Ada Baiknya Ujian Mengarang Digaungkan Kembali...
Saya tergelitik setelah membaca opini Junaidi Abdul Munif di sebuah media massa. Artikel tersebut bertajuk "Hilangnya Ujian Mengarang". Lokus tulisan tersebut terletak pada pernyataan, "Mengarang erat kaitannya dengan komunikasi, baik tulisan ataupun lisan. Bagaimana seseorang menyampaikan gagasan, keinginan, kegundahan, dan segala perasaan yang dia rasakan. Semua itu memerlukan seperangkat bahasa yang baik agar menghasilkan output yang baik pula. Masyarakat yang jauh dari bahasa, kering diksi, akan memunculkan masyarakat yang kaku dalam berkomunikasi."
Nyatanya, porsi kegiatan menulis di sekolahan sangat sedikit. Buku-buku pelajaran maupun buku pendamping kurang memberikan arena yang luas buat peserta didik. Guru-guru pun seakan abai betapa penting kompetensi menulis. Semua kembali kepada target angka sebagai parameter kelulusan sebuah ujian.
Sah-sah saja pemangku kepentingan kejar target. Namun, akan lebih cantik lagi, di samping upaya menggapai nilai yang optimal an-sich, siswa-siswi didorong buat cakap mengarang. Kita beri rnereka lahan yang lapang buat menjabarkan imajinasi, kreasi, gagasan ke dalam bentuk tulisan bebas dan tema yang dibebaskan.
Ada banyak cara dan media agar para murid memiliki kemauan hingga kecintaan terhadap kegiatan mengarang. Di antaranya, pemberdayaan media majalah dinding, buletin sekolah, memperbanyak porsi portofolio mengarang, lomba-lomba mengarang.
Berikut saya tampilkan secara utuh artikel JUnaidi Abdul Munif. Sekiranya esai ini bisa memberikan permenungan bagi semua pemangku kepentingan.
Hilangnya Ujian Mengarang
Oleh JUNAIDI ABDUL MUNIF
Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang
Bahasa Indonesia adalah pelajaran “kelas dua” dalam kurikulum pendidikan di Indonesia meski termasuk pelajaran yang masuk kategori wajib Ujian Nasional. Bahasa Indonesia memang diakrabi sehari-hari sebagai bahasa pengantar pelajaran di sekolah, materi kuliah, media massa, diskusi, film, sinetron, lagu, dan pengantar komunikasi di ruang publik,- terutama di kota.
Bahasa Indonesia dikondisikan sebagai pelajaran “legalitas-formalitas” karena bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia diharapkan menjadi “jembatan penghubung” berbagai suku di Indonesia untuk meneguhkan nasionalisme sebagai imagiend communities.
Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia kini hadir dengan gaya mengulas teknis berbahasa dengan baik dan benar secara teoretis. Bahasa Indonesia pun mirip “ilmu eksak linguistik” yang dipenuhi dengan “rumus-rumus” bagaimana membuat kalimat yang benar dan mengikuti kaidah EYD dan SPOK (subjek-predikat-objek-keterangan). Pelajaran Bahasa Indonesia meninggalkan ruang imajinasi, kreasi, dan nalar siswa yang potensial menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang asyik, menarik, dan integratif dalam komunikasi siswa.
Mengarang sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia pada titik tertentu sering menjadi momok bagi siswa. Jika selama ini pelajaran yang menjadi momok sering disematkan untuk pelajaran eksakta (matematika, fisika, kimia), maka tampak lucu jika mengarang juga menjadi momok. Ini menandakan bahwa masyarakat kita sedang mengidap masalah akut jika untuk berimajinasi (mengarang) saja tidak bisa!
Menurut teman yang seorang guru bahasa Indonesia, mengarang hanya menjadi “sub kecil” dari pelajaran bahasa Indonesia. Mengarang ditampilkan dalam menulis pengalaman pribadi, cerpen, skenario dan lain sebagainya. Yang lebih ironis, dalam ujian, tes semester, dan UN, siswa disodori soal multiple choice (pilihan ganda) yang meniadakan ruang berpikir kreatif dan imajinatif yang dimiliki siswa. Mengarang bukan prioritas dalam ujian nasional.
Bandung Mawardi (Lampung Pos 9/6/10) berhasil melacak bagaimana buku pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1940-1960-an jauh berbeda dengan buku pelajaran di era Orde Baru. Buku pelajaran karangan K.St. Pamoentjak dan M.J. Halim (Tjendrawasih: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rendah; 1949) banyak berisi cerita, syair, percakapan. Sedangkan B.M. Nur dan W.J.S. Poerwadarminta (Bahasaku: Kitab Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat; 1957) yang berisi latihan menatap, menyimak, merangkai kalimat, ceritakan dengan bahasamu sendiri, dan mengarang!
Materi tersebut, secara tak sadar telah membuat pelajaran Bahasa Indonesia dibuat sedekat mungkin dengan kehidupan siswa. Bandingkan dengan buku pelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang justru membuat siswa berjarak dengan bahasa Indonesia.
Keliru
Mengarang selama ini masih diasosiasikan sebagai pekerjaan “orang yang tak punya pekerjaan jelas”. Hanya pekerjaan anak-anak yang “aneh”. Lebih baik bermain layang-layang, gundu, dan pemainan yang mengasah aspek kognisi. Atau belajar ilmu-ilmu sains, eksakta, kedokteran, karena itu lebih menjamin masa depan anak. Maka sejak kecil anak dituntun dengan cita-cita dokter, insinyur, akuntan, arsitek, yang lebih menjanjikan masa depan (uang).
Mengarang erat kaitannya dengan komunikasi, baik tulisan atau pun lisan. Bagaimana seseorang menyampaikan gagasan, keinginan, kegundahan, dan segala perasaan yang dia rasakan. Semua itu memerlukan seperangkat bahasa yang baik agar menghasilkan output yang baik pula. Masyarakat yang jauh dari bahasa, kering diksi, akan memunculkan masyarakat yang kaku dalam berkomunikasi.
Pada titik tertentu, kegagalan berkomunikasi akan melahirkan sikap anarkis sebagai bahasa untuk menyampaikan perasaan. Habermas dalam The Theory of Communicative Action merumuskan sebuah perubahan sosial masyarakat yang selama ini dikendalikan oleh media, uang, penguasa, dan kapitalisme. Masyarakat, karena tidak tumbuh dalam kultur berbahasa yang imajinatif-reflektif, akhirnya hanya menjadi objek yang dikendalikan.
Generasi muda, anak-anak sekolah, karena miskin perbendaharaan kata dan tak bisa “teori dan praktik” mengarang, memilih meluapkan emosinya pada kata-kata destruktif, pemberontakan di tembok-tembok, kamar mandi sekolah, dan ruang publik tempat mereka bisa “eksis”. Sekolah, rumah, lingkungan tak menyediakan ruang untuk menyampaikan pendapat secara elegan.
Kalau di sekolah mereka diajarkan untuk mengarang, tentang pengalaman, perasaan, harapan, cita-cita, bahkan apa yang tidak disukainya, ini akan menjadi cara bagi seorang guru untuk memahami karakter dan permasalahan psikologis siswa. Sebab anak-anak seusia remaja, cenderung menyampaikan perasaan dengan apa adanya. Belum ada manipulasi cerita, dramatisasi kisah, dan lain sebagainya yang membuat cerita menjadi benar-benar fiktif.
Imajinasi
Saat saya masih SD dan SMP, dalam ujian Bahasa Indonesia masih ada mengarang. Meski bentuknya adalah menceritakan gambar. Ada 4 gambar yang merupakan rangkaian peristiwa dan kita dipaksa untuk menceritakan gambar tersebut. Seperti menjelaskan ilustrasi. Namun, saat itu banyak teman yang merasa kesulitan untuk mengarang.
Dari sini bisa dipetik pelajaran, sudah ada sedikit upaya untuk merangsang imajinasi siswa lewat pemberian gambar berantai. Semestinya untuk pelajaran mengarang, siswa benar-benar dibebaskan mengarang apa saja, tentu dalam norma dan moralitas.
Albert Einstein, fisikawan yang dijuluki manusia tercerdas abad 20, adalah seorang pembaca sastra, yang sering diasosiasikan sebagai hasil karangan dan imajinasi manusia. Semua mimpi besar, penemuan-penemuan teknologi, adalah hasil karya (produk) yang muncul dari sebuah imajinasi yang dihadirkan lewat karangan.
Orang berimajinasi, bagaimana manusia bisa terbang, berbicara dengan orang yang terpisah jarak. Lalu sains menangkap itu sebagai penemuan pesawat terbang dan telepon. Betapa sains dan imajinasi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sains berkembang karena adanya imajinasi yang tak terbatas.
Sejarah melupakan bagaimana pendiri bangsa ini adalah para pengarang juga. The founding fathers Indonesia; Tan Malaka, Soekarno, M Yamin, dan lain-lain adalah pengarang-pengarang besar yang tidak kehilangan sensibilitasnya sebagai politisi (pejuang) yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari karangan, imajinasi, mimpi besar itu bisa terwujud.
(Kompas, 18 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar