06 Januari 2011

Asal-usul Desa Sondokoro, Cikal Bakal Nama Tasikmadu, Karanganyar


Elok nian pabrik gula Tasikmadu. Tembok-bangunan tegar perkasa dikitari rimbun pohon-pohon raksasa. Pabrik gubahan pesohor Mangkunegoro IV ini terwalak di sebelah barat lereng Gunung Lawu dan berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Solo. Sejarah mewaritakan, cikal bakal nama Tasikmadu adalah sebuah desa bernama Sondokoro, simbol kisah dramatik-tragis dua orang seperguruan, Sondo dan Koro.
Syahdan, Ki Plapar termashyur berbudi luhur, arif, kosen mandraguna. Meskipun rambut kian memutih, guratan-guratan kulit mengeriput dimakan takdir, ia masih bisa berjalan tanpa tongkat penyangga. Sorot matanya terpancar berwibawa. Kebiasaan menikmati ranum udara pagi dan berjalan kaki jauh sejak belia menyebabkan Ki Plapar tak merasa senja.
Rona fajar belum sempurna benar. Tetes-tetes embun bersenandung, menjatuhkan diri dari daun-daun perdu. Cicit-cicit murai berganti padu dengan kokokan jago. Anak ayam berkecipak minta makan induknya. Cericip dedaunan pohon pisang, bambu, jati, trembesi, beringin, waru dikipas-kipasi angin sepoi yang menghantarkan dingin dari selimut ke selimut. Gigil pagi meninabobokan anak-anak manusia yang enggan terpisah oleh mimpi-mimpi malam. Namun, tidak demikian dengan Padepokan Padas Plapar.
“Hia….”
“Hap….”
“Rentangkan kaki, kokohkan kuda-kuda.”
“Siap….”
“Kepalkan kedua tangan, ayunkan bergantian dengan sekuat tenaga.”
“Hiaaat…”
“Kiri, kanan, ayun, kiri, kanan, ayun”
“Siap guru….”
Puluhan pemuda bercelana serbahitam bertelanjang dada dan kaki tampak rajin olah kanuragan. Mereka beroleh tempaan Ki Plapar semenjak mentari belum tersembul di ufuk timur.
“Murid-muridku, pagi ini kalian akan kuajari ilmu jagat diri.”
Injih (iya) guru,” serentak puluhan pengikutnya membalas perkataan sang guru.
“Tapi ingat, kepandaian yang akan kalian peroleh ini jangan digunakan untuk hal yang tidak baik. Jauh di luar sana, banyak jelata yang harus kalian bela, banyak manusia lemah yang mesti dijaga. Keangkaramurkaan merajalela. Tegakkan kebenaran, lawanlah penguasa yang bertindak nista, lalim. Belalah penguasa yang arif-bijaksana dan mengayomi rakyatnya. Jangan gunakan kesaktian ini kelak untuk menjatuhkan kalian kepada kehinaan.”
Sendika dhawuh (laksanakan perintah) guru,” jawab para murid dengan taat.
Begitulah, setiap hari sang guru dan para murid menggembleng fisik dan diri pantang lelah.
Keugaharian Ki Plapar pulalah menyebabkan Padepokan Padas Plapar tersiar dari desa-desa sebelah hingga jauh tersiar di luar Hutan Padas, bahkan sampai seluruh tanah Jawadwipa.
Nun di punggung bukit belakang Padepokan Padas Plapar, seorang pemuda tampan membelah batang trembesi dengan kapak. Dari garis-garis otot yang terbalut di bawah kulit bersihnya, tampaklah ia masih berusia puluhan tahun.  “Prak…prak…prak”. Kayu berdiameter puluhan sentimeter itu akan berakhir sebagai kayu bakar di tungku. Itulah pekerjaan dia saban pagi, membantu Simbok membuat kayu bakar. Pemuda ini sangat rajin dan dicintai semua tetangga di kampungnya. Ia suka menolong sesama dan gigih bekerja. Sejak kecil, ia dipanggil Sondo. Ada pula teman-teman sebayanya memanggil Sondong.
“Sondo….”
“Iya Simbok….”
“Ke sini, Nak.”
“Iya Simbok.”
“Sudah cukup kayunya. Istirahatlah. Kamu juga belum sarapan. Itu ada nasi, sambel terasi, dan lalapan kesukaanmu.”
“Tidak mengapa Simbok. Perut Sondo masih kenyang. Simbok, Sondo minta izin pergi ke hutan sekarang.”
“Lho, ada apa tho, Nak,” tanya Simbok.
“Sondo akan mencari buah-buahan kesukaan Simbok. Biar Simbok senang.”
“Ya sudah, tapi pulangnya jangan malam-malam.”
“Terima kasih, Simbok.”
 Di samping taat dan rajin bekerja, Sondo juga senantiasa berusaha menyenangkan orangtuanya. Dengan cekatan, ia menyusuri jalan-jalan berbatu di desanya lalu berbelok meniti bukit yang ditumbuhi ilalang. Tak lama ia telah masuk ke dalam Hutan Padas.
Hutan Padas tersohor dengan pohon-pohon besar dan masih banyak binatang buasnya. Alkisah banyak hal-hal aneh yang akan ditemui bila ada orang yang berani masuk ke dalam hutan tanpa minta permisi kepada sang pemilik hutan.
Kala itu, sinar matahari yang tampak tipis tak mampu menerabas ranting-ranting dan lebatnya dedaunan di Hutan Padas. Lolongan anjing silih berganti dengan desir kencang angin. Suasana tiba-tiba mencekam. Langit menjadi temaram. Mendung pekat berarak. Petir mulai menyambar dentumkan suara menggelegar.
Tiba-tiba….
“Hua…hua…hua….”
“Brak…” terdengar suara lentingan tangis dan suara benda terjatuh.
“Tolong… tolong… tolong…” Ada yang mau menikamku, bayangannya sangat besar. Tolong aku.”
Napas terengah-engah berburu dengan ayunan kaki tak beralas. Seorang pemuda belasan tahun mengucurkan keringat. Raut mukanya tegang. Tubuh kekarnya tak mampu melawan serpih-serpih daun, patahan ranting, kayu, akar, batu yang berserakan di tanah. Darah segar mengucur di telapak kakinya. 
Ia tak menghiraukan kondisi tersebut. Ia terus berlari dan berteriak-teriak.
Sondo tercekat. “Hah, ada orang berteriak-teriak. Mungkin ia butuh bantuan. Aku harus menolong.” Ia langsung mencari sumber suara.
“Hai, ada apa,” teriak Sondo, setelah melihat sekelebat bayangan dari balik pohon jati.
“Aduh, Sondong, tolong aku. Aku dikejar bayang-bayang menakutkan.”
“Oh kamu, Koro. Kamu terbawa lamunan lagi ya. Kamu jangan suka melamun kalau di dalam hutan. Ya sudah sekarang kamu istirahat. Ini kamu minum air putih. Aku bawa dari rumah.”
Ternyata sosok itu adalah Koro, teman bermain Sondo. Dengan cekatan, Sondo mengambil tempat minum terbuat dari bambu yang ia kalungkan di punggung.
“Gluk…gluk…gluk.” Koro langsung meminum air putih itu. Gelontoran air sebesar kepalan kedondong tampak dari kerongkongan Koro. Saking hausnya, beberapa air berceceran mengenai bajunya.
“Pelan-pelan, Koro,” kata Sondo, sambil membersihkan dan membebat luka Koro dengan sobekan bajunya.
“Terima kasih Sondo.”
Sondo dan Koro adalah dua sahabat karib. Mereka kerap bertandang di dalam hutan.
“Tadi kamu kenapa, kawanku,” tanya Sondo.
“Aku tadi belajar bela diri. Seperti biasanya, kan, tiap pagi sampai siang aku rajin menempa diri di dalam hutan ini. Aku pengin menjadi ksatria yang gagah perkasa dan melindungi orang-orang lemah.”
Sondo dan Koro memang memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki ilmu silat yang mumpuni. Bukan gagah-gagahan, mereka ingin mendarmabaktikan kepandaian itu kelak demi kemajuan desa masing-masing.
“Iya, Koro. Memang kamu kalau punya keinginan sangat kuat dan kamu tak pantang menyerah. Namun, di tempat seperti ini, kamu jangan suka melamun. Akhirnya, kejadian lagi, kamu berkhayal tadi. Seolah-olah dikejar-kejar bayangan hitam.”
Saat kedua sahabat karib itu terlibat pembicaraan, sesosok mata tajam mengintai dari balik rerimbunan ilalang. Rambutnya ikal terurai, busur panah tersilang dipunggung dilengkapi dengan puluhan anak panah dengan mata lancip-lancip. Bila menukik mengenai kulit macam, darah akan bercucuran menempel di mata anak panah. Parang panjang terjuntai diikat dengan tali akar-akaran di pinggangnya.
Dengan gesit, ia mendatangi kedua orang itu. “Hai, para pemuda, sekiranya kalian ingin menempa diri, belajarlah kepada Ki Plapar.
“Siapakah, Tuan?” nyaris bersamaan Sondo dan Koro mengajukan pertanyaan.
“Aku salah satu murid Ki Plapar. Bergurulah ke Padepokan Padas Plapar.”
Syahdan, setelah ditimbang rasa dan tanpa lupa meminta restu kepada orangtua, akhirnya  Sondo dan Koro berguru ke Padepokan Padas Plapar. Mereka sangat rajin mempelajari ilmu dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Perkembangan mereka sangat cepat. Tindak tanduk, budi wibawa dan bahasa kedua pemuda itu membuat mereka cepat akrab dengan murid-murid yang lain. Mereka juga menjadi murid kesayangan Ki Plapar. Meskipun demikian, semua murid rukun dan tidak tersimpan tabiat iri dengki karena sang guru senantiasa menggembleng ilmu eling kepada murid-muridnya. Ingat akan jati dirinya, kesadaran terhadap hakikat hidup. Sesekali, Sondo dan Koro pulang ke desa untuk melepas rindu kepada orang tua dan menularkan ilmu kepada teman-teman.
Waktu berlalu, hari berganti. Kedua murid itu makin menjadi pemuda gagah trengginas. Akhirnya, mereka dinyatakan lulus dan harus menerapkan ilmu hayat. Demikianlah, sang guru, Ki Plapar, mewajibkan semua muridnya menerapkan ilmu untuk kebaikan. Sondo kembali ke desanya. Ia menjadi tokoh yang disegani dan jadi pemimpin yang cakap menyejahterakan warganya. Ia juga mempersunting seorang gadis desa berparas jelita. Koro pun demikian. Ia membangun desa dan menjadi panutan. Koro tidak tahan melihat kesengsaraan di desa. Tiap ada pemuda yang berbuat jahat, ia akan melawan dan menyadarkan. Tidak sedikit gerombolan penyamun yang ia taklukkan. Ia juga membangun mahligai rumah tangga dengan seorang gadis pujaan.
Kini, Hutan Padas tak seangker dahulu lagi. Orang-orang tidak perlu minta izin kepada ”penguasa” hutan. Kicau burung terdengar indah bersahut-sahutan. Pagi itu, mentari menyusup masuk hingga menyoroti akar-akar pepohonan. Seekor kijang tutul-tutul berlari-lari kecil mencari makan. Binatang bertanduk itu tak sadar, maut menyergap di balik pepohonan. Anak panah telah disandingkan ke busurnya. Sang empunya panah menahan napas, memusatkan pikiran, dan tanpa mengedipkan mata. Dalam hati, setelah merasa sudah tepat sasaran, ia berhitung, “satu… dua…” Menjelang hitungan ketiga, “Ah….” Diurungkannya niat melepaskan anak panah.
Tiba-tiba dari balik semak muncul sesosok gadis menghalau si kijang. Kulit kuning langsat tampak bersinar diterpa kilauan mentari. Rambut hitamnya panjang terurai dipermainkan embusan angin. Pipinya dekik dengan balutan senyum tipis menawan.
“Duhai…” Sang pemburu terpana dibuatnya. “Siapakah gerangan?”
Gadis itu tampak malu. Ia menutup bibir menggunakan dua telapak tangannya. Rona merah tersembul dari kedua pipinya yang bersih terawat.
“Jangan takut. Perkenalkan, saya Tumenggung Joyo Lelono. Saya tinggal di seberang hutan ini.”
 “Maaf. Saya telah menghalau kijang itu. Kasihan. Nama saya Sri Widowati putri Kyai Sondo,” sembari gadis itu membalikkan badan dan berlari-lari kecil menuju desanya.
Tumenggung Joyo Lelono terpana atas pandangan pertama itu. Tiap hari, keayuan Sri Widowati menggelayuti alam pikirannya. Akhirnya ia bertandang ke rumah Kyai Sondo dan mengutarakan niat untuk melamar putrinya. Atas niat baik tumenggung untuk menjaga putrinya, Kyai Sondo berjanji akan menikahkan anaknya. Setelah laku Jawa, ditetapkanlah hari perkawinan pada Senin Legi.
Hati Tumenggung Joyo Lelono amat girang. Ia undur diri dan segera kembali masuk ke hutan untuk merayakannya dengan kembali berburu. Ia akan berburu kijang yang telah diincarnya sejak beberapa hari. Sang tumenggung menyusuri hutan dengan cekatan. Nun jauh di depan mata, semak-semak bergerak-gerak. Tumenggung Joyo Lelono yakin, itu adalah kibasan kijang. Sepontan ia berlari mengejar kijang itu. Namun, ia terhalang oleh sesosok bayangan yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan. Ia tampak ayu rupawan.
Sesaat kemudian, kedua manusia lain jenis itu pun terlibat adu pandang. Sekali lagi, Tumenggung Joyo Lelono terkesima melihat kecantikan gadis tersebut. Ia mengira perempuan itu adalah Sri Wedowati. Beberapa detik kemudian, gadis itu lari ketakutan. Karena penasaran, Tumenggung Joyo Lelono mengikutinya dari belakang.
Gadis itu langsung masuk ke rumah dan melaporkan ke sang ayah telah bertemu hingga dikuntit seorang laki-laki. Tumenggung Joyo Lelono tersadar bahwa rumah itu milik Kyai Koro. Ia baru tahu, Kyai Koro mempunyai anak gadis yang cantik pula. Seakan lupa terhadap pinangannya ke Sri Widowati, Tumenggung Joyo Lelono melamar putri Kyai Koro. Melihat kemauan dan niat baik tersebut, Kyai Koro menyetujui lamaran.
Di suatu hari, Kyai Koro menyuruh anaknya pergi ke rumah Kyai Sondo. Kedua gadis itu memang bersahabat sejak kecil. Mereka memiliki banyak kesamaan. Keduanya sama-sama cantik dan penurut serta rajin.
Kedua gadis itu tampak akrab bercakap-cakap di belakang rumah di bawah pohon mangga. Mereka berbagi pengalaman saat pertemuan dengan seorang pemuda. Walhasil ketahuanlah bahwa keduanya dilamar oleh orang yang sama, yaitu Tumenggung Joyo Lelono.
Akhirnya, mereka berselisih dan mengadukan kepada ayah masing-masing.
Perang pun tak terelakkan. Kyai Sondo merasa harga diri keluarganya dicabik-cabik dan Kyai Koro merasa kekasih anaknya direbut oleh Sri Widowati. Karena tertutup oleh rasa marah yang membara, keduanya kalap. Mereka beradu kedigdayaan. Sehari, dua hari, tiga hari mereka tanpa henti beradu tanding. Digambarkan semua binatang menyingkir ketakutan, pohon-pohon besar kecil jatuh bertumbangan. Orang-orang desa tidak ada yang berani menengahi kedua tokoh tersebut.
Seminggu mereka bertarung siang malam. Semua jurus dikeluarkan, semua senjata ditarungkan. Dua minggu kedua pendekar itu masih terlibat perang tanpa jeda sebentar pun. Kedua gadis pun tidak bisa melerai ayah masing-masing. Mereka hanya terlihat sesengukan dan menangis serta menahan takut. Tiga minggu lebih mereka masih mengumbar rasa dendam dan melupakan rasa persahabatan. Hingga genap 40 hari 40 malam, keajaiban terjadi. Mereka musnah bak ditelan bumi. Tidak ada yang kalah dan tiada jua pemenang. Tidak seorang pun tahu keberadaan kedua orang sakti tersebut.
Syahdan tempat pertempuran itulah cikal bakal Desa Sondokoro, penggabungan atas dua nama, yaitu Sondo dan Koro.
Beberapa waktu kemudian, KGPAA Mangkunegoro IV mengubah Sondokoro menjadi Tasikmadu dengan harapan  hasil gula dari pabrik akan laksana danau madu. Hingga kini, pabrik yang menjadi kebanggaan warga Karanganyar, Jawa Tengah, ini masih produktif. Kebanggaan lainnya, kepemilikan pabrik tua ini tidak pernah tersentuh oleh tangan pihak asing dan hampir senantiasa dikelola oleh pribumi sendiri.
Dalam perkembangannya, Tasimadu juga dijadikan sebagai nama kecamatan di Kabupaten Karanganyar. Sondokoro sendiri sekarang dikenang dan dikenal sebagai nama tempat wisata yang terdapat di dalam lingkungan Pabrik Gula Tasikmadu. Di area rekreasi itu, terdapat kolam renang Sri Widowati—nama yang diambil dari putri Kyai Sondo. Adapun petilasan Sondokoro sendiri dipercaya terletak di sebelah selatan kolam renang tersebut.

Didik Durianto
Alumnus Program Studi Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS Surakarta,
Tinggal di Desa Buran, Kecamatan Tasikmadu, Karanganyar, Surakarta

05 Januari 2011

Menakar Keberpihakan Cerpen Koran kepada Peserta Didik


 ”Jangan sampai menempelkan karya sastra yang banal. Hindari prosa, baik itu cerpen, petikan novel, hingga naskah drama, yang berbau kekerasan, darah, kematian berbalut sadisme. Biarkan mereka menikmati tanpa rasa mencekam, tenang, bahkan tertawa, hingga ada yang dibawa untuk warna hidup, buat bekal di hari-hari nyatanya.”
Rentetan petuah tersebut disampaikan seorang profesor doktor sastra sekaligus dosen di sebuah perguruan tinggi saat menyosialisasikan dan memberi pembekalan kepada pengelola penerbit buku dan penulis buku se-DIY, Solo, dan sekitarnya terkait Sayembara Penulisan Buku Pengajaran Pusat Perbukuan (Pusbuk) Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional) 2007 untuk Buku Sekolah Elektronik (BSE), di salah satu gedung Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang terletak di Kabupaten Sleman, arah timur ruas Jalan Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Senyampang bersua dengan sang munsyi, penulis bertanya dalam kesempatan sore tersebut, ”Lalu kriteria yang baik sebuah cerpen, naskah drama seperti apa, Prof.?” Pernyataan diplomatis termadah, sebaiknya proses pemilihan karya sastra dalam penciptaan sebuah buku ajar melalui ahlinya, yaitu ahli sastra, sastrawan. Jangan sampai sembarangan, asal comot tempel, menaruh cerpen, naskah drama, petikan novel-roman di materi sastra.
Sangat dimafhumi ketika meneropong cerpen-cerpen di BSE mata pelajaran Bahasa Indonesia, baik tingkat SLTP maupun SLTA, kutipan-kutipan cerpen tersaji dengan selalu mengindahkan etika tanpa abai rasa sastra dan rasa estetis. BSE merupakan pencapaian yang purna karena lulus seleksi oleh tak kurang tiga juri secara ketat-disiplin.
Cerpen merupakan salah satu prosa yang digemari oleh peserta didik. Pernyataan tersebut tak muluk karena karakteristik cerpen yang selesai baca dalam ”sekali duduk”, tidak lebih dari 10.000 kata, berisi penggalan cerita tertentu, bersifat fiksi, cuma fokus pada kejadian tunggal, alur yang diterapkan alur rapat, penokohan digambarkan sambil lalu, konflik tokoh pun tak hingga mengubah nasib yang menimpanya sehingga membuat pembaca awan tidak butuh banyak energi untuk menuntaskan sebuah judul cerpen.
Parameter kegemaran remaja terhadap cerpen bisa ditilik dari kerapnya penyelenggaraan lomba penulisan cerpen remaja. Tentu tak sedikit remaja yang mengikuti pergelaran-pergelaran tersebut. Sebagai wujud sasana latihan menulis dan ajang aktualisasi diri, Pusat Bahasa tak ketinggalan menghelat Sayembara Penulisan Cerpen bagi Remaja. Sayembara tersebut bertujuan mengembangkan kepekaan terhadap masalah sosial budaya dan kecintaan terhadap alam Indonesia; mendorong para remaja untuk mau berlatih dan mengasah kemampuan serta kreativitas menulis karya fiksi berupa cerpen; menumbuhkembangkan sikap positif dan rasa cinta terhadap sastra; dan menumbuhkembangkan kegiatan menulis di kalangan remaja. Dalam rangkaian Bulan Bahasa 2010 tersebut, Pusat Bahasa juga menggelar Bengkel Sastra dalam bentuk Pelatihan Penulisan dan Pembacaan Cerita Pendek bagi Guru dan Siswa SMP Se-Jabodetabek.
Kualitas literatur bacaan cerpen di BSE—maupun di buku pelajaran lainnya yang lulus penilaian dari Kementerian Pendidikan Nasional—dan terciptanya gelanggang bengkel cerpen tersebut tentu merupakan kontribusi cerdas dan elegan agar pelajar senantiasa memiliki karakter yang teguh, perasaan yang halus, dan perilaku yang menawan. Hal ini tidak berlebihan karena di dalam cerpen, dan karya sastra pada umumnya, mengandung amanat, nilai-nilai hidup yang relevan dengan kehidupan nyata dalam balutan transendental yang berakhir ke dalam atmosfer katarsis.
Salah satu media yang tak sukar diakses kalangan remaja adalah cerpen koran. Maksud cerpen koran adalah cerpen yang dimuat di halaman koran. Galibnya, cerpen koran diterbitkan tiap hari Minggu. Beberapa surat kabar segmen nasional yang memiliki rubrik cerpen, antara lain, adalah harian Kompas, Seputar Indonesia, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika.
Dalam esai ini, penulis berusaha menakar tingkat keberpihakan cerpen koran terhadap peserta didik. Apakah cerpen koran juga berbaik hati menyampaikan nilai-nilai yang dapat dipetik oleh generasi remaja? Sejauh mana cerpen koran bisa memperkaya tingkat imajinasi dan pengayaan karakter remaja? Apakah ada muatan hal negatif, misalnya perkataan, lakuan, perangai, yang tak  pantas diketahui para peserta didik? Amatan sekurang-kurangnya dilakukan pada cerpen di beberapa koran nasional edisi bulan September dan Oktober 2010.
Harian Kompas pada edisi tanggal 3 Oktober 2010 memuat cerpen berjudul ”Para Pembongkar Kuburan Massal” karya Veven SP Wardhana. Dari judulnya, pembaca bisa menebak bahwa cerpen tersebut mengisahkan tentang orang-orang yang membongkar kuburan massal. Tokoh yang diciptakan ialah sang tokoh sentral, yaitu seorang istri, seorang suami, dan Pak Runci sebagai juru kunci kuburan. Latar di kuburan, di dalam rumah, di perbatasan desa, di jurang. Isi cerpen mengenai fenomena orang-orang yang membongkar mayat-mayat korban musibah. Mayat dibarter dengan keberkahan berupa legalitas, bauksit, mangan, perak, dan emas. Entah mengapa, oleh pembeli, mayat-mayat dalam peti malah dibuang ke jurang. Nilai positif cerpen setidaknya tersurat pada bagian berikut. Jangan-jangan dia masih sakit atau sakitnya kian parah sehingga untuk meminta minyak pada kami tak bisa dia lakukan karena tubuhnya masih susah bangkit. Karena itu, pagi esoknya, kami—tak hanya kelaurga kami, ternyata juga tetangga lain—menengok ke pondok Pak Runci, yang tak jauh dari gerbang pekuburan. Dia tampak lunglai di dipannya. Satu dua orang buru-buru mengambil makanan dan minuman dari rumahnya untuk disuapkan pada Pak Runci.  Bagian yang tidak etis dibaca oleh pembaca usia sekolah menengah dan lanjutan terletak di alinea terakhir. Ketidaketisan karena kesadisan tokoh utama membunuh suaminya. Berikut kutipannya. Benar. Penjaga itu tak salah ucap. Benar. Sejak beberapa hari lalu, semua jenazah, semua kerangka di kuburan massal sudah habis dibongkar. Karena itu, diam-diam saya asah ketajaman pedang sebelum kemudian saya hunus untuk saya tancapkan ke jantung suami saya setelah sebelumnya menerobos dan merontokkan tulang rusuknya. Sangat ingin saya menjadi janda.
 Koran Tempo, edisi tanggal 26 September 2010, memuat cerpen berjudul ”Sumadi Becak” buah pena Gunawan Maryanto. Tokoh dan penokohannya ialah Sumadi, tukang becak berusia 60 tahun namun tetap perkasa dan banyak bicara; tokoh aku yang berusia muda dan gampang tersinggung; tokoh pacar aku yang cantik, luwes, dan ramah. Latar tempat di Yogyakarta, antara lain di rumah kontrakan, di jalan-jalan yang dilalui becak, dan di Stasiun Tugu. Isi cerpen perihal konflik batin yang dialami tokoh aku dan tokoh Sumadi. Ketaksukaan seseorang kepada tukang becak yang dirasa banyak omong sehingga tidak memberikan kenyamanan. Sebaliknya, tokoh aku disindir oleh tukang becak sebagai orang yang tak ramah dan berlebihan. Pesan positif yang bisa dipetik, antara lain, terletak pada kutipan di alinea lima berikut. Penumpang-penumpang saya awalnya juga seperti itu kok, Mas. Ia mulai mengayuh ceritanya. Seperti itu bagaimana, Pak? Dengan sebal saya berusaha tetap ramah. Tokoh aku berusaha tetap ramah meskipun ia dalam posisi tidak nyaman. Amanat positif lainnya terletak pada alinea 10, yaitu tentang kepasrahan menghadapi takdir. Berikut kutipannya. … Bener, Mbak. Sampeyan bener. Itulah salah satu takdir saya. Ada takdir lain yang harus saya jalani juga selain menjadi tukang becak. Misalnya, saya harus kehilangan anak dan istri saya. ….Takdir, Mbak. Tak ada yang perlu dimaafkan. Saya lega lila seperti saya sedang mengayuh becak saya sekarang ini. Akan tetapi, ada beberapa kutipan yang tidak elok dibaca segmen remaja. Kutipan pertama terdapat kata sadistis pembunuhan. Berikut petikannya. Kalau keberanian itu berlipat-lipat, tentu Sampeyan bisa membunuh saya. Saya pernah dengar cerita tentang seorang tua yang dibunuh karena cahaya matanya begitu mengganggu. Padahal orang tua itu tak berbuat salah apa-apa. Tak pernah. Satu-satunya kesalahannya adalah sepasang matanya yang berwarna hijau. Ketidakelokan juga tampak pada alinea ke-12. Paragraf tersebut mengutip kisah Oidipus di Yunani yang menceritakan kisah percintaan sesama anggota keluarga sekaligus bunuh-membunuh antara orangtua dan anak. Berikut kutipannya. Mengerikan, Mbak, Mas. Dia itu ditakdirkan membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Coba bayangkan. Ditakdirkan pula untuk terus mengelana menjadi seseorang gembel yang hina sampai ia menemukan tempat kematiannya. Sewaktu mendengar takdir itu dibacakan, dia langsung berusaha menghindarinya. Dia pergi lari dari rumah. Sejauh-jauhnya. Supaya dia tidak bisa membunuh bapaknya dan kawin dengan ibunya. Tapi justru dia sedang menghampiri takdirnya. Di tengah jalan, dia bersitegang dengan seseorang. Terjadi keributan dan dia terpaksa membunuh orang tersebut. Dan orang tersebut ternyata adalah ayah kandungnya. Laius yang membuang bayinya karena tahu bayinya kelak akan membunuhnya. Keduanya mau tidak mau harus bertemu untuk menjalani takdirnya siang itu…. Kekurangetisan juga tersurat pada alinea terakhir yang berbau porno. Berikut kutipannya. Pacar Sampeyan cantik sekali, Mas. Saya suka mengamatinya diam-diam seminggu ini. Melihatnya berjalan keluar dari rumah Sampeyan untuk membeli rokok di warung. Tubuhnya kencang seperti kuda. Saya suka mengamati otot-ototnya yang liat kalau kebetulan pacar Sampeyan pakai baju u can see. Saya bisa bayangkan Sampeyan pasti kewalahan kalau menaikinya. Bokong Sampeyan, tubuh Sampeyan terlalu lembek untuk menghadapinya. Tiap malam saya juga sering membayangkan saya menggantikan posisi Sampeyan.
Harian Seputar Indonesia, edisi tanggal 2 Oktober 2010, merilis cerpen karya Tjahjono Widijanto bertajuk ”Cakil”. Cerpen tersebut bergenre humor satire dengan lambang-lambang tokoh pewayangan yang dikawinkan dengan realitas. Para tokoh ialah Cakil, para dalang, Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa, Setyaki, Kresna, Maus yang mewakili orang jelata, beberapa pekerja seks, Bapak Y sebagai anggota senior Dewan Perwakilan, Drs Sus yang berperan sebagai penasihat Cakil, Abimanyu, dan Semar. Isi cerpen mengetengahkan jungkir balik tatanan kehidupan antara orang-orang biasa yang berusaha bertahan demi hidup, orang-orang yang bermuka dua karena terlena oleh glamour dan nikmat dunia, pejabat-pejabat yang berkutat pada upaya ”mengamankan diri”. Amanat yang bisa dicuri dari cerita tersebut bahwasannya orang jangan dinilai dari fisik dan alangkah baiknya menghindari stigma bahwa orang jahat selamanya jahat; sebaliknya, citra orang baik pun belum tentu berperilaku dan bersifat baik pula. Di cerpen ini, ada bagian yang kurang etis dibaca oleh remaja, di antaranya saat Cakil berada di kawasan lokalisasi Dolly. Dengan vulgar, pencerita mengisahkan Cakil digeniti oleh pekerja seks komersiil. Berikut petikannya. Cakil berjalan tengadah menyusur malam. Suram cahaya bulan menelan wajahnya. Insting dan pengalaman kriminalnya di dunia pewayangan membawa kakinya sampai di jalan-jalan sepanjang Dolly. Mulutnya ternganga menyaksikan bagaimana lampu warna-warni dan suara hentakan musik mengudeta sinar bulan dan suara malam. Giginya yang tonggos rasa-rasanya semakin memanjang melihat perempuan-perempuan cantik berdandan ketat terpajang seperti ikan hias di akuarium. …Tak ketinggalan para wanita di kompleks itu berebutan keluar menyambut dan meminta Cakil mampir di kamarnya Mereka berlomba-lomba berteriak merayu, merebut perhatian dan menawari tidur bersama dengan gratisan. ….“Cipir godhong tela, Mas Cakil nggak mampir hatiku kecewa lho!” kata seorang wanita langsing berambut keriting. “Tanjung perak Mas, kapale kobong. Mangga pinarak Mas Cakil, kamarnya kosong kok..!” kata seorang lagi berambut lurus dan berhidung mancung sambil mengedip-ngedipkan mata menggoda. “Mas Cakil, alang-alang pinggir kali. Nggak bisa goyang dijamin diulangi lho Mas!” kata Metty wanita tercantik di kompleks itu sambil memegang tangan Cakil….
Surat kabar harian Republika menurunkan cerpen berjudul ”Manusia Pasrah”. Cerpen tersebut terbit tanggal 26 September 2010 dan dikarang oleh M Je’ef. Latar waktu pada malam hari bada magrib. Latar tempat adalah warung tenda sup iga di atas trotoar. Para tokoh ialah tokoh aku sebagai tokoh sentral, Fifi sebagai kekasih tokoh ”aku”, seorang perempuan berusia dua puluh limaan tahun yang berjilbab dan cantik rupawan, seorang laki-laki suami dari perempuan berjilbab yang memiliki watak pecundang tetapi mempunyai barang-barang mewah dan gampang kalah oleh keadaan. Isi cerpen adalah pelajaran hidup yang diperoleh tokoh aku tentang manusia pasrah. Bahwasannya manusia tidak lepas dari cobaan dan bencana. Orang harus selalu ikhtiar tanpa putus asa. Amanat berserakan di rangkaian cerita, di antaranya terdapat pada kutipan berikut. …“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa kaum itu sendiri mengubahnya.” Aku yang merasa perlu banyak belajar agar bisa menjadi manusia yang tak mudah menyerah sejenak menyebut asma Ilahi. …Aku baru saja menemukan pelajaran tiada tara. Pelajaran tentang manusia pasrah. Tidakkah engkau melihat hamparan padang luas di depan kita? Jangan keburu menyangkanya sebagai padang rumput nan indah, sayangku. Sebab, bisa jadi itu adalah padang pasir yang teramat gersang. Hari ini adalah perjuangan, esok pun tetap perjuangan. Manusia senantiasa hidup dalam belantara perjuangan itu. Menjadilah bagian dari diriku, menjadilah sebagai manusia yang tak mudah menyerah. Ingatlah, sayang, tawakal seperti yang kerap kita dengar, bukan berarti harus pasrah tanpa upaya. Namun, tawakal adalah ikhtiar yang dibarengi pula berjuta munajat kepada Ilahi Rabbi. Jangan menjadi manusia kalah…. Dari sisi etis, penulis tidak menemukan hal yang bertentangan apabila cerpen tersebut dibaca oleh kaum remaja.
Harian Jawa Pos edisi 5 September 2010 memuat cerpen berjudul ”Pulang Tanpa Alamat” yang ditulis oleh Abidah El Khalieqy. Penokohan adalah Gotap, pemuda berperawakan sedang, suka bertapa, kebal senjata, suka menolong, dan sebatang kara; Segap, kawan perantauan Gotap; Jos, Jodil, Barman, Jengki. Alur cerita di kampung tempat tinggal Gotap dan Segap, di dalam bus, di tengah lautan, di restoran, di pinggir jurang. Isi cerpen adalah kisah perjalanan hidup Gotap yang tidak memiliki agama, namun suka menolong sesama, sebatang kara, bahkan sampai hayatnya tak ada orang tahu ia harus dikebumikan di mana. Amanat yang bisa dipetik dari cerpen tersebut di antaranya pada bagian saat Gotap mengenang sang bibi. Bibinya selalu sayang dan tak mau membiarkan Gotap hidup terlunta-lunta. Rasa senasib dan seperjuangan antara Gotap, Segap, dan teman-temannya membuat mereka bisa menjalani hidup dengan normal tak kelaparan. Sekurang-kurangnya penulis hanya menemukan bagian yang kiranya kurang etis apabila dibaca oleh remaja, yaitu pada kutipan berikut. Dari rindang pohon jalanan, trotoar, dan gorong-gorong, sejuk mata perawan, tante girang, menguntai jalinan hidupku penuh kebanggaan. Penyelesaian konflik pada cerpen tersebut juga kurang elegan karena membuang mayat ke jurang. Hal itu menandakan bahwa teman-teman Gotap sekadar mencari cara aman, praktis, dengan tanpa mengindahkan rasa kemanusiaan.
Dari analisis beberapa cerpen tersebut, ada baiknya pemangku kepentingan—baik itu penulis cerpen dan redaktur cerpen di redaksi surat kabar—memerhatikan juga segmen pembaca usia remaja. Hal ini diperlukan karena tidak sedikit remaja yang memiliki banyak kesempatan membaca koran, baik di rumah, di lingkungan tempat tinggal, ataupun di perpustakaan-perpustakaan. Di sisi lain, ada guru yang menyuruh peserta didik menganalisis cerpen yang dimuat di media cetak ketika memberikan pelajaran keterampilan sastra. Tidak sedikit pula, di bagian portofolio buku pelajaran ataupun lembar kerja siswa menuntut siswa-siswi mengapresiasi cerpen di koran-koran. Cerpen yang ”renyah” sehingga pembaca awam tak perlu mengerutkan dahi saat membacanya; terhindar dari istilah-istilah sadistis, pornografi, pornoaksi; mengorbitkan karakter remaja yang mampu menang dalam perjuangan hidup; menyiratkan dan menyuratkan pesan ketimuran seyogianya perlu ditampilkan di lembaran-lembaran cerpen koran—alih-alih sebagai selingan hegemoni cerpen yang berpihak kepada kalangan dewasa.
Semoga saja kontribusi cerpen koran yang—di edisi tertentu—juga berpihak kepada peserta didik akan menciptakan generasi remaja yang terkatarsis sehingga muncullah calon-calon penerus sastrawan yang humanis. Amin.


Didik Durianto
Alumnus Program Studi Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta,
Penulis BSE, Buku Pelajaran, Buku LKS, Kumpulan Soal Jelang UASBN-UN, Peresensi, Esais,

01 Januari 2011

Tabik, 2011

Peblog yang budiman....


Di lembar "maya" ini, saya menghaturkan selamat menapak tahun baru penanggalan Masehi. 2011.

Tengokan ke belakang alangkah baik dijadikan penyemangat, permenungan, simpul, introspeksi.
Tak ada celanya, proposal hidup dihadirkan buat pencapaian se-365 hari ke depan. Harapan buat lebih baik dari lampau, lebih indah dari sekarang, dan lebih ciamik esok seterusnya.

Selamat berkarya....