15 Oktober 2010

Romansa Sandiwara Radio
Dari Saur Sepuh untuk Indonesia



 Madangkara bergelimang damai dan sejahtera. Rakyatnya makmur dipimpin Brama Kumbara. Raja tampan, arif, mandraguna ini selalu digilai oleh kembang Gunung Lawu, Lasmini. Cinta Lasmini yang tak pernah sudah akhirnya berbuah ke sang pangeran Madangkara, Raden Bentar. Di sudut yang lain, Mantili, adik Brama beda ayah, selalu saja bersitegang dan mengklaim diri sebagai musuh bebuyutan Lasmini. Si pedang setan ini nyaris mati akibat ilmu Cipdadewa mbak yang awet muda dari gunung di sisi timur Kabupaten Karanganyar tersebut.
Sekelumit kisah itu pasti tidak asing bagi sobat, sohib, yang pernah ketagihan mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh. Kisah tersebut sangat fenomenal di zaman 1980-an. Bahkan, ceritanya sudah difilmkan sampai beberapa episode. Tiap diputar saat libur Lebaran, semua gedung bioskop penuh sesak oleh pengunjung, bahkan antrean sampai meluber ke jalan-jalan. 

Waktu itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar :). Tiap pulang sekolah, saya pasti menongkrongi radio dan mendengarkan Saur Sepuh dengan khusyuk. Dahaga, lapar, gerah, kantuk, hingga gangguan apa pun tidak mampu menghalangi azam untuk menuntaskan tiap episode sandiwara radio tersebut.


Sob, mau mendengarkan salah satu episode sandiwara radio Saur Sepuh? Klik sini ya= Satria Madangkara


Baiklah, bagi yang lupin, lupa-lupa ingat, akan Saur Sepuh, sedikit saya ulas kisahnya.
Saur Sepuh merupakan karya Nikki Kosasih. Para pengisi suara, di antaranya, ialah Ferry Fadli, Elly Ermawati, Maria Oentoe, Ivone Ross, Bahar Mario, Kris Urspon. Mereka tergabung dalam Sanggar Prathivi. Begitu melekat kuat dalam ingatan, bagaimana suara khas Ferry Fadli sebagai Raja Madangkara Brama Kumbara; Elly Ermawati sebagai Mantili; Ivone Ross menjadi Lasmini. Brama Kumbara digdaya karena memiliki  Ajian Serat Jiwa, Ajian Gelang-gelang, dan Lampah-Lumpuh. Suatu saat ia bertemu dengan Biksu Kampala karena pengembaraannya di negeri Tibet. Ia mempunyai patih bernama Gotawa. Tunggangan fenomenal sang raja adalah burung elang raksasa. Sayang, sosok burung ketika difilmkan kurang mengesankan karena kualitas sinematografi saat itu masih jauh dari harapan pemirsa.
Brama selalu ditemani oleh sang adik, Mantili. Ia berjuluk pedang setan. Ia piawai bermain pedang. Apabila sang pedang dicabut dari warangka, bau busuk tiada terkira segera menyeruak di sekelilingnya. Di suatu masa, ia berhasil mengawinkan pedangnya dengan pedang perak. Sebuah simbol kedidayaan, ketika keduanya disatukan saat purnama, senjata tersebut menebarkan sinar yang sangat menyilaukan mata siapa pun.
Tokoh-tokoh antagonis dalam serial Saur Sepuh antara lain Lasmini, Panembahan Senopati, Gardika.
O iya, Brama Kumbara mempunyai dua istri, yaitu Paramita dan Dewi Harnum. Wah, wah, wah mas raja sudah penganut paham poligami ya. Makanya sang raja emoh menerima cinta Lasmini. Padahal, gadis Lawu itu mempunyai wajah dan bodi yang asoy geboy. Doi, kan, memiliki ilmu awet muda. Ia bahkan mewarisi Ajian Ciptadewa, yaitu gabungan aji Serat Jiwa, Waringin Sungsang, dan Lampah-Lumpuh yang diciptakan oleh nenek Lawu.
Kawan-kawan….
Di tulisan ini, saya sekadar pengin bilang, kegiatan menyimak karya ”sastra” berupa sandiwara radio, seperti pengalaman banyak orang di era 1980-an tersebut, memiliki banyak sisi positif lho.

Pertama, kemampuan mendengarkan kita selalu terasah. Saat menyimak, kita dituntut mendengarkan dengan saksama, mencermati tiap ucapan, tingkah, suara-suara derap kaki kuda, dentingan-dentingan pedang, guyuran hujan, dan lain sebagainya supaya mampu menyerap semua cerita dan mampu hanyut ke dalam atmosfer cerita. Selayaknya kita hidup di tengah mereka, di tengah pertempuran yang sengit, di atas punggung kuda yang berlari kencang di dalam hutan, di pinggir sawah; seumpama kita mandi di sungai yang sangat jernih sehingga wajah ayu tampan tampak lebih cakap di permukaan air; bak pendekar yang mampu melayang di udara, mahir menghilang, hingga pintar mengeluarkan jurus-jurus olah kanuragan.

Kedua, kekayaan hati kita bertambah karena di dalam sandiwara radio tersebut termaktub unsur menghibur sekaligus edukatif. Sebagaimana kita membaca novel, membaca cerpen, melihat pentas teater, mendengarkan sandiwara radio bergenre legenda, heroik merupakan kegiatan yang tak kalah intim, menyenangkan, dan bikin ketagihan.

Ketiga, imajinasi kita semakin terasah. Dengan pengayaan imajinasi, tentu kepekaan, intuisi kita menjadi hidup sehingga makin melancarkan usaha menciptakan produk/karya, entah itu puisi, cerpen, novel, dan lain-lain.

Keempat, ya hitung-hitung sebagai kegiatan pembunuh bosan, penat murah meriah ketimbang menghabiskan waktu dengan kongko-kongko yang bahkan sampai menggerus isi dompet.

Kelima, buat bapak-ibu guru, sebenarnya kegiatan ini sangat tepat dijadikan sarana mengajarkan keterampilan menyimak. Misalnya, anak-anak diminta mendengarkan sandiwara radio, lalu mereka dituntut membuat resume, menceritakan kembali, bahkan mementaskan kembali cerita yang mereka dengarkan dari radio. Mengasyikkan tentunya. Anak-anak tertantang, suasana belajar menjadi lebih hidup, dan semuanya terhibur. Dari portofolio ini, akhirnya beberapa pengalaman/kompetensi terlampaui, kegiatan menyimak, kegiatan membaca teknik dan membaca indah, kegiatan sastra dengan cara pentas drama.

Semoga saja, romantisme sandiwara radio di era 1980-an tersebut akan terulang di masa-masa yang akan datang—alih-alih sebagai sajian alternatif hegemoni tayangan radio yang serbakonsumtif, bombardir sinetron-sinetron yang menjual mimpi.
Saya yakin, sajian sandiwara radio genre sejarah, legenda, epik mampu berkontribusi membentuk generasi yang berwatak dan berkarakter Indonesia banget. Semoga saja.


Sumber ilustrasi:
http://iwan.pirous.com
hurek.blogspot.com
jejakandromeda.wordpress.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar