30 September 2010

Gerakan Sosial "Memindahkan" Kemiskinan?


Suryadharma Ali, Menteri Agama, dalam lawatan ke Yogyakarta menghendaki penyaluran zakat diorientasikan pada pengentasan kemiskinan secara permanen. Secara nasional, target pengumpulan zakat tahun 2010 adalah Rp 1,5 triliun.

Seruan itu tentu menjadikan ladang mimpi dan asa bagi fakir miskin, salah satu golongan yang berhak menerima zakat. Sebagaimana kita ketahui, ada beberapa golongan yang berhak menerima zakat. Saya kutipkan sebuah ayat dari Al Quran:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)

Persoalannya, apabila benar Kementerian Agama sekadar mengentaskan kemiskinan, mereka yang berhak menerima zakat tetap saja pada kubangan kemiskinan. Lha, gerakan sosial itu sebatas mengentaskan (memindahkan) kemiskinan; mungkin dari satu desa ke desa lain, dari satu pulau ke pulau lain, dari satu etnis ke etnis lain.

Baiklah, kita buka buku pintar KBBI Pusat bahasa mengenai lema entas yang tersurat di halaman 375.
entas: angkat dari satu tempat ke tempat lain
mengentas: mengangkat dari suatu tempat ke tempat lain; contoh kalimat: mengentas sayuran yang sedang direbus; 2 mengeluarkan dari lingkungan cairan; 3 menyadarkan; memperbaiki nasib, contoh kalimat: pemerintah berupaya mengentas mereka yang terjerumus ke lembah kenistaan.
mengentaskan: 1 mengentas untuk orang lain; 2 memperbaiki nasib atau keadaan yang kurang baik kepada yang lebih baik, contoh kalimat: para menteri diminta untuk mengentaskan petani kecil melalui program transmigrasi.
pengentasan: proses, cara, perbuatan mengentas atau mengentaskan, contoh kalimat: pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

Nah, mengacu uraian KBBI tersebut, saya mengusulkan perbaikan kesalahan berbahasa di judul sebuah berita pada koran edisi lokal yang terbit di Yogyakarta berikut.




Usulan perbaikan di judul:
Zakat Bisa Entaskan dari Kemiskinan
Usulan perbaikan di badan berita:
Menteri Agama Suryadharma Ali meminta penyaluran zakat diorientasikan pada pengentasan masyarakat dari kemiskinan secara permanen.

Semoga saja perintah zakat yang dicontohkan Rasulullah sejak belasan abad silam mampu memutus kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan di negeri terbesar berpenduduk muslim ini. Amien.

29 September 2010

Musim Penghujan Vs Kemarauan?


Bulan-bulan ini merupakan masa percobaan sabar bagi tiap orang, terutama petani. Kondisi alam tidak menentu. Hujan datang dan pergi di luar dugaan. Terik menyengat timbul tenggelam. La Nina mencabik-cabik keberaturan musim. 

Hujan yang tak dinyana, panata mangsa yang tidak lagi berkutik menyebabkan sawah ladang tak lagi menjadi mimpi indah. Bawang membusuk, padi rontok sebelum kuning, cabai enggan memerah. Banjir berkicau di pelosok sampai pusat peradaban.

Itulah impas dari anomali cuaca.

Sobat, di kesempatan ini, saya pengin berbagi soal penulisan cuaca. Saya kutipkan sebuah judul berita dari koran lembar daerah edisi Jateng.



Adakah yang kurang tepat dengan judul tersebut? Menurut saya, penulisan istilah musim penghujan kurang tepat. Jika ada musim penghujan, boleh jadi ada musim kemarauan. Mungkin juga penulis lain akan menulis musim kehujanan, musim dihujani.

Yuk, kita buka KBBI Pusba perihal musim.
 Di halaman 943, lema musim memiliki arti waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim. Contoh kalimat: Di Indonesia terdapat dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Artinya, istilah musim di Indonesia sudah purna, yaitu musim hujan dan musim kemarau.



Surat Pembaca Kompas 
dan Istilah Tak Lazim



Penulis dan pengunjung blog yang saya cintai, di tengah kondisi bangsa yang teruji kembali atas beberapa peristiwa tawur antarwarga di Tarakan, Kalimantan Kalimantan Timur; Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan; terorisme di Sumatera Utara, saya kembali melansir soal kebahasaan di media massa.

Kebetulan, di hari yang sama dengan bentrok warga di Kaltim dan Jaksel tersebut, harian Kompas memuat surat pembaca bertajuk "Istilah Tak Lazim". Gugatan yang dilayangkan seorang warga asal Kelapa Gading, Jakarta, itu meyayangkan tingkah penulis berita yang "ringan tangan" menyingkat nama geografis, nama orang/pahlawan. Dampak negatif penyingkatan tersebut menyebabkan ketakpahaman generasi masa kini. Tak sedikit orang muda mengerti bahwa Jalan Otista merupakan singkatan Otto Iskandardinata (saya juga baru tahu sekarang... hehe).


Sebenarnya masih banyak penyingkatan istilah yang lebih parah ketimbang istilah geografis. Pemendekan tersebut berserakan di media cetak ataupun laman via internet, baik media lokal hingga nasional. Toh, ada juga media nasional yang menjaga diri menghindari penyingkatan yang tak galib. Itu pun hanya satu-dua media.

Baiklah, saya inventarisasi, ya sobat, istilah-istilah tak lazim yang saya temukan di beberapa media berita.

minah, penyingkatan untuk minyak tanah
migor, penyingkatan untuk minyak goreng
senpi, penyingkatan untuk senjata api
miras, penyingkatan untuk minuman keras
honda, penyingkatan untuk honorer daerah
pilkadal, penyingkatan untuk pemilihan kepala daerah
balon, penyingkatan untuk bakal calon
calhaj, penyingkatan untuk calon haji
maba, penyingkatan untuk mahasiswa baru
pekat, penyingkatan untuk penyakit masyarakat
curanmor, penyingkatan untuk pencurian kendaraan bermotor
curat, penyingkatan untuk pencurian dengan kekerasan


Pendapat saya, alangkah baiknya penulis berita dan sang redaktur menghindari penyingkatan istilah yang tak lazim. Berikan pembaca keasyikan dan kemudahan dalam memahami berita tanpa terganggu oleh istilah yang aneh. Argumentasi ruang koran yang terbatas semestinya bisa disiasati dengan pemilihan kalimat judul berita yang lain dan penggunaan kalimat efektif di tubuh berita.

Nah, deretan istilah berikut (mungkin) sudah berterima di kalangan pembaca ya:

gapoktan - gabungan kelompok tani
rutan - rumah tanahan
raskin - beras untuk rakya miskin

Oke, sobat.... Kalau ada tambahan istilah tak lazim, silakan memberikan masukan. Saya juga akan melakukan pemutakhiran inventarisasi istilah tak lazim.








28 September 2010

Kata Penghubung agar di Koran Kompas


Pengunjung blog yang berbahagia, saya pengin sedikit berbagi tentang penggunaan kata penghubung agar. Kebetulan saya menemukan kalimat yang memiliki konjungsi tersebut di sebuah berita bertema pemerintahan daerah di koran Kompas lembar Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berita tersebut bertajuk "Dukuh Korupsi, Warga Desak Pemecatan", terbit tanggal 29 September 2010. Iktisar warta perihal dukuh yang tersandung kasus korupsi dana rekonstruksi gempa DIY dan sekitarnya pada Mei 2006. Tak lekang dari ingatan, betapa dahsyat bencana itu. Lima ribuan warga DIY dipanggil lebih awal oleh Sang Kuasa. Ribuan rumah porak poranda. Infrastruktur banyak tak berfungsi. Waktu itu, wakil presiden menjanjikan bantuan puluhan juta rupiah bagi semua korban. Mata dunia tertuju di DIY, khususnya Kabupaten Bantul sebagai pusat bencana. Tidak sedikit lembaga donor, baik dalam negeri ataupun mancanegara, menggelontorkan bantuan kemanusiaan, baik berupa rupiah maupun benda. Nah, timbunan dana itulah yang menyilaukan mata pejabat tingkat dusun hingga kabupaten.

Sekadar info, dukuh adalah sebutan bagi kepala dusun. Institusi dusun merupakan bagian dari sebuah desa. Sebuah dusun terdiri atas beberapa RW. Beberapa RW terdiri atas beberapa RT. Sebuah RT terdiri atas puluhan kepala keluarga. Pimpinan tingkat dusun/dukuh itulah dinamai kepala dukuh (dukuh) dan kepala dusun. Sebenarnya masih ada petinggi bernama kamituwo. Istilah kamituwo hampir mirip dengan dukuh. Dia merupakan pimpinan tingkat dusun pula.

Kembali ke soal bahasa, saya kutipkan dua kalimat sebagai pembanding:

Kalimat pertama:
Warga Dusun Semampir, Panjangrejo, Pundong, Bantul, mendesak agar dukuh mereka dipecat dari jabatannya. 

Kalimat kedua:
”Kami sudah berulang kali minta agar kepala desa melakukan pemecatan, namun tuntutan warga tidak digubris,” katanya.


Bagaimana kawan menganalisis kekurangtepatan penggunaan konjungsi agar tersebut.
Saya punya pendapat, penempatan agar pada kalimat pertama tepat. Boleh jadi, warga tersebut meminta—untuk menghaluskan istilah mendesak—seseorang, kelompok, atau institusi segera memecat seorang dukuh dari jabatannya. Secara panjang, kalimat tersebut bisa tersirat:
Warga Dusun Semampir, Panjangrejo, Pundong, Bantul, mendesak (kepala desa) agar dukuh mereka dipecat dari jabatannya. 

Nah, kalimat kedua, saya kira, ada kerancuan, yaitu letak kata penghubung agar tidak tepat. Kalimat tersebut bisa bermakna lain, misalnya kami (warga) telah berulang-ulang minta (badan perwakilan desa/lembaga pilihan langsung warga alias DPRD-nya desa atau pak camat bahkan pak bupati) agar menyuruh sang kepala desa segera melakukan pemecatan. 
Kerancuan muncul karena posisi agar tidak tepat. Kalimat tersebut menjadi efektif apabila posisi agar diletakkan setelah kata kepala desa. Beginilah perbaikannya:

”Kami sudah berulang kali minta kepala desa agar melakukan pemecatan, namun tuntutan warga tidak digubris,” katanya.

Yah, begitulah manusia. Bisikan setan selalu tersuar di telinga kiri. Kesempatan dan niat selalu bekerja sama mengambil yang bukan haknya. Alih-alih beramanah menyalurkan dana bantuan ke yang berhak, eh, tidak sedikit pejabat yang malah berorientasi ke kepentingan pribadi. Kalau aku jadi pejabat, melakukan hal yang sama tidak ya :)
Duh, Penerbitan Karya Sastra 
Makin Minim 
di Daerah Istimewa Yogyakarta


Sobat, ada informasi kurang sedap dari provinsi wisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Diwartakan publikasi karya sastra di DIY semakin minim. Tak sedikit penerbit buku cenderung menghindari, bahkan emoh, menerbitkan karya sastra. Kenapa demikian? Mereka berargumentasi: karya sastra kurang menjanjikan; apalagi puisi.

Tuturan tersebut disampaikan Sholeh UG, Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) cabang DIY. Ada apakah gerangan? Fenomena ini layak dikritisi baik oleh pemerintah selaku otoritas dan pelaku sastra, khususnya penulis, dan penerbit sebagai produsen. 

Alasan yang dikemukakan penerbit bahwa keogahan penerbitan karya sastra karena tiadanya lagi gelontoran dana dari penyantun. Saat itu, di awal tahun 2000-an, penerbitan karya sastra di provinsi yang memiliki Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini sangat masif. Intensitas penebitan prosa ataupun lirik estetis berjuluk puisi cukup tinggi. Sayang, eforia tersebut cuma berlangsung tiga tahun. Itu pun berkat kucuran dari Ford Foundation. Pascasubsidi dana, geliat penerbitan buku fiksi berangsur surut.  Kolaps, deh, penerbit-penerbit yang menggatungkan napas dan nadi kepada lembaga donor. Parahnya, kala itu produsen buku yang menggantungkan diri dari kucuran dana lembaga donor lebih banyak ketimbang penerbit mandiri. 

Susut hingga asatnya buku kaya imajinasi ini terbukti tatkala Balai Bahasa, sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tanggung jawab dan wewenang atas terjaganya geliat kebahasaan dan sastra di wilayah garapnya, kesusahan mencari karya sastra terbitan DIY. Tiap tahun, balai yang saat ini dipimpin oleh Tirto Suwondo, dan aktor bagian penelitian pengembangan bahasa bernama Edi Setiyono dan Wiwin, tersebut menggelar program penghargaan bagi penulis.

Aktivis, pengunjung, blog yang berbahagia. Ada beberapa variabel penyebab runtuhnya kejayaan produksi karya sastra. Setidaknya faktor surutnya buku-buku kaya pesan moral dan ajang "rekreasi" asyik karena karya sastra saat ini sulit di pasar. Hegemoni buku genre teknologi informasi, cara praktis melakukan sesuatu, motivasi, lebih disukai ketimbang karya sastra. Itu sah-sah saja karena tentu penerbit akan mengikuti selera pasar.

Toh, apabila penerbit tetap fokus menggarap karya sastra, mereka mesti selektif dan bertimbang rasa hanya menerbitkan novel dan kumpulan cerpen. Jenis tersebut masih digemari pembaca. 

Di lain sisi, sebenarnya cerpenis, penyair, novelis, penulis naskah drama yang mukim dan mengklaim diri ada di DIY boleh dibilang sangat banyak. Tiap tahun, penulis mula bermunculan dengan karya-karya yang semakin inovatif dan kreatif. 

Kuakan fenomena tersebut penulis serap saat berleha santai di salah satu kursi merah di dalam Gedung Societeit Taman Budaya Yogyakarta. Bangunan warisan budaya tersebut diapit oleh Pasar Beringharjo dan Pusat Jual-Beli Buku "Shopping Center" dan Taman Pintar Yogyakarta. Tempat yang tak jauh dari ruas Jalan Malioboro tersebut menghadirkan nuansa "riang" pada malam tanggal 25 September 2010. Perhelatan sastra panggung digelar oleh Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta. Komunitas ini mengklaim akan senantiasa setia menjaga dan menghidupkan sastra pertunjukan di Yogyakarta. Setidaknya, tiap bulan di hari tertentu, mereka berdiskusi perihal tetek bengek karya sastra. Hari Leo, sang pendiri, bersama kolega dan mitra komitmen menjaga ruang sastra dan membuka lebar pintu bagi siapa saja untuk terlibat dalam diskusi.

Malam itu, saya terhipnotis oleh performa Akapela Mataraman. Aksi panggung mereka oke. Penguasaan karakter tiap tokoh sangat terjaga dan teruji. Cerita bersetting saat penguasaan Orde Baru. Sang tokoh utama memutar radio usang warna putih ukuran jumbo bermerek impor. Siaran yang dicari adalah pitutur Pak Besut. Tokoh Jawa kaya nasihat itu mengisahkan perjuangan seorang pensiun yang begitu tidak dihargai. Pentas Akapela Mataraman itu diwarnai oleh aksi ciamik tokoh dua wanita. Mereka tampak cantik dan anggun malam itu. Berkostum ala perempuan desa dan wanita karier penenteng laptop, mereka bernyanyi begitu memukau, dari langgam jawa hingga lagu Keong Racun. Dari awal hingga purna, tawa tak bosan tersuar dari bibir tiap pelihat. Hingga di awang imajinasi, tumbuh sebuah khayal, andai aku punya cewek seayik dia :)

jemekmime.blogspot.com
Sastra panggung malam itu juga diisi aksi sastra gerak sang tokoh pantomin, Jemek Supardi. Sayang, tidak ada narasi ataupun brosur dari panitia yang menyebutkan karya sastra apa yang sedang digelar oleh Mbah Pardi. Akhirnya, aku cuma bisa bengong-bengong saja ketika doi berkarya telanjang dada dan hanya ditemani pijar lampu.

Rangkaian acara sebenarnya diperdanai oleh aksi Komunitas Gedek dalam bentuk musikalisasi puisi. Kelompok seniman dari Kali Code tersebut membawakan tiga puisi. Tetabuhan berupa kentongan, gamelan mengiringi sang pujangga.

Ada komunitas Assarkem. Mereka kumpulan anak kuliahan yang konsen pada pemusikan puisi. Kekuatannya ada pada sang vokalis yang memiliki suara indah. Misal doi ikut acara idol-idolan pasti ia menang, dengan catatan perolehan SMS bukan patokan penilaian.

Performa yang patut jadi diskusi lanjut adalah sastra dugem yang diawaki oleh Dewo PLO. Di brosur, sang doi mengklaim bahwa genre ini baru pertama kali di dunia. Mereka mengawinkan antara pembacaan puisi dan aksi langsung (live) sang pemutar musik, DJ. Sayang, penulis tidak sempat melihat aksi mereka karena diajak beringsut ke tempat lain, yaitu klatak Mas Bari di Pasar Jejeran, Imogiri, Bantul.

Sebagai catatan akhir, kalau catatan pinggir sudah dipunyai Gunawan Muhammad :) : seyogianya pemangku kepentingan, penulis sastra, dan penerbit senantiasa berinovasi menumbuhkan karya sastra berkualitas dan menyesuaikan dengan zaman sehingga pembaca masih suka prosa dan lirik, alih-alih penggemarnya makin banyak agar budaya baca selalu terjaga di negeri tercinta.

27 September 2010

Kenapa 1 Lukisan Bisa Bernilai Rp 1 Miliar, sedangkan 1 Karya Sastra Tak Lebih Rp 1 Juta?


   Itulah pertanyaan seloroh yang dilontarkan teman, seorang redaktur senior sekaligus kepala sebuah biro koran nasional di Yogya. Manggut-manggut juga merespons pernyataan tersebut. 

Pembaca yang pengamat seni tentu ingat pelukis 1 miliar: Djoko Pekik. Ia berjuluk pelukis satu miliar karena lukisannya, Indonesia 1998 Berburu Celeng, terjual Rp 1 miliar dalam satu pameran di Yogyakarta pada tahun 1999. Berburu Celeng bersama dua lukisan lain, yaitu Susu Raja Celeng (1996) dan Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita 2000, merupakan sebuah trilogi. Trilogi tersebut adalah lukisan paling berkesan bagi seniman ekstentrik  asal Purwodadi, Jawa Tengah, ini di antara 300 karya lukisnya.

Dari obrolan ringan dengan beberapa pelaku seni, kurator, pekerja di galeri-galeri seni, sudah jadi rahasia umum betapa perupa yang telah punya nama selalu diburu lukisan-lukisan mereka. Tak kecil, kolektor membayar mahal untuk pigura tanggung pun. Tak semata milik sang maestro, bernama, pemula pun tak sedikit ramah disonggong limpasan rupiah.

Timbullah tanya di hati, kenapa ya karya sastra tulis yang juga merupakan proses pergulatan batin, pengimajinasian, olah rasa, kontemplasi melalui media aksara tidak sebombastis karya visual tersebut? Bukankah keduanya sama-sama berpijak atas nama keindahan, seni, dan meniscayakan proses apresiasi.

Sebuah cerpen yang terhias di koran kaliber nasional hanya dihargai tak lebih dari sejuta rupiah. Di lokalitas, koran hanya mau memberi "jasa penghargaan" tak hingga lima ratus ribu rupiah, dua ratus lima puluh ribu rupiah.

Di ranah sayembara penulisan karya prosa, puisi, penyelenggara tak lebih memberikan nominal di bawah digit dua. Nilai lebih, mungkin, terpanen ketika seorang produsen mampu mendapat label penghargaan-penghargaan yang berujung pada "pengakuan" hingga kompensasi ratusan juta rupiah saja yang terselenggara oleh yayasan, institusi, organisasi, komunitas, bahkan negara. Itu pun mesti melalu proses panjang, ketulussetiaan untuk senantiasa berkarya. Artinya, tidak setiap cerpenis, novelis, penulis naskah drama, pujangga, penulis naskah drama bergelar sang untung.

Naif memang, membicarakan proses penciptaan karya sastra apabila melulu dikaitkan dengan lembaran duit. Akan tetapi tidak dimungkiri bahwa kompensasi merupakan muara. Tujuan sebuah keinginan dan tentu berkelindan dengan semangat untuk selalu menorehkan karya.

Tidak sedikit tukang kebun kata berseloroh, seumur hidup penulis tidak bakal kaya.

Permenungan atas ketakasyiknya penghargaan karya sastra bukan sesuatu wilayah tabu, haram. Sah-sah saja semua berkontribusi memberikan tutur, ada apa sebenarnya dengan ladang-ladang sastra di Indonesia. Apakah petani kata sebatas tetap istikamah mencangkul, menyiangi, mengairi, memupuk lahannya supaya tumbuh subur dan memanen karya yang keemasan. Namun, di sisi lain, penghargaan terhadap karya tak lebih dari harga sebuah kotak ajaib putih-hitam 14 inci?

Peladang kata yang gemerlap sebenarnya telah bermunculan. Terbuktikan, pekarya sastra tak selamanya terpuruk dalam ketakadaapresiasi. Deretan pesohor telah jadi simbol dan teladan. Siapa yang tak kenal Andrea Hirata, Habiburrahman el Shirazy, Abidah El Khalieqy? Sohor, kompensasi berkelindan manis atas dedikasi dan loyalitas mereka bercocok tanam kata. 

Semoga bukan lantunan nada utopi, ironi apabila selalu ada slogan buat semua pekerja kata: kencangkan ikat pinggang, tegakkan kepala buat selalu berladang prosa.

23 September 2010

Huruf Kapital Tak Ditemukan di Solopos


Aktivis blog yang saya banggakan, di laporan analisis kesalahan berbahasa berikut ini, saya pengin mengupas koran lokal Solo, Solopos. 
Membaca koran ini, mengingatkan saya pada kenangan waktu berburu lowongan kerja. Kala itu, saya sudah mengantongi gelar sarjana pendidikan, namun sangat sukar mencari pekerjaan. Tiap hari, bidikan mata selalu fokus ke kolom-kolom iklan di “rajanya” koran seputaran Surakarta ini. Eh, pernah lho, saya mendaftar di sebuah perusahaan via iklan koran ini. Di iklannya, perusahaan tersebut butuh kepala bagian staf administrasi, kepala gudang, sekretaris. Nah, saya tertarik dan mendaftar. Awalnya, mereka tampak profesional. Ada tes administrasi, tes kemampuan, hingga tes psikologi. Tak butuh waktu lama, akhirnya saya lulus dan esoknya suruh kerja berpakaian necis: baju putih, dasi, celana non-jins hitam, dan sepatu kantoran hitam mengilap. Wah, calon eksekutif muda nih, seloroh saya. Eh, ternyata, tak ada hujan angin, saya diminta jualan open, wajan, dan alat dapur lainnya dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung. He..he..he…
 Oke. Kembali ke analisis kesalahan berbahasa, saya mengambil satu sampel pada pemberitaan hari Kamis, 23 September 2010. Di hari itu, media cetak dan elektronik memberitakan pembantaian tiga polisi oleh oknum yang diduga teroris. Sungguh sebuah drama pilu yang mengoyak harga diri negara.  
Inilah redaksional berita utama Solopos. Saya sengaja hanya mencuplik dua alinea.

Teroris tembak mati 3 polisi

Deli Serdang (Espos)   Langkah Polri memberangus terorisme mendapatkan perlawanan. Segerombolan orang bersenjata laras panjang menyerbu Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatra Utara, Rabu (22/9) dini hari. Tiga orang polisi tewas, dua lainnya selamat.
Serangan tersebut mengejutkan semua pihak karena hanya berselang satu hari setelah tim Densus 88 antiteror menangkap 19 orang terkait perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang juga terduga jaringan teroris Al Qaedah Aceh. Tiga di antaranya bahkan harus meregang nyawa karena melawan saat akan disergap.


Ada beberapa kekurangtepatan berbahasa di laporan itu. Setidaknya hal itu terlihat dari penulisan judul. Sekadar informasi, sebenarnya itulah gaya Solopos dan media-media turunanya dalam menuliskan judul berita. Tengoklah harian Bisnis Indonesia dan Harian Jogja. Dua koran itu memiliki gaya penulisan judul yang sama dengan Solopos, yaitu hanya menuliskan huruf awal kapital di awal kata. 

sumber: image shack

 
Lalu, bagaimana sebenarnya penulisan judul tulisan yang tepat dan baik?
Baiklah, kita buka kembali Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indoensia yang Disempurnakan. Di bagian Pemakaian Huruf Kapital pada poin ke 11 dituliskan, Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya:
Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
Dia adalah agen surat kabar Sinar Harapan.
Ia menyelesaikan makalah ”Asas-Asas Hukum Perdata”.

Nah cukup jelas, kan, aturannya. Mudah-mudahan pemangku kepentingan di redaksi Solopos kembali mempertimbangkan menuliskan judul sesuatu dengan kaidah.
Semestinya redaksional judul tersebut menjadi Teroris Tembak Mati 3 Polisi. Akan tetapi, semua memang kembali kepada kebijakan redaksioanl di media yang bersangkutan.

Analisis lainnya tertuju pada kalimat:

Tiga orang polisi tewas, dua lainnya selamat.

Ada kata mubazir yang terletak pada subjek, yaitu tiga orang polisi. Kata orang sebaiknya dihapus saja karena sudah jelas polisi adalah orang, bukan makhluk lainnya.

 Analisis terakhir tertuju ke kalimat:

Serangan tersebut mengejutkan semua pihak karena hanya berselang satu hari setelah tim Densus 88 antiteror menangkap 19 orang terkait perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang juga terduga jaringan teroris Al Qaedah Aceh.

Penulisan Densus 88 antiteror sebaiknya menggunakan huruf kapital pada kata antiteror. Hal itu karena Densus 88 Antiteror merupakan nama yang melekat.

Akhirnya, semoga bangsa Indonesia selalu diberi ketabahan dalam menghadapi semua musuhnya. Mudah-mudahan para pemimpin bangsa diberi kekuatan untuk selalu menjaga martabat dan eksistensi negeri ini.
Sebagai catatan akhir, saya kutip sebuah kalimat dahsyat dari pendiri bangsa, Bung Karno:

sumber: marhaenisme.files.wordpress.com
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah tapi perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri”

Dengan gelora semangat dari Ir Sukarno tersebut, semoga karakter bangsa Indonesia kembali menjadi negara gemah ripah loh jinawi, berbineka tunggal ika, serta bekerja dalam persamaan dan toleransi dalam perbedaan.
Rieke Hengkang ke Demokrat?


Hah? Kabar-kabari apakah gerangan? Rieke "Oneng" Pitaloka hengkang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan? Apakah yang terjadi? Demikiankah konstelasi politik berkelindan dengan ketakabadian dan absurditas?

Rentetan pertanyaan tersebut sontak terbuncah dari alam bawah sadar ketika menyaksikan sebuah tayangan berita di stasiun TV One bertajuk "Apa Kabar Indonesia”. Acara di pagi hari itu mengupas persoalan tenaga kerja Indonesia. Mbak Rieke memang salah seorang anggota DPR yang konsen terhadap kehidupan TKI. Bahkan, kehidupan TKI pun telah merasuk ke dalam alam imajinasinya. Siit Uncuwing merupakan salah satu goresan pena Rieke dalam sebuah cerpen yang mengisahkan pilu-lara raga-batin para TKI.




Usut punya usut, penulis buku Renungan Kloset dan Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat ternyata tidak hijrah ke partainya Mas Anas Urbaningrum. Kesalahan teknislah yang mengakibatkan ketaknyamanan pemirsa tersebut.




Ternyata empunya info Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Demokrat adalah Nova Rianti Yusuf.

Itulah salah satu kesalahan berbahasa (teknis) yang galib terjadi di media elektronik televisi. Sang teknisi grafis (atau bagian apa ya) mungkin kurang konsentrasi sehingga penempatan keterangan sebuah gambar tidak tepat.
Namun, bahasa sebagai petanda tidak boleh keliru. Sekecil apa pun itu. Meskipun tayangannya hanya berdurasi beberapa detik, kesalahan kecil pun idealnya dihindari. Hal tersebut bisa membingungkan masyarakat pembaca. Apalagi televisi merupakan media yang digemari jutaan orang di Indonesia.


21 September 2010

 

 

Se

na

ra 

i








abandonemen - keadaan tertinggal/terbuang

abituren - lulusan sekolah (terutama SMA)

acuh - peduli; mengindahkan

adalat - kebajikan

arthtritis - radang sendi

baan - trek (untuk lintasan kereta api)

bahasawan - ahli bahasa; penutur bahasa; pemakai bahasa

bantar - membantar, menolak (mencegah) penyakit, dan sebagainya; pembantaran: penangguhan masa penahanan

cengli - semestinya; masuk akal; jujur

daria - serius; sungguh-sungguh

dedah - buka; singkap

deponering - salah satu hak istimewa jaksa agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum

epigon - orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya 

glorifikasi - pemuliaan

hiperkoreksi - perbuatan memperbaiki secara berlebihan sehingga  hasilnya jadi sebaliknya

inversi - pembalikan posisi, arah, susunan, dsb; pembalikan susunan bagian kalimat yang berbeda dari susunan yang lazim

katarsis - kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan, pertikaian batin

konkurs - perlombaan

majal - tumpul; tidak tajam

malai - untaian (bunga dsb); pohon

mengemonah - menjaga

mimikri - meniru; penyesuaian

pembantu infal - pembantu sementara

pleonasme - pemakaian kata-kata berlebih daripada yang diperlukan; kata mubazir

redominasi - penyederhanaan penyebutan harga maupun nilai mata uang

resipien - penerima darah dsb

sesah - saling pukul

setup - buah-buahan dsb yg dikukus

solilokui - gaya penulisan yang sangat bersifat personal

spektakel - pertunjukan, tontonan

subtil - halus; lembut

tautologi - pengulangan gagasan, pernyataan, kata yang berlebih yang tak diperlukan

transendental - menonjolkan hal bersifat kerohanian; gaib; abstrak

 

Istilah Terjemahan


breaking news - berita sela

e-mail - surat elektronik (surel)

fit and proper test - uji kelayakan dan kepatutan

hacker - peretas

initial public offering - penawaran saham perdana

injury time - masa cedera, waktu tambahan

invention - reka cipta

outsourcing - alih daya 

play-off - tanding penentuan

quick count - hitung cepat

reshuffle - perombakan kabinet

talk show - gelar wicara

track record - rekam jejak

trend setter - pelopor

up-date - pemutakhiran

whistleblower - peniup peluit


Awas, Ada Aksi Potong di Solo


Aduh…. Jangan-jangan pengikut paham Rianisme sudah merambah kota pemilik Pasar Klewar ini. Dialah orang yang suka memotong-motong daging manusia umpama hewan. Ih, serem… 
Usut punya usut tindakan pemotongan tersebut ternyata merupakan program kerja Pemerintah Kota Solo terhadap pegawai negeri sipil yang terlambat dan tidak masuk kerja. Tentu bukan baju, rambut, atau anggota tubuh yang dipotong, melainkan tunjangan kesejahteraan pegawai. Nah, ini baru berita positif. Upaya pendisiplinan ini semoga semakin memantapkan solo sebagai kota industri berkelas dunia, sebagaimana telah dicanangkan oleh wali kota petahana, Jokowi.
Baiklah, pengunjung blog yang terhormat, saya akan memulai menganalisis kesalahan berbahasa di harian ini. Karena sudah pukul setengah tiga dini hari, ditambah lelah yang mendera, saya hanya mengungkap kesalahan di berita utama lembar suplemen Jawa Tengah dan DIY. Beginilah redaksional paragraf yang memiliki kesalahan tersebut.

Sekretaris Daerah Kota Solo, Budi Suharto mengungkapkan pemotongan tersebut akan mulai diujicobakan mulai 1 Oktober mendatang. Sebagai pilot project, kebijakan tersebut akan diberlakukan pertama kali di bagian Sekretariat Daerah, di mana terdapat sekitar 325 PNS yang bertugas.

Inilah analisis alinea tersebut.
1.      Ketakkonsistenan penggunaan tanda baca koma ( , ) setelah kata Kota Solo mengakibatkan ketaknyamanan bagi pembaca berita. Pembatasan subjek-predikat pada frasa Sekretaris Daerah Kota Solo, Budi Suharto mengungkapkan dengan tanda baca koma ( , ) akan makin menyamankan pembaca.
2.      Pada kalimat pertama terdapat bentuk pleonasme. Merujuk pada bagian SENARAI blog ini, pleonasme artinya penambahan yang tidak perlu. Pleonasme terletak pada kata: akan, mulai, mendatang.
3.      Adakah padanan kata yang tepat untuk istilah pilot project?
4.      Nah, analisis terakhir tertuju pada kata depan di mana. Persoalan ini dihadapi oleh banyak wartawan di berbagai media cetak. Kalimat tersebut terkesan bertele-tele, meski ada upaya peringkasan. Eksekusi pemilihan kata di mana, yang mana, dan sejenisnya hanya untuk memudahkan penulis merangkai dan mengakhiri semua kalimat tanpa mengindahkan kaidah yang tepat; boleh jadi merupakan ekspektasi tingkat stres sang penulis karena kesulitan memilih diksi yang tepat. Wallahu alam.

Inilah saran perbaikan paragraf tersebut.

Sekretaris Daerah Kota Solo Budi Suharto mengungkapkan, pemotongan tersebut diujicobakan mulai 1 Oktober. Sebagai proyek utama, kebijakan itu akan diberlakukan pertama kali di bagian Sekretariat Daerah. Di bagian tersebut terdapat sekitar 325 PNS.
Logat Jawa Mampir ke Sindo

Tanpa main mata atau kencan terlebih dahulu dengan beberapa media cetak nasional/lokal, Seputar Indonesia juga mengangkat tema utama ”seputar calon kejagung” edisi 19 September 2010.
Sang desainer perwajahan koran melumat semua ruas kolom koran untuk sang berita utama tersebut dengan judul ”Calon dari Kejagung Siap Adu Integritas”.Keterangan tempat harian berslogan Sumber Referensi Terpercaya ini di Bandung. Hal ini karena sang narasumber, yaitu Jaksa Agung Muda Pidana Khusus M Amari, sedang di kota impian penulis kedua setelah Yogyakarta, yakni Bandung.
Baiklah, yuk, kita analisis kesalahan Seputar Indonesia. Karena etalase tulisan tentu saja terletak di garda depan, kita teliti teras berita.


BANDUNG (SINDO) — Kalangan internal Kejaksaan Agung berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih jaksa agung dari jaksa karier. Mereka siap diadu integritasnya dengan calon jaksa agung nonkarier.


Kalimat pertama alinea tersebut sangat mudah dimengerti alias efektif. Akan tetapi, kerancuan muncul di kalimat berikutnya. Membaca kalimat itu, saya disadarkan atas eksistensi bahasa ibuku, bahasa Jawa. Tulisan tersebut berlagak/logat Jawa. Contohnya demikian:

Bocah-bocah kuwi wani didu kekuatane karo cah-cah enom seng lagi nongkrong kae.

Bagi yang paham bahasa Jawa, tolong ya dikritik apabila ada kesalahan penulisan kata. Bagi yang tidak/belum paham bahasa Jawa, berikut saya sertakan transiterasi ke dalam bahasa Indonesia;

Bocah-bocah itu berani diadu kekuatannya dengan anak-anak muda yang sedang nongkrong itu.

Lagi pula, kerancuan pikiran pada kalimat tersebut karena pemilihan menjadikan kalimat pasif. Susunan kalimat tersebut “ciamik” apabila diubah menjadi kalimat aktif/diubah menjadi verba. Kata Saran perbaikan atas kalimat tersebut adalah sebagai berikut.

 Mereka siap beradu integritas dengan calon jaksa agung nonkarier.
"Yang Penting Jaksa Non-kasir"?


"Kejaksaan Harus Dibersihkan". Demikian judul utama Koran Tempo edisi Minggu, tanggal 19 September 2010. Mengikuti arus utama (bahasa kerennya: mainstream), harian ini juga menyerukan agar Kejaksaan Agung dipimpin oleh jaksa dari luar institusi kejaksaan.
Geli yang mafhum (bukan mahfum) langsung muncul saat membaca judul tambahan/kutipan. Kalimat tersebut mengutip pernyataan Denny Indrayana, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, lewat lewat saluran telgam (telepon genggam). Begini redaksionalnya: ”Yang penting jaksa ’non-kasir’. (Kasir sah-sah saja menjadi petinggi kejaksaan apabila ia sekarang sukses menapaki cita-cita menjadi jaksa dan afdalnya lagi non-karier :) ). Mungkin (kah) maksud tulisan tersebut adalah ’non-karier’,
Baiklah. Penulis mulai menganalisis kerancuan berbahasa di berita utama harian edisi nomor 3302 tahun x berikut.
Setidaknya saya menemukan kesalahan kecil di teras berita.



JAKARTA – Kalangan ahli hukum dan aktivis antikorupsi menyatakan Kejaksaan Agung saat ini memerlukan figur pemimpin yang berani membersihkan lembaga itu dari praktek korupsi dan mafia hukum. ”Bukan sosok yang sekadar antikorupsi, tapi juga berani memperbaiki internal kejaksaan,” kata Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar saat dihubungi kemarin.

Kesalahan terletak pada istilah praktek. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa menonbakukan lema praktek. Menurut dia, istilah yang baku adalah praktik. Praktik merupakan nomina yang memiliki arti:
1. pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori
2. pelaksanaan pekerjaan (tentang dokter, pengacara, dan sebagainya)
3. perbuatan menerapkan teori; pelaksanaan

Mungkin (kah) ini kebijaksanaan redaksi Tempo untuk memakai kata praktek—alih-alih praktik.

Jakarta Tenggelam pada 2030?

Berita utama Media Indonesia edisi Minggu, 19 September 2010, mengangkat tema klasik, yaitu persoalan Jakarta. Harian itu menulis judul singkat namun begitu bombastis: ”2030 Jakarta Tenggelam”.
Tampilan berita cukup menarik dengan dihiasi foto suasana lalu lintas dan gedung-gedung pencakar langit Jakarta dari sudut atas. Ada juga tabel pendamping yang berisi Laju Penurunan Muka Tanah di Jakarta, Kondisi Air di Jakarta, Faktor Penyebab Penurunan Muka Tanah, dan Wilayah yang Mengalami Penurunan Muka Tanah.


Dalam rubrik analisis ini, saya pengin sedikit berbagi ilmu analisis kesalahan berbahasa. Kapasitas penulis sebagai pekerja bahasa sangat terbatas, saran dan masukan pengunjung blog ini tentu sangat berperan dalam memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, khususnya di media cetak.
Di berita utama harian yang memiliki semboyan Jujur Bersuara ini, saya setidaknya menemukan dua kerancuan sebagai berikut.

Kerancuan pertama terletak di teras berita:


Amblesnya ruas Jalan RE Martadinata, Ancol, Jakarta Utara, sepanjang 103 meter pada Kamis (16/9) menunjukkan Ibu Kota benar-benar rawan. Kalangan ahli risau Jakarta bakal tenggelam jika tidak ada usaha mencegahnya.



Kalimat pertama di alenia awal tersebut mudah dipahami. Kerancuan muncul ketika membaca kalimat kedua, yaitu penempatan kata mencegahnya di akhir kalimat. Padahal, ia merupakan verba transitif. Tentu persoalan tidak selesai begitu saja dengan menempatkan akhiran -nya. Seharusnya kata tersebut diubah menjadi nomina karena ia berperan sebagai objek. Saran kalimat yang benar adalah sebagai berikut.

Amblesnya ruas Jalan RE Martadinata, Ancol, Jakarta Utara, sepanjang 103 meter pada Kamis (16/9) menunjukkan Ibu Kota benar-benar rawan. Kalangan ahli risau Jakarta bakal tenggelam jika tidak ada usaha pencegahan.

Kerancuan kedua terletak di paragraf keenam:


 Meski Jakarta Utara paling rawan, tidak berarti kawasan lain aman.

Kalimat majemuk tersebut tidak efektif karena tidak jelas posisi subjek. Induk kalimat tersebut mestinya berada pada klausa tidak berarti kawasan lain aman. Akan tetapi, posisi subjek klausa tersebut tidak tepat. Saran kalimat yang benar adalah sebagai berikut.

Meski Jakarta Utara paling rawan, kawasan lain tidak berarti aman.

19 September 2010

Warga Polandia Lebih Indonesia?


   
   Bukan bermaksud provokatif. Judul tersebut memunculkan kabar gembira sekaligus rambu peringatan bagi para pemangku kepentingan. Sebagaimana diwartakan surat kabar Kompas edisi 15 September 2010, warga Polandia semakin banyak yang mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Hal tersebut didukung adanya keyakinan masa depan ekonomi di kawasan Asia jauh lebih cerah ketimbang kawasan lain. Di berita bertajuk Bahasa Indonesia Makin Digemari tersebut, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Republik Indonesia Timoer Poerwonggo menyatakan, besarnya minat warga Polandia belajar budaya dan bahasa Indonesia di antaranya terlihat dari terus bertambahnya jumlah warga Polandia yang mengajukan beasiswa belajar di Indonesia.
   Terlepas dari misi orang-orang Polandia belajar bahasa Indonesia karena merasa memiliki kesamaan warna bendera kenegaraan (merah dan putih)—meski dengan posisi berbeda—atau bukan, warga Indonesia mesti mengapresiasinya.
  Dalam urusan bahasa, Indonesia ternyata bukan negara kelas rendahan. Sebagai warga Indonesia, kita patut bangga bahwa bahasa Indonesia digemari oleh orang-orang Eropa. Fenomena ini seharusnya bisa melecut semangat nasionalisme dan kegairahan tiap pemilik bahasa Indonesia untuk senantiasa menjaga dan melestarikannya.
   Akan tetapi, senyatanya tidak sedikit warga Indonesia yang kurang peduli dengan bahasa Indonesia. Banyak pejabat di tingkat kelurahan hingga negara tidak cakap berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Andai diterapkan uji kemampuan berbahasa Indonesia bagi pejabat pemerintahan, tentu banyak yang tidak lulus. Coba kita perhatikan bagaimana penggunaan kata, kalimat, bahasa para pejabat ketika berpidato ataupun urusan surat-menyurat. Apakah mereka mampu menerapkan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Di ranah bisnis, berseliweran iklan-iklan yang tak baku. Nama-nama usaha dagang, merek dagang yang tak ramah bahasa Indonesia. Bahkan, tidak sedikit penggunaan bahasa di dunia bisnis yang cenderung merusak bahasa Indonesia. Di level akademik, tidak sedikit pelajar, mahasiswa, bahkan dosen yang kurang pandai berbahasa Indonesia sesuai kaidah saat kegiatan-kegiatan formal. 
   Meminjam slogan Bulan Bahasa dan Sastra 2010, Bahasa Jiwa Bangsa. Sudah sewajarnya pemangku kepentingan—praktisi bahasa, ahli bahasa, pencinta bahasa Indonesia—semakin menguatkan tekad, usaha, dan langkah aplikatif menjadikan bahasa Indonesia sebagai "tuan rumah" di negerinya sendiri. Banyak cara yang bisa dilakukan, di antaranya meningkatkan intensitas sosialisasi berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang inovatif dan mengikuti perkembangan zaman. Program Bulan Bahasa dan Sastra 2010, contohnya. Dengan mengadakan berbagai lomba bahasa dan sastra, tentu memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi pengembangan dan pelestarian bahasa dan sastra. Apalagi beragam sarana diterapkan dalam kompetisi ini, tidak melulu melalui teks, misalnya lomba blog. Boleh jadi di tahun-tahun mendatang kompetisi sebagai pemicu kecintaan bahasa dan sastra semakin "asyik" dengan lomba demo pentas drama, baca puisi, baca cerpen, pidato berbasis internet, misalnya. Di lingkungan akademik, guru dan dosen senantiasa dituntut memformulasi cara pengajaran agar peserta didik suka dan betah hingga akhirnya cinta dengan bahasa dan sastra. Sangat banyak trik yang bisa dilakukan dan tentu tidak sedikit guru, dosen yang sudah cakap mengajarkan bahasa dan sastra secara interaktif dan elegan. Taruhlah misalnya peserta didik diajak piknik ke pasar klitikan, terminal, stasiun kota, kebun belakang sekolah. Setelah itu, mereka diminta menuangkan amatan ke dalam bait puisi, alinea-alinea cerpen, hingga naskah drama. Bisa juga pendidik menggunakan fasilitas internet untuk berinteraksi dengan peserta didik. Misalnya, pemberian pekerjaan rumah melalui surat elektronik (surel), pengerjaan tugas melalu laman berbasis blog. Di bidang media, media massa elektronik dan cetak sebagai pilar utama lainnya penebar sosialisasi bahasa dan sastra harus mafhum dan sadar untuk menggunakan bahasa Indonesia secara efektif, komunikatif, tanpa melalaikan penggunaan bahasa Indonesia secara baku. Di level sastra, ada baiknya cerita-cerita pendek dan cerita bersambung ataupun puisi juga ramah kepada pembaca usia sekolah menengah. Tidak sedikit cerpen di media cetak yang mengangkat tema yang bersinggungan dengan darah, kekerasan, amoral. Ini tentu sangat tidak etis dibaca oleh kalangan pelajar sekolah menengah. Akhirnya, marilah kita bersama mencintai Indonesia melalui penebaran virus-virus cinta bahasa dan sastra.

Profil Polandia 


Nama Negara: Republik Polandia.
Ibukota:  Warsawa.
Lambang Negara: Burung Garuda dengan Mahkota.
Bentuk Negara: Republik.
Luas Wilayah:  312.685 km2 (1,4% dari luas wilayah Eropa).
Letak Geografis: Eropa Tengah, dengan perbatasan:
Timur:  Ukraina, Belarus, Lithuania dan Rusia;
Selatan: Ceko dan Slovakia;
Barat:  Jerman;
Utara: Laut Baltik.
Iklim:  Suhu rata-rata – 8 derajat C (musim dingin) dan +25 derajat C (musim panas).
Hari Nasional: 3 Mei (Hari Konstitusi) dan 11 Nopember (Hari Kemerdekaan).
Bahasa Nasional: Polandia, termasuk rumpun Slav yang terbagi dalam:
Slav Barat:  Polandia, Ceko, Slovakia
Slav Timur:  Rusia, Ukraina, Belarus
Slav Selatan: Bulgaria, Macedonia, Slovenia, Serbia-Kroasia.
Lagu Kebangsaan: Jeszcze Polska Nie Zginela (Polandia Masih Bertahan).
Jumlah Penduduk:  38,136 juta (2008), dengan pertumbuhan 0,09% per 1 ribu orang
Komposisi etnik: Polandia (97%), Belarus dan Ukraina (1,5%), Jerman (1,3%), Rumania, Lithuania, Rusia, Ceko, Slovakia (0,2%), Tartar (0,013 %).
Agama: Katolik Roma 89.8% (±75% yang mempraktekan), Ortodoks Timur 1.3%, Protestan 0.3%, lainya 0.3% termasuk Islam (± 5.000 orang keturunan Tartar).
Mata Uang: Zloty (Zł atau PLN), 1 zloty = 100 groszy.
Kurs tengah NBP (National Bank of Poland) Nopember 2009
US$ 1  = ± 2,7400 zloty
Euro €1= ± 4,1008 zloty
Sumber Daya Alam :  Batu bara (26,9%), Batu kapur (48%); Tembaga (14,3%); Semen (6,2%); produksi gula (7,9%); Belerang (15,2%); Batu bara muda (10,4%)

Sumber profil: www.deplu.go.id
Sumber ilustrasi: http://winmit.blogdetik.com, wikipedia

16 September 2010

Jalan RE Martadinata Lenyap?


  Stasiun swasta nasional berbasis berita, yaitu Metro TV dan TV One, membuat sensasi mencengangkan. Saat menyaksikan sebuah berita, pemirsa dibuat kaget dan terheran-heran. Hah, Jalan RE Martadinata hilang? Ada apa gerangan yang terjadi?
    
   Sebagaimana dilansir semua media massa cetak dan elektronik, Jalan RE Martadinata rusak. Ia ambrol. Jalan menuju arah Pelabuhan Tanjung Priok tersebut rusak sedalam 7 meter dengan panjang 103 meter pada Kamis, 16 September 2010, pukul 03.15. Akibat tragedi itu, negara dirugikan Rp 2,83 miliar (wow... angka yang fantastis).
   Apakah penyebab kerusakan itu, siapakah pemangku kepentingan yang bertanggung jawab, bagaimana reaksi masyarakat... Stop. Artikel ini tidak akan mengulas lebih lanjut mengenai Jalan RE Martadinata karena laman ini semata didedikasikan sebatas perspektif bahasa saja (ups, di samping juga penulis tidak memiliki kemampuan tentang ilmu geologi atau pertanahan, hehehe). 
   Baiklah kita kembali ke Metro TV dan TV One yang telah mencengangkan pemirsa. Usut punya usut, penyebabnya ternyata dari sang pembaca berita. Sepasang pembaca berita TV One dalam siaran Kabar Petang menyatakan bahwa Jalan RE Martadinata amblas. Begitu juga di acara Breaking News (berita sela) Metro TV pada pukul 20.00, mbak pembaca berita juga mewartakan Jalan RE Martadinata amblas. Hal itu diamini oleh teks berjalan (running text) yang menuliskan Jalan RE Martadinata amblas sejauh 103 meter. Ketika diadu dengan stasiun televisi lainnya, eh, ternyata sama saja. Hampir semua stasiun televisi memakai diksi amblas.
   Apakah benar-benar jalan tersebut lenyap? Hebat benar sang pencuri. Pasti dia keturunan Superboy atau minta bantuan kantong ajaib Doraemon. Kalau Si Pitung, ia pasti tidak akan tega mencuri aset negerinya sendiri. Pertanyaannya, kantong, tas sebesar apa ya yang digunakan pencuri untuk mengambil ruas jalan sepanjang ratusan meter tersebut.
   Baiklah, di mana sebenarnya letak kekacauan ini?
   Kita tengok sejenak sang buku pintar, Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa halaman 50. Disuratkan:

Lema amblas artinya hilang; lenyap; tidak muncul-muncul lagi.
Contoh kalimat=
- Sinta bingung dan pusing tujuh keliling karena telepon genggamnya yang berisi ratusan foto dan video amblas saat membaca buku di taman kota.
- Pascaterkuaknya kasus plagiasi, penulis artikel produktif itu amblas.

Nah, bila mengacu keterangan kamus yang tebal itu, pemilihan diksi yang dilakukan mbak dan mas pembaca berita di televisi-televisi tadi mengisyaratkan bahwa Jalan RE Martadinata hilang, lenyap. Artinya, ia berarti dicuri orang, atau jangan-jangan diambil Bandung Bondowoso untuk menambah material candi pesanan Roro Jonggrang ya. :)
   Sekarang kita menjadi detektif. Kita urai kesalahan berbahasa tadi. Artinya, ada kesalahan pemilihan diksi amblas. Sekarang kita adu dengan diksi tetangga sebelah, yaitu ambles.
   Menurut KBBI, di halaman 50 juga, lema ambles artinya turun (ke dalam tanah); tenggelam.
Contoh kalimat:
Jalan penghubung Desa Morfologi dan Desa Sintaksis ambles pascahujan semalam.
   Nah... ini dia biang keroknya. Ternyata pemilihan diksi di siaran berita beberapa televisi tersebut tidak tepat. Kata amblas  seharusnya ambles. Jadi, kalimat yang tepat seharusnya Jalan RE Martadinata ambles.
   Akhirnya, marilah kita kembali mengingatkan kepada para pemangku kepentingan, khususnya pekerja media—sebagai pilar utama penyosialisasi pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar—untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia secara elegan dan taat kaidah.
   Meminjam slogan Bulan Bahasa dan Sastra 2010, Peningkatan mutu berbahasa Indonesia  merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, seyogianya kita memiliki kepedulian meningkatkan mutu berbahasa Indonesia dengan selalu belajar dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
   Pembaca berita di televisi dan radio merupakan figur ideal bagi pembelajar bahasa Indonesia, khususnya pengambil mata pelajaran/mata kuliah berkaitan dengan keterampilan membaca teknik dan membaca indah.  Di sisi lain, meskipun bersifat audio dan cepat saji sehingga tidak ada bukti teks, televisi ataupun radio memiliki jutaan pemirsa. Karena itu, bahasa Indonesia akan sangat bangga dan terharu apabila pemangku kepentingan televisi dan radio selalu mengedepankan berbahasa Indonesia dengan baik dan cerdas.   
Jalan RE Martadinata jadi tontonon warga. Sumber: kompas.com