20 Oktober 2010


Susahnya Merumuskan Rambu Penunjuk Jalan


     Tajuk tersebut tidak bermaksud provokatif. Senyatanya, kita sebagai pengguna jalan pasti mafhum atas pusparagam redaksional petunjuk rambu umum, baik itu berupa teks ataupun imbauan memakai sesuatu dengan baik, aman, nyaman. Kita bayangkan betapa pemangku kepentingan—di antaranya pemerintah setempat,  pihak kepolisian—bermaksud baik agar sebuah petunjuk bermanfaat bagi kemaslahatan meskipun tak sedikit yang malah membingungkan.

     Kita masih ingat soal penulisan "Belok Kiri Jalan Terus". Saat itu, JS Badudu sempat memberikan kritik dari sisi bahasa. Rambu yang kerap dijumpai di kota priangan Bandung tersebut, menurut Badudu, malah tak mengizinkan orang belok ke kiri. Bagaimana mau belok ke kiri, lha, orang-orang disuruh jalan terus. Kalimat tepatnya ialah "Belok Kiri Langsung". 
      Setali tiga uang dengan kota yang punya Gedung Sate, di kota gudeg yang punya Istana Negara, Yogyakarta, petunjuk arah yang membingungkan juga kerap kita jumpai, yaitu rambu "Ke Kiri Ikuti Lampu". Tulisan berbahasa Indonesia tersebut umumnya disertai istilah asing "Left Turn Signal", "Turn Left Go a Head", "Straight Signal", "No Turn on Red". Dari sisi bahasa, satuan kata tersebut tentu multitafsir. Sah-sah saja orang berpendapat, "Aku harus ke kiri kalau lampu berwarna hijau". Orang lain akan berpendapat, "Aku akan melajukan kendaraan jika lampu sudah berwarna merah." Sah-sah juga apabila seorang pengendara berseloroh, "Aku tidak akan jalan-jalan karena lampu yang aku ikuti tidak jalan juga." Bagaimana mau jalan, lampu yang diikuti adalah lampu petromak, atau lampu penerangan  jalan yang sampai sepuluh tahun pun akan tetap di tikungan jalan. Momok itu semua karena ketidakjelasan acuan arahan "ikuti lampu"; lampu apakah gerangan? Parah lagi, kalau mengacu ke bahasa kuminggris, Turn Left Go a Head bisa saja kita terjemahkan bebas menjadi belok kiri "gundul pringis". 

     Di kota yang dipimpin oleh wagiman, wali kota yang gemar tanaman, Herry Zudianto ini, banyak rambu jalan yang berbasis sepeda kayuh. Ada istilah "Ruang Tunggu Sepeda" di perempatan-perempatan besar. Ada rambu "Jalur Alternatif Sepeda ke..." di banyak ruas jalan. Hatta penulisan kedua petunjuk itu pun belum bisa dikatakan sukses karena multimakna pula.




     Di sisi lain, ada ragam cara pak polisi ataupun petugas lalu lintas jalan raya menyampaikan imbauan cara memakai helm yang benar. Hari-hari ini acap kali kita saksikan iklan layanan masyarakat yang dibintangi oleh mbak pemenang kontes kecantikan. Doi memberikan arahan kepada sepasang pria dan perempuan yang berboncengan motor agar menggunakan helm hingga terdengar bunyi klik. Di berbagai sudut jalan yang stategis terpampang spanduk bertuliskan "Gunakan helm standar dengan baik dan talikan dengan kencang", " Pakailah helm hingga bunyi klik", "Klikkan helm agar anda selamat sampai tujuan".

     Fakta tersebut sangat mungkin juga terjadi di berbagai tempat di Tanah Air. Inilah persoalan pemakaian bahasa yang mestinya menjadi persoalan bersama antara pemerintah sebagai pembina dalam urusan berbahasa dan masyarakat sebagai pengguna bahasa. Tak berlebihan kiranya penyusunan rambu "Ke Kiri Ikuti Lampu", "Jalur Alternatif Sepeda ke Jalan...", "Ruang Tunggu Sepeda", dan lain sebagainya dijadikan bahan diskusi di ranah akademik, birokrat, hingga praktisi. Tidak tertutup kemungkinan juga melibatkan peran serta masyarakat, misalnya dalam wujud sayembara penyusunan redaksional rambu umum. Semua temuan, hasil kajian di level daerah-daerah tentunya akan ditarik ke pusat sebagai eksekutor.

     Kita ketahui, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta  Lagu Kebangsaan, di antaranya, mengatur rambu umum (dan petunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum).
     Semoga saja, payung undang-undang tersebut menyentuh level problematika yang dikemukakan di alinea-alinea sebelumnya. Alangkah aman dan nyamannya manakala ada standardisasi redaksional rambu petunjuk arah dan rambu umum lainnya. Jadi, ketika orang Papua motoran di jalan-jalan Yogyakarta tidak perlu waswas kena semprit petugas karena paham rambu untuk belok ke kiri-ke kanan dan sebagainya. Orang di Sulawesi tidak perlu bimbang berkelana di jalan-jalan di Surabaya karena imbauan spanduk tentang pemakaian helm yang baik sama dengan yang ia jumpai di kotanya.


4 komentar:

  1. di solo sekitarnya juga kerap dijumpai rambu lalu lintas yang ambigu. lomba penulisan rambu lalu lintas ide yang patut dicoba

    BalasHapus
  2. Benar Pak, di beberapa sudut Kota Solo masih kita jumpai redaksional rambu petunjuk jalan yang multitafsir. Semoga saja pemerintah kota dan pemangku kepentingan lainnya berupaya memberikan layanan yang terbaik. Sarana lomba/sayembaran tidak ada salahnya digelar Bos.

    BalasHapus
  3. kalau melihat masih banyaknya petunjuk dalam rambu2 yang mengalami kerancuan, baik dari aspek bentuk maupun makna, sepertinya perlu melibatkan pakar bahasa, nih, mas.

    BalasHapus
  4. Saya sangat yakin, Pak Sawali tepat buat menjadi salah seorang pemrasaran.

    BalasHapus