakta (matematika, fisika, kimia), maka tampak lucu jika mengarang juga menjadi momok. Ini menandakan bahwa masyarakat kita sedang mengidap masalah akut jika untuk berimajinasi (mengarang) saja tidak bisa!
Menurut teman yang seorang guru bahasa Indonesia, mengarang hanya menjadi “sub kecil” dari pelajaran bahasa Indonesia. Mengarang ditampilkan dalam menulis pengalaman pribadi, cerpen, skenario dan lain sebagainya. Yang lebih ironis, dalam ujian, tes semester, dan UN, siswa disodori soal multiple choice (pilihan ganda) yang meniadakan ruang berpikir kreatif dan imajinatif yang dimiliki siswa. Mengarang bukan prioritas dalam ujian nasional.
Bandung Mawardi (Lampung Pos 9/6/10) berhasil melacak bagaimana buku pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1940-1960-an jauh berbeda dengan buku pelajaran di era Orde Baru. Buku pelajaran karangan K.St. Pamoentjak dan M.J. Halim  (Tjendrawasih: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rendah; 1949) banyak berisi cerita, syair, percakapan. Sedangkan B.M. Nur dan W.J.S. Poerwadarminta (Bahasaku: Kitab Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat; 1957) yang berisi latihan menatap, menyimak, merangkai kalimat, ceritakan dengan bahasamu sendiri, dan mengarang!
Materi tersebut, secara tak sadar telah membuat pelajaran Bahasa Indonesia dibuat sedekat mungkin dengan kehidupan siswa. Bandingkan dengan buku pelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang justru membuat siswa berjarak dengan bahasa Indonesia.

Keliru
Mengarang selama ini masih diasosiasikan sebagai pekerjaan “orang yang tak punya pekerjaan jelas”. Hanya pekerjaan anak-anak yang “aneh”. Lebih baik bermain layang-layang, gundu, dan pemainan yang mengasah aspek kognisi. Atau belajar ilmu-ilmu sains, eksakta, kedokteran, karena itu lebih menjamin masa depan anak. Maka sejak kecil anak dituntun dengan cita-cita dokter, insinyur, akuntan, arsitek, yang lebih menjanjikan masa depan (uang).
Mengarang erat kaitannya dengan komunikasi, baik tulisan atau pun lisan. Bagaimana seseorang menyampaikan gagasan, keinginan, kegundahan, dan segala perasaan yang dia rasakan. Semua itu memerlukan seperangkat bahasa yang baik agar menghasilkan output yang baik pula. Masyarakat yang jauh dari bahasa, kering diksi, akan memunculkan masyarakat yang kaku dalam berkomunikasi.
Pada titik tertentu, kegagalan berkomunikasi akan melahirkan sikap anarkis sebagai bahasa untuk menyampaikan perasaan. Habermas dalam The Theory of Communicative Action merumuskan sebuah perubahan sosial masyarakat yang selama ini dikendalikan oleh media, uang, penguasa, dan kapitalisme. Masyarakat, karena tidak tumbuh dalam kultur berbahasa yang imajinatif-reflektif, akhirnya hanya menjadi objek yang dikendalikan. 
Generasi muda, anak-anak sekolah, karena miskin perbendaharaan kata dan tak bisa “teori dan praktik” mengarang, memilih meluapkan emosinya pada kata-kata destruktif, pemberontakan di tembok-tembok, kamar mandi sekolah, dan ruang publik tempat mereka bisa “eksis”. Sekolah, rumah, lingkungan tak menyediakan ruang untuk menyampaikan pendapat secara elegan.           
Kalau di sekolah mereka diajarkan untuk mengarang, tentang pengalaman, perasaan, harapan, cita-cita, bahkan apa yang tidak disukainya, ini akan menjadi cara bagi seorang guru untuk memahami karakter dan permasalahan psikologis siswa. Sebab anak-anak seusia remaja, cenderung menyampaikan perasaan dengan apa adanya. Belum ada manipulasi cerita, dramatisasi kisah, dan lain sebagainya yang membuat cerita menjadi benar-benar fiktif.

Imajinasi        
Saat saya masih SD dan SMP, dalam ujian Bahasa Indonesia masih ada mengarang. Meski bentuknya adalah menceritakan gambar. Ada 4 gambar yang merupakan rangkaian peristiwa dan kita dipaksa untuk menceritakan gambar tersebut. Seperti menjelaskan ilustrasi. Namun, saat itu banyak teman yang merasa kesulitan untuk mengarang.
Dari sini bisa dipetik pelajaran, sudah ada sedikit upaya untuk merangsang imajinasi siswa lewat pemberian gambar berantai. Semestinya untuk pelajaran mengarang, siswa benar-benar dibebaskan mengarang apa saja, tentu dalam norma dan moralitas. 
Albert Einstein, fisikawan yang dijuluki manusia tercerdas abad 20, adalah seorang pembaca sastra, yang sering diasosiasikan sebagai hasil karangan dan imajinasi manusia. Semua mimpi besar, penemuan-penemuan teknologi, adalah hasil karya (produk) yang muncul dari sebuah imajinasi yang dihadirkan lewat karangan.
Orang berimajinasi, bagaimana manusia bisa terbang, berbicara dengan orang yang terpisah jarak. Lalu sains menangkap itu sebagai penemuan pesawat terbang dan telepon. Betapa sains dan imajinasi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sains berkembang karena adanya imajinasi yang tak terbatas.
Sejarah melupakan bagaimana pendiri bangsa ini adalah para pengarang juga. The founding fathers Indonesia; Tan Malaka, Soekarno, M Yamin, dan lain-lain adalah pengarang-pengarang besar yang tidak kehilangan sensibilitasnya sebagai politisi (pejuang) yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari karangan, imajinasi, mimpi besar itu bisa terwujud.

(Kompas, 18 Oktober 2010)

17 Oktober 2010

Nah, Inilah Alasan Kenapa Buku Sastra Tak Dapat Penghargaan Sastra...




Titik pijak pertimbangan dalam pemberian sebuah penghargaan sastra adalah "kanon literer". Amat muskil sebuah karya memperoleh predikat "wah" apabila jauh dari kanon tersebut. Arkian, beberapa alasan berikut menjadi argumentasi betapa sebuah karya sastra benar-benar menjauh dari kemujuran untuk berjuluk "sang pemenang". Tema dan masalah yang diangkat cenderung tidak mengalami "pendalaman", bahkan ada yang cenderung hanya pengin bertausiah lewat sastra, memberi nasihat, dan "sok moralis". Fakta cerita dan sarana-sarana sastra yang ada juga tidak diberdayakan secara maksimal sehingga tingkat kemasukakalan atau plausibilitasnya rendah, aspek lifelike terabaikan, dan pada gilirannya terasa janggal, tanpa kejutan, datar, membosankan. Hal demikian dapat dipahami karena sebagian besar karya sudah diberi "label" tertentu (novel motivasi, novel religius, novel penyejuk hati, novel ajaran, dan lain-lain) yang akibatnya karya-karya itu menjadi sangat tendensius dan terkesan sebagai karya pesanan. Bahkan, gambar sampul buku pun telah mengisyaratkan hal yang fashionable.

Sobat,
Itulah beberapa catatan—sebagai pertanggungjawaban—yang dikemukakan oleh dewan juri dalam perhelatan Penghargaan Sastra Balai Bahasa Yogyakarta Tahun 2010. Sebagaimana kita ketahui, Oktober ini adalah hajatan akbar bagi insan bahasa dan sastra karena bertepatan dengan Bulan Bahasa. Tak ketinggalan, Balai Bahasa Yogyakarta menyelenggarakan perhelatan terkait bahasa dan sastra. Di antaranya, Penghargaan Bahasa dan Sastra Balai Bahasa Yogyakarta Tahun 2010.

Tentang penghargaan bahasa, tahun ini mereka menyeleksi buku pengayaan pelajaran IPS kelas IV, V, dan VI. Ada 54 buku yang masuk ke panitia dari penerbit di DIY. Hanya saja, buku terseleksi tinggal 23 judul. Kriteria penilaian meliputi (1) kesesuaian materi dengan kurikulum sebagai bahan pengayaan, (2) kelengkapan isi/materi, (3) kegunaan dalam pembelajaran dan penambahan wawasan, dan (4) penggunaan bahasa Indonesia dalam penyampaian. Dalam hal penggunaan bahasa Indonesia, pencermatan dilakukan melalui beberapa segi berikut: penerapan ejaan, diksi dan istilah, struktur kalimat, dan penalaran.   

Perihal penghargaan sastra, karya yang diseleksi  terbitan tahun 2009 dan terjaring sejumlah 21 judul; terdiri atas 4 kumpulan puisi, 1 kisah perjalanan, dan 16 novel. Sayang, kumpulan cerpen dan naskah drama tidak ada.

Akhirnya, pada 15 Oktober 2010, malam anugerah Penghargaan Bahasa dan Sastra Indonesia 2010 Balai Bahasa Yogyakarta digelar di Jogja Expo Center. Muka-muka ceria tanpa terharu bahagia menerima penghargaan.

Nah, buku-buku bahasa yang masuk nomine penghargaan bahasa adalah sebagai berikut.
  • Keajaiban Dunia 5: Keajaiban Dunia Modern karya Diana Tri Hartati
  • Teori Ringkas Latihan Soal dan Pembahasan IPS SD Kelas IV, V, VI karya Sulasmi, S.Pd.
  • Terlengkap Serba Tahu Ragam Budaya Nasional karya Dee Novit dan Weki

Adapun nomine penghargaan sastra adalah sebagai berikut.
  • Jejak Kala karya Anindita S. Thayf
  • Tidur Tanpa Mimpi karya Rachmat Djoko Pradopo
  • Titian Sang Penerus karya Alang-alang Timur

Sebagaimana kosmos, ada siang ada malam, ada putih ada hitam, ada gadis ada perjaka, ada riang ada nestapa, begitu juga dalam sebuah laga, ada kalah pun ada menang. Akhirnya sebuah buku didaulat sebagai pemenang penghargaan sastra dan sebuah buku diproklamirkan jadi pemilik penghargaan bahasa. Inilah mereka:

Sulasmi, S.Pd., dengan buku Teori Ringkas Latihan Soal dan Pembahasan IPS SD Kelas IV, V, VI, mendapat Penghargaan Bahasa 2010. Ibu kelahiran 1969 ini adalah seorang pendidik. Ia tinggal di Sleman, DIY. Beberapa tulisannya mendapatkan gelar juga. Di antaranya, Pengaruh Penggunaan Media Komik terhadap Prestasi Belajar IPS Kelas III SD Muhammadiyah Condong Catur mendapat peringkat III tingkat kabupaten tahun 2009, Kreativitas Guru dalam Pembelajaran mendapat peringkat I nasional pada 2006.

Anindita S. Thayf, dengan buku Jejak Kala, mendapat Penghargaan Sastra 2010. Mbak Anindita adalah seorang penulis dan editor. Ia lahir tahun 1978, tinggal di Sleman. Beberapa karyanya, di antaranya, ialah Ranting Cahaya (juara II lomba menulis cerpen Annida 2008), Dunia Dalam Mata (pemenang II lomba menulis esai Rayakultura-Rohto, 2005), Keajaiban untuk Ila (juara I sayembara menulis novel anak Mizan, 2005).



Saya ucapkan selamat kepada sang juara. Semoga tulisan ini memberikan energi positif kepada pembaca agar selalu berkarya. Yuk, kita isi hari dengan membaca dan menulis, selanjutnya membaca dan menulis.

15 Oktober 2010

Romansa Sandiwara Radio
Dari Saur Sepuh untuk Indonesia



 Madangkara bergelimang damai dan sejahtera. Rakyatnya makmur dipimpin Brama Kumbara. Raja tampan, arif, mandraguna ini selalu digilai oleh kembang Gunung Lawu, Lasmini. Cinta Lasmini yang tak pernah sudah akhirnya berbuah ke sang pangeran Madangkara, Raden Bentar. Di sudut yang lain, Mantili, adik Brama beda ayah, selalu saja bersitegang dan mengklaim diri sebagai musuh bebuyutan Lasmini. Si pedang setan ini nyaris mati akibat ilmu Cipdadewa mbak yang awet muda dari gunung di sisi timur Kabupaten Karanganyar tersebut.
Sekelumit kisah itu pasti tidak asing bagi sobat, sohib, yang pernah ketagihan mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh. Kisah tersebut sangat fenomenal di zaman 1980-an. Bahkan, ceritanya sudah difilmkan sampai beberapa episode. Tiap diputar saat libur Lebaran, semua gedung bioskop penuh sesak oleh pengunjung, bahkan antrean sampai meluber ke jalan-jalan. 

Waktu itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar :). Tiap pulang sekolah, saya pasti menongkrongi radio dan mendengarkan Saur Sepuh dengan khusyuk. Dahaga, lapar, gerah, kantuk, hingga gangguan apa pun tidak mampu menghalangi azam untuk menuntaskan tiap episode sandiwara radio tersebut.


Sob, mau mendengarkan salah satu episode sandiwara radio Saur Sepuh? Klik sini ya= Satria Madangkara


Baiklah, bagi yang lupin, lupa-lupa ingat, akan Saur Sepuh, sedikit saya ulas kisahnya.
Saur Sepuh merupakan karya Nikki Kosasih. Para pengisi suara, di antaranya, ialah Ferry Fadli, Elly Ermawati, Maria Oentoe, Ivone Ross, Bahar Mario, Kris Urspon. Mereka tergabung dalam Sanggar Prathivi. Begitu melekat kuat dalam ingatan, bagaimana suara khas Ferry Fadli sebagai Raja Madangkara Brama Kumbara; Elly Ermawati sebagai Mantili; Ivone Ross menjadi Lasmini. Brama Kumbara digdaya karena memiliki  Ajian Serat Jiwa, Ajian Gelang-gelang, dan Lampah-Lumpuh. Suatu saat ia bertemu dengan Biksu Kampala karena pengembaraannya di negeri Tibet. Ia mempunyai patih bernama Gotawa. Tunggangan fenomenal sang raja adalah burung elang raksasa. Sayang, sosok burung ketika difilmkan kurang mengesankan karena kualitas sinematografi saat itu masih jauh dari harapan pemirsa.
Brama selalu ditemani oleh sang adik, Mantili. Ia berjuluk pedang setan. Ia piawai bermain pedang. Apabila sang pedang dicabut dari warangka, bau busuk tiada terkira segera menyeruak di sekelilingnya. Di suatu masa, ia berhasil mengawinkan pedangnya dengan pedang perak. Sebuah simbol kedidayaan, ketika keduanya disatukan saat purnama, senjata tersebut menebarkan sinar yang sangat menyilaukan mata siapa pun.
Tokoh-tokoh antagonis dalam serial Saur Sepuh antara lain Lasmini, Panembahan Senopati, Gardika.
O iya, Brama Kumbara mempunyai dua istri, yaitu Paramita dan Dewi Harnum. Wah, wah, wah mas raja sudah penganut paham poligami ya. Makanya sang raja emoh menerima cinta Lasmini. Padahal, gadis Lawu itu mempunyai wajah dan bodi yang asoy geboy. Doi, kan, memiliki ilmu awet muda. Ia bahkan mewarisi Ajian Ciptadewa, yaitu gabungan aji Serat Jiwa, Waringin Sungsang, dan Lampah-Lumpuh yang diciptakan oleh nenek Lawu.
Kawan-kawan….
Di tulisan ini, saya sekadar pengin bilang, kegiatan menyimak karya ”sastra” berupa sandiwara radio, seperti pengalaman banyak orang di era 1980-an tersebut, memiliki banyak sisi positif lho.

Pertama, kemampuan mendengarkan kita selalu terasah. Saat menyimak, kita dituntut mendengarkan dengan saksama, mencermati tiap ucapan, tingkah, suara-suara derap kaki kuda, dentingan-dentingan pedang, guyuran hujan, dan lain sebagainya supaya mampu menyerap semua cerita dan mampu hanyut ke dalam atmosfer cerita. Selayaknya kita hidup di tengah mereka, di tengah pertempuran yang sengit, di atas punggung kuda yang berlari kencang di dalam hutan, di pinggir sawah; seumpama kita mandi di sungai yang sangat jernih sehingga wajah ayu tampan tampak lebih cakap di permukaan air; bak pendekar yang mampu melayang di udara, mahir menghilang, hingga pintar mengeluarkan jurus-jurus olah kanuragan.

Kedua, kekayaan hati kita bertambah karena di dalam sandiwara radio tersebut termaktub unsur menghibur sekaligus edukatif. Sebagaimana kita membaca novel, membaca cerpen, melihat pentas teater, mendengarkan sandiwara radio bergenre legenda, heroik merupakan kegiatan yang tak kalah intim, menyenangkan, dan bikin ketagihan.

Ketiga, imajinasi kita semakin terasah. Dengan pengayaan imajinasi, tentu kepekaan, intuisi kita menjadi hidup sehingga makin melancarkan usaha menciptakan produk/karya, entah itu puisi, cerpen, novel, dan lain-lain.

Keempat, ya hitung-hitung sebagai kegiatan pembunuh bosan, penat murah meriah ketimbang menghabiskan waktu dengan kongko-kongko yang bahkan sampai menggerus isi dompet.

Kelima, buat bapak-ibu guru, sebenarnya kegiatan ini sangat tepat dijadikan sarana mengajarkan keterampilan menyimak. Misalnya, anak-anak diminta mendengarkan sandiwara radio, lalu mereka dituntut membuat resume, menceritakan kembali, bahkan mementaskan kembali cerita yang mereka dengarkan dari radio. Mengasyikkan tentunya. Anak-anak tertantang, suasana belajar menjadi lebih hidup, dan semuanya terhibur. Dari portofolio ini, akhirnya beberapa pengalaman/kompetensi terlampaui, kegiatan menyimak, kegiatan membaca teknik dan membaca indah, kegiatan sastra dengan cara pentas drama.

Semoga saja, romantisme sandiwara radio di era 1980-an tersebut akan terulang di masa-masa yang akan datang—alih-alih sebagai sajian alternatif hegemoni tayangan radio yang serbakonsumtif, bombardir sinetron-sinetron yang menjual mimpi.
Saya yakin, sajian sandiwara radio genre sejarah, legenda, epik mampu berkontribusi membentuk generasi yang berwatak dan berkarakter Indonesia banget. Semoga saja.


Sumber ilustrasi:
http://iwan.pirous.com
hurek.blogspot.com
jejakandromeda.wordpress.com





14 Oktober 2010


Romantika Korespondensi





Salah satu hal yang sulit dinikmati oleh anak zaman sekarang adalah korespondensi. Ya, kegiatan berkirim surat kepada handai tolan, kolega, baik di lain kota ataupun luar pulau. Keintiman terbentuk dari aktivitas menulis surat dengan tema tertentu sekadar dengan goresan tinta, lalu dimasukkan amplop dan tentu dilengkapi prangko, dan akhirnya mengandalkan jasa kotak pos dan pak pos.

Pranata massa yang sudah didominasi teknologi canggih mengakibatkan aktivitas korespondensi tergerus. Tidak perlu capek-capek menulis surat dengan tulisan tangan, seseorang tinggal memencet tombol tuts telepon genggam. Tak usah ribet-ribet memasukkan surat ke kotak pos terdekat maupun memakai jasa kantor pos, seseorang tinggal memencet tombol OK, sebuah pesan sudah terkirim ke seantero dunia dalam hitungan detik. 

Begitulah, benda-benda modern ala telgam, BlackBerry, laptop, Ipad telah menghegemoni dan tak memberikan kesempatan sama sekali bagi anak era sekarang untuk mengasah kemampuan menulis panjang dengan goresan tangan tanpa perantara teknologi.

Romantika ke masa lampau, boleh jadi generasi era kentongan, ketik manual, masih merasakan indah dan bahagianya berkirim surat dan ketika mendapatkan surat dari pacar, saudara, teman karib. Saya bahkan memiliki pengalaman manis tentang berkorespondensi. :)

Pada suatu tahun tepatnya 1994. Waktu itu saya masih kelas satu di sebuah sekolah menengah kejuruan negeri satu-satunya di kabupaten yang terletak di lerang Lawu. Nah, waktu itu anak sekolahan sudah menggunakan buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Kebetulan, oleh guru, kami diminta berpartisipasi mengirimkan data diri berupa nama lengkap, kelas, asal sekolah, dan pas foto ukuran 4 x 6 untuk dikirimkan ke sebuah penerbitan yang memproduksi LKS. Nah, pihak penerbit memuat data diri saya di sampul belakang bagian dalam. Mungkin karena fotoku waktu itu kelihatan karismatik dan tampan (aslinya memang cakep :)), beberapa waktu kemudian, banyak surat dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Pulau Jawa, hingga pulau-pulau yang lebih pelosok. Mereka adalah siswa-siswi SLTA yang juga memiliki LKS yang sama dengan sekolahan saya. Mereka mengenal saya melalui data diri itu. Wah senang rasanya. Rata-rata mereka tertarik dengan foto saya yang ciamik, he-he-he narsis. Jumlah surat bahkan mencapai 50 tiap minggunya. Temanya beragam, ada yang sekadar pengin kenalan, ada yang menceritakan keunikan wilayahnya, ada yang ingin berbagi tentang sepak bola, ada yang pengin kopi darat. Akhirnya, kami memiliki jaringan dan berkorespondensi secara teratur. 

Itulah kekuatan korespondensi. Kita bisa mengasah kemampuan mengungkapkan perasaan, pikiran, ide; mengasah kemahiran menulis langsung dengan bolpoin; dan tentu  menambah pertemanan dan makin meningkatkan wawasan, ilmu.

Sobat,
Beberapa hal yang pengin saya sampaikan terkait dengan tema ini di antaranya:
- Bagi pendidik
Ada baiknya bapak dan ibu guru menugasi peserta didiknya melakukan kegiatan korespondensi, entah itu sebatas membuat surat izin, hingga ke tugas yang lebih berbobot misalnya berkirim surat ke kolega di luar wilayah/pulau. Tentu saja mereka yang berhasil berkirim-kiriman akan mendapat nilai bagus. Kegiatan ini akan memberikan banyak manfaat bagi siswa dalam mengaktualisasikan kegiatan menulis, alih-alih memberikan warna lain siswa-siswi yang saat ini terbiasa beriteraksi, berkomunikasi tulisan dengan relasi hanya melalui SMS. Itu pun didominasi bahasa "alay", bahasa prokem, dan tidak mencerminkan kegiatan berbahasa yang baik dan elegan.
-Bagi penerbit buku
Ada baiknya mengisi ruang kosong sampul belakang dengan rubrik data diri siswa-siswi. Hal ini untuk memancing kemauan peserta didik berkorespondensi. Sebatas amatan saya, LKS-LKS era sekarang jarang yang mencantumkan beberapa data siswa.
- Bagi sobat-sobat muda, bahkan yang sudah lepas muda:)
Ada yang belum pernah merasakan berkirim surat? Coba saja, deh, dijamin ketagihan. Tidak mahal, kok, total biayanya.

Akhirnya, marilah kita tebarkan "virus" korespondensi buat generasi "alay", "prokem" supaya kemahiran mereka mengaktualisasi pikiran, ide, gagasan makin terbentuk dan tentu berjalan di rel yang lurus. Semoga.

Sumber ilustrasi: picasaweb.google.com


12 Oktober 2010

Carut-Marut Versus Karut-Marut



Sobat,
Senyampang pada malam hari, 11 Oktober 2010, saya menyimak warta di dua televisi swasta berbasis berita. Pewarta mengatakan perihal perikehidupan yang carut-marut. Terlepas dari tatanan kehidupan yang lagi tak beres—karena namanya tatanan pasti ada saatnya lurus, berkelok, menanjak, menurun, saya terusik dengan pemilihan diksi carut-marut.


Keterusikan akhirnya menghantarkan saya bertemu "paman" Google. Sekurang-kurangnya 132.000 kata dimunculkan oleh sang paman tersebut; tak terkecuali juga hadir di laman-laman berbasis berita. Berikut saya ketengahkan beberapa laman berita yang memuat diksi carut-marut.


Laman Pikiran Rakyat
Manajemen Pasar Tradisional di Garut Carut Marut
Selasa, 12/10/2010 - 00:33
GARUT, (PRLM).- Kejadian terbakarnya Pasar Tradisional Wanaraja dan empat pasar tradisional lain di Kab. Garut sepanjang tahun 2010 menunjukkan carut marut manajemen pasar tradisional yang dikekola Pemkab. Garut. Semrawutnya pasar tradisional sulit dibenahi dan malah hangus terbakar, padahal harus bersaing dengan keberadaan pasar modern berupa mini market yang menjamur di seluruh wilayah Kab. Garut. (www.pikiran-rakyat.com)

Laman Detik News
Senin, 12/07/2010 21:11 WIB
Kasus Korupsi TPU Tanah Kusir
Arsip Tanah di Kantor Pemakaman Carut-marut, Hakim Marahi Saksi (www.detiknews.com)

Laman Tempo Interaktif
Pengelolaan Aset di Banten Carut Marut
Minggu, 04 Juli 2010 | 14:59 WIB
TEMPO Interaktif, Serang - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten menilai sistem pengelolaan aset di Banten carut marut, di antaranya soal sertifikasi ratusan situ yang berada di Banten.
 "Salah satu penyebab laporan keuangan Provinsi Banten mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah karena persoalan pengelolaan aset yang masih belum terurus dengan baik seperti situ, yang masih carut marut," kata Trisatya kepada Tempo. (www.tempointeraktif.com)

Laman Republika
Mahfud MD: Penegakan Hukum Masih Carut Marut dan Kronis
Kamis, 10 Juni 2010, 19:27 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD menilai proses penegakan hukum di tanah air masih berjalan carut marut. "Hukum masih mengalami carut-marut bahkan kondisinya kronis," kata Mahfud dalam diskusi "Uji Sahih Buku Ajar Hukum Acara MK" di Jakarta, Kamis. (www.republika.co.id)

Laman Berita Sore
Carut Marut Pendidikan Di P.Siantar, Komisi E DPRD Sumut “Pasrah”
MEDAN (Berita):  Dualisme SMA Negeri 4 Pematang Siantar, semakin dilematis dan belum juga menemukan titik terang. Kondisi itu semakin mencerminkan “carut marutnya’ pendidikan di kota Pematang Siantar. Juli 9, 2010 (http://beritasore.com)

Laman Solopos
PSB online di Sragen carut marut
By Indah Septiyaning on 2 Juli 2010
Sragen (Espos)–Pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB) online di Kabupaten Sragen masih carut marut, lantaran masih banyaknya kendala yang dihadapi panitia penerima peserta didik baru (PPDB) di tingkat sekolah. Di samping itu para orangtua calon siswa baru juga mengaku kesulitan melakukan pendaftaran PSB online yang berakhir pada Rabu (30/6) lalu. (www.solopos.com)

Laman Kendari Ekspres
Pilkada Muna Terancam Carut Marut
Kendari, Kepres - Pelaksanaan pilkada di Kabupaten Muna tidak lama lagi akan digelar. Kalau mengacu pada jadwal yang ditentukan oleh KPUD Muna tanggal 10 Juni 2010, maka pilkada tinggal sekitar sebulan lebih lagi. LSM KRITIK pesimis dengan Pilkada di Kabupaten Muna, bahkan mereka mempredikasi Pilkada Muna bakal Carut Marut. 15-04-2010 12:33 (http://kendariekspres.com)

Laman Harian Aceh
Carut Marut Peta Sabang
18 December 2008 01:34
Pada era kini kita tak bisa lagi terpaku berpegang pada metoda klasik bahwa posisi coordinate Sabang sangat strategis, kedalam laut atau Habour Basin sekian meter, lalu membandingkan dengan pelabuhan lain seperti Aden, atau Laemchabang-Thailand atau Hongkong dan sebagainya, karena Singapura sendiri punya Habour Basin yang kedalamannya mencapai 24 meter, tanjung pelepas mampu menampung Hugeship Transcontainer, belum lagi kita lihat project King Abdullah Economic City di mulut Zuez Canal dan Super Chemy Port, China ditambah Tianjin, dengan demikian Sabang tidak ada apa-apanya, apalagi masih kita campur aduk kepentingan politik dengan basis bisnis di pulau Weh itu, maka janganlah berangan-angan Sabang sebagai International Hub Port dan Sabang tak akanmenjadi gerbang ekonomi Aceh kkalu begitu metoda kinerjanya, hany dengan system fardu kifayah kita bekerja untuk menjadikan Sabang seperti yang kita mimpikan selama ini, barulah Sabang bisa kita bangkitkan. Peta yang carut marut diplotkan kembali secara sistematis oleh personal yang biasa kerja otomatis.(www.harian-aceh.com)

 Laman Rakyat Merdeka
Penanganan Pajak Iklan Ibukota Carut-Marut
Sabtu, 10 Juli 2010, 01:10:58 WIB

Jakarta, RMOL. Penanganan pajak iklan dan reklame Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang ca­rut-marut kini mulai terkuak. Ke­jaksaan Tinggi (Kejati) DKI pun kini menahan Kepala Unit Pe­ngelola Teknis (UPT) Bidang Rek­­­lame Wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Timur Bawong Su­giadi. Dugaan penyelewengan uang ini mengakibatkan kerugi­an negara hingga Rp 925,5 juta. (www.rakyatmerdeka.co.id)

Kawan, penggunaan istilah carut-marut untuk menyebut sebuah tatanan yang lagi tak beraturan sebenarnya keliru. Hal tersebut karena carut-marut sebenarnya lebih mengacu sebatas pada perkataan. Yuk, kita cermati kutipan lema carut-marut dari si pintar Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa terbitan Gramedia Pustaka Utama di halaman 246.
carut (a) keji, kotor, cabul (tentang perkataan)
carut-marut (n) bermacam-macam perkatan yang keji

Carut-marut juga diistilahkan sebagai luka. Berikut definisi yang lain.

carut (n) luka bekas goresan
carut-marut (n) segala coreng-moreng (bekas gorean); goresan yang tidak keruan arahnya.
Contoh kalimat: Muka korban penuh dengan carut-marut dan berdarah.

Nah, apabila kita baca sekali lagi berita-berita yang dipaparkan di awal, dan kita artikan makna carut-marut sebagaimana yang telah diterangkan oleh KBBI Pusba, tentu menyisakan atmosfer "horor" dan tidak berterima. Tentu penulis berita tidak berniat mengatakan bahwa manajerial di pasar tradisional di Garut memiliki muka yang menakutkan karena ada bekas luka ataupun bertutur kata cabul atas pemberitaan Manajemen Pasar Tradisional di Garut Carut Marut. Begitu halnya si arsip tidak mungkin bisa berkata kasar dan bermuka serem—karena ia sebatas benda mati tak berekspresi—atas pemberitaan Arsip Tanah di Kantor Pemakaman Carut-marut, Hakim Marahi Saksi.

Kawan....
Pemilihan diksi yang tepat untuk konteks wacana terkait keadaan tak beraturan, kacau-balau, tak semestinya adalah karut-marut. Memang dua istilah kata ulang tersebut umpama saudara kembar bak pinang di belah kampak :). perbedaan sekadar di huruf awal, c dan k.

Yuk, kita buka kembali KBBI Pusba di lema karut-marut yang terletak di halaman 629.

karut (v) kusut; kacau
karut-marut (a) 1 kusut (kacau) tidak keruan; rusuh dan bingun (tentang pikiran, hati, dan sebagainya); banyak bohong dan dustanya (tentang perkataan dan sebagainya); 2 berkerut-kerut tidak keruan (tentang muka, wajah, dan sebagainya)

Dengan berpedoman pada pembatasan istilah carut-marut dan karut-marut di KBBI Pusba tersebut, semoga saja  pemilihan diksi yang tidak tepat di laman berita ataupun di siaran berita televisi/radio makin berkurang dan akhirnya semua pemangku kepentingan menerapkan pemakaian bahasa Indonesia yang tepat, elegan, dan ciamik. Amin.