15 Desember 2010

Kastanisasi dalam Bahasa Indonesia

Tergelitik juga saya ketika seorang teman yang bukan pegawai bahasa—alih-alih pekerja bahasa, berseloroh, "Benar tidak ya keterangan gambar di televisi itu. Dia, kan, orang yang kerjanya di kebun dan setiap hari mengurusi pohon salak, kok, dikatai pegawai perkebunan."
Sebagai "kuli" bahasa, saya terkesima dan terdecak dengan komentar sobat yang oleh teman-teman digelari Paman Gembul itu. Insting logika bahasa saya tertawan. Saya mencoba mereka-reka, mengendus-endus rasa, menggeliatkan memori pengalaman berbahasa selama puluhan tahun, hingga akhirnya terluncur seloroh balik buat si paman, "(Mungkin) si dia adalah pegawai bagian administrasi yang sebenarnya tugasnya di dalam kantor berkutat dengan pembukuan dan arus keluar masuk uang tetapi berhubung banyak pekerja cuti maka dia diperbantukan di kebun salak buat memangkasi daun-daun yang kering, Bro...".
Ah, akhirnya aku adukan soal ini ke sang KBBI, yang di edisi terbungsu ini diambil alih oleh perusahaan media papan atas, PT Gramedia Pustaka Utama.

Sobat pembaca mungkin menganggap tulisan ini lebay, alay, kacangan, atau murahan. Hehehe... Namun, sebagai pencinta bahasa Indonesia, ada baiknya juga ya kita mendiskusikan secara santai, sambil minum kopi gula sedikit dan ditemani pisang goreng yang "mongah-mongah" pascadientas dari kawah candradiwajan. Pertanyaannya, untuk urusan UUP ini, alias ujung-ujungnya perut, mestikah ada stratifikasi atawa pembedaan? Ah, stratifikasi piye tho, Dik? Kan tidak ada bedanya. Dua-duanya, kan, sama-sama menyatakan bahwa ada seorang pekerja dan seorang pegawai yang sama-sama bekerja demi menghidupi anak, istri, keluarga, istri tetangga, atau siapalah. Eit, ada tho bedanya. Buktinya, Paman Gembul tadi melukiskan tanda tanya besar: apa bisa seseorang yang lagi bekerja di kebun dibilang pegawai. Ya sudahlah (mengutip Dek Bondan Prakosa), kita nukil KBBI-nya sekarang.

Di halaman 422-lah tersurat lema gawai untuk mengetahui nosi pegawai. Diartikan bahwa pegawai ialah pekerja di kantor, karyawan. Sampel kalimatnya: Ayahnya adalah pegawai PT Kereta Api.

Di nomor kertas 680 bermukimnya istilah kerja untuk mendapati makna pekerja. Dikatakan bahwa pekerja adalah 1. Orang yang bekerja; 2. Orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Secara terang benderang, di bawah lema tersebut juga dikategorikan macam-macam pekerja; pekerja ahli merupakan pekerja yang sudah dididik dan sudah memiliki keterampilan untuk melakukan suatu pekerjaan, pekerja harian merupakan buruh/karyawan yang upahnya diperhitungkan setiap hari ia bekerja, pekerja kasar merupakan buruh yang melakukan pekerjaannya dengan fisik (seperti pemikul barang, kuli bangunan, pekerja perbaikan jalan, pekerja musiman merupakan pekerja yang bekerja hanya pada musim-musim tertentu, pekerja pabrik merupakan buruh atau karyawan pabrik yang tugasnya lebih banyak bersifat pekerjaan tangan tanpa tanggung jawab penyeliaan, pekerja seks komersial merupakan orang yang mencari nafkah dengan cara menjual diri, dan pekerja terampil merupakan tenaga kerja yang memiliki keahlian tertentu yang diperoleh dari pendidikan khusus.

Wow, banyak pula kategori untuk pekerja. Kalau demikian, berarti dominasi orang di Indonesia adalah pekerja. Sungguh kasihan nian para orangtua, nenek-kakek, buyut, leluhur mengetahui anak, cucu, cicitnya gagal menjadi apa yang mereka inginkan. Pastilah tiap sesepuh, tetua berdoa dan berharap, anak-anak keturunan mereka menjadi seorang pegawai. Mereka rela berpeluh keringat, berkeluh kesah, menjual sawah, ladang, sapi, sampai kelinci demi menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Jadilah sarjana. Jadilah pegawai. Kok rasanya tidak ada orangtua yang menghendaki anaknya jadi pekerja.

Di sisi lain, egoisme dan pengultusan istilah PEGAWAI haruskah diharamkan bagi orang yang tidak punya kantor, tidak punya slip gaji, tidak punya kartu karyawan, tidak punya nomor induk, tidak punya nomor ekstensi, tidak punya tunjangan hari tua, tidak punya tunjangan hari raya, tidak punya renumerasi yang selalu naik dari tahun ke tahun, tidak punya tunjangan anak sekolah/istri melahirkan, tidak punya jamsostek?

Tertawakah banyak orang ketika ada sahabat-sahabat kita menabrak menara gading ke-pegawai-an dengan mengatakan bahwa Aku seorang pegawai harian, bahwa Aku seorang pegawai kasar, bahwa Aku seorang pegawai lepas, bahwa Aku adalah seorang pegawai seks komersial?

(Mungkin) penyebutan yang sedikit lebih kece ini setidaknya bisa sedikit melipur nestapa mereka yang menggendong kecewa tak bisa mengabulkan harapan orang tua menjadi pegawai kantoran, bisa sedikit memberikan seringai senyum dan kebanggaan bahwa aku juga pegawai..... Kenalkan nama saya Rembulan, saya adalah pegawai rumah tangga. Saya punya teman pegawai seks komersial. Dia tinggal di samping seorang pegawai pemungut sampah di kompleks rumahnya seorang pegawai musiman. 

Ah, apalah artinya sebuah penyebutan. Begitu kata Paman Gembul sambil mengerubuti tubuhnya dengan selimut tipis karena udara malam itu sungguh pekat. "Tidur, Bro... besok, kan, kamu kerja jadi seorang pegawai bahasa di kantor tercinta," katanya, mengakhiri perbincangan malam.

05 Desember 2010

Ternyata Yogya Lebih Disukai Orang Indonesia

sumber: http://mbiru.com


Di awal Desember ini, buah bibir khalayak tertuju ke provinsi yang punya gudeg, Tugu, dan bakpia, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia wilayah nan eksotis. Simbol kerajaan masih bersinggasana anggun berkawan akrab dengan gempita modernitas dan kemegahan tanpa rivalitas dan dendam. Kini rakyatnya punya gawe buat berkompromi dengan negaranya, mengawal  "epik mataraman".
sumber: artwoart.blogspot.com

Di lembaran maya ini, penulis tak hendak menguyupkan diri ke soal monarki bin demokrasi. Penulis pengin berbagi dengan pengunjung laman ini perihal penggunaan istilah yogya yang masih digemari oleh bahasawan bahasa Indonesia. Ada kesalahan berbahasa, yakni pemakaian kata yogya yang seharusnya yogia.

Sayang, tidak sedikit pengguna bahasa Indonesia masih saja menggunakan kata yogya. Baiklah, kita ikut-sertakan paman Google buat membandingkan berapa orang penggemar yogya dan berapa jiwa pemakai yogya.


Agar akurat, penulis memasukkan istilah seyogyanya dan seyogianya.


Istilah seyogyanya muncul sebanyak 465.000 kali.
Istilah seyogianya muncul sejumlah 135,000 kali.

Nah, terbuktikan betapa salah kaprahnya pemakai bahasa di nusantara ini.

Apa sih makna kata yogia. Penulis kutipkan kamus daring berikut (yang berkiblat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia III):

yo·gia a patut; layak; baik;
se·yo·gia·nya adv 1 sepatutnya; selayaknya; semestinya: di depan orang-orang tua hendaklah engkau berlaku ~; 2 sebaiknya; seharusnya: jika Anda hendak membawa mobil, ~ dipenuhi dulu tangki bensinnya





28 November 2010

Tak Mengindahkan Acuh

Sob....
Salah satu kesalahan berbahasa yang masih kerap tersiar adalah pemakaian kosakata acuh. Dari kacamata bahasawan awam, acuh acap-acap dimaknai sebagai tak peduli, tidak mau tahu. Boleh jadi pemahanan yang keliru atawa  abai tersebut disumbang oleh beberapa media massa arus utama. Masih iya saja media-media warta  menyuguhkan menu acuh secara salah rasa.

Cuplikan tulisan berikut sekadar pembukti hipotesis tersebut.
Tulisan 1
Tutupi Wajah dengan Rambut, Luna Maya Acuh

Sabtu, 13 November 2010 - 07:11 wib
JAKARTA - Luna Maya tak mengindahkan pewarta yang menghampiri dirinya, seusai menonton pemutaran 'LA Indie Movie'.

Setelah kasus video porno dengan Ariel ‘Peterpan’ mendunia, artis asal Bali mendadak tenggelam dari hiruk pikuk dunia entertainment. Namun demikian, kehadirannya di Mabes Polri merupakan agenda yang selalu ditunggu oleh pemburu berita.

Disinggung mengenai keterlibatannya di Natalie’s Instinc, Luna tak mau berbagi banyak. “Ya kan, tiap peran berbeda-beda. Seru aja,” jawabnya dengan nada malas-malasan, ketika ditemui di Blitz Megaplex, Grand Indonesia (GI), Jakarta Pusat, Jumat (12/11/2010) sore.

Tampaknya Luna masih belum bisa luwes berdiri di hadapan publik. Saat Garin Nugroho mendaulatnya untuk maju ke depan layar bioskop, Luna yang mengenakan dress abu-abu dipadu jaket, memilih berada di belakang Aryo Wahab, sambil memainkan telepon selulernya.

Dia pun rikuh saat bertemu pewarta, padahal hanya sebagian pewarta saja yang mendekati, dan melontarkan pertanyaan kepadanya. Luna pun bergegas meninggalkan Blitz Megaplex, begitu acara selesai.(nov)


  Tulisan 2
Pengalaman
4 Sep 2010
WARGA BABAKAN TERKESAN ACUH TERHADAP PNPM
JARiK Cirebon
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan(PNPM) di Desa Babakan Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon masih Tabu didengar oleh masyarakat setempat. Apalagi untuk mengetahui apa arti dan tujuan dari kebijakan program pemerintah tersebut. PNPM yang pada dasarnya adalah bertujuan untuk membantu masyarakat minoritas dalam ekonomi dan salah satu program pemerintah untuk mengurangi kemiskinan di setiap wilayah yang ada di Indonesia.
Tetapi di Desa Babakan itu sendiri program pemerintah tersebut masih bersifat sembunyi-sembunyi dan terkesan kurang transparan dari pihak pemerintah Desa dan panitia PNPM kepada warganya.Yang lebih menarik lagi warga juga tidak peduli dan acuh tak acuh saja terkait dengan masalah ini. “ Pemerintah Desa dan panitia PNPM Babakan mungkin bukan kurang transparan, tapi lebih tepatnya kurang sosialisasi kepada warga, dan wargapun bersikap acuh atau bersikap masa bodoh dikarenakan warga sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Desa” ujar Agus Fauzi(42), salah satu tokoh pemuda Babakan yang berprofesi sebagai guru. “ Warga sekarang tidak mengurusi hal-hal semacam itu, yang penting bagi warga adalah bagaimana caranya biar kompor gas tetap menyala dan tidak meledak” kata Agus menambahkan.

Ketika salah satu warga, Jaya(46) yang berprofesi sebagai penarik becak ditanyapun jawabannya terbilang sinis. “program apa bae sing pemerintah Desa kita ora nglirik-nglirik acan, mader angger bae baka weteng kampong sih luru mangan dewek, apa maning kita wong cilik. Sing bengen bae ana BLT kita ora oli-oli acan”.(program apa saja yang dari pemerintah Desa, saya tidak  tertarik sama sekali,apa lagi saya orang kecil, tetap saja kalau perut lapar,cari makan sendiri. Yang dulu saja ada program BLT, saya tidak dapat sama sekali).

Sebenarnya pemerintah Desa dan panitia PNPM harus tanggap dengan keadaan ini dan bisa lebih mensosialisasikan program PNPM dan apa saja tujuannya untuk warga. Disamping itu juga pemerintah Desa harus bisa memberikan bukti kepada warga tentang pembangunan fisik yang ada di Desa dan berasal dari dana PNPM tersebut, bukan hanya orang-orang tertentu saja yang paham dan ikut mencicipi dana PNPM, karena tanpa adanya warga, mustahil ada pemerintahan Desa.

Ketika ada Focus Group Discution(FGD) yang diselenggarakan oleh Jaringan Radio Komunitas(JARIK) se Wilayah lll Cirebon di studio 107,7 BBC FM Radio Komunitas Babakan(4/7) dalam pendampingan proteksi sosial pemerintah juga yang hadir dari pihak pemerintah Desa Cuma Bapak Marno(45) yang kapasitasnya sebagai Mandor Desa Babakan dan satu orang dari panitia lokal PNPM. Dan dari diskusi itu sendiri dari pihak Pemdes dan panitia PNPM terkesan seolah-olah Program PNPM di Desa Babakan berjalan dengan baik.biarpun keterangan dari pihak Desa dan panitia PNPM ada yang tidak cocok dengan temuan-temuan di lapangan. Setelah acara Diskusi selesai,dari pihak Pemdes Bapak Marno berujar “ Saya Dan pihak Desa yang lain akan lebih terbuka lagi dengan program apapun dan akan lebih transparan lagi kepada warga, apalagi sekarang ada media sebagai penyambung lidah warga melalui Radio Komunitas BBC” Semua peserta Diskusi dan teman-teman Jarik yang diwakili Rofahan dan Ilham, teman-teman Fahmina Institute diwakili Ade Duryawan, beserta teman-teman Dari PMII Staima dan perwakilan pemuda Babakan mengamini. Amin….(Salman “Bonggan” Alfarisi,BBC FM)

Tulisan 3
 Serikat Buruh China Acuh Dengan Pekerja iPhone Yang Bunuh Diri

CHINA --- Serikat buruh di China bersikap "dingin" terhadap kematian seorang pekerja yang melakukan bunuh diri karena penyelidikannya atas prototipe iPhone yang hilang, menurut laporan website berita utama di daratan, Baidu.
Staf-staf dari Federasi Serikat Dagang China memberitahukan pada Laporan Keuangan Baidu bahwa mereka tidak tahu sedikitpun tentang kejadian itu, dan secepatnya menutup telponnya, sikap mereka "dingin dan mengecewakan".

Tulisan 4
MASYARAKAT ACUH TERHADAP HUKUM
24/03/2010 – 09:30
Fokus pada hukum sekarang lebih teralihkan kepada perkembangan teknologi yang cenderung menuju serba instan dan serba cepat.  
Hal-hal yang digunakan sebagai pembenaran terhadap penerobosan hukum pun semakin banyak, salah satunya adalah kecenderungan muncul semboyan “Peraturan dan hukum dibuat untuk dilanggar”. Ironisnya, semboyan pelanggaran hukum tersebut justru sudah mulai tertanam di benak masyarakat sejak kanak-kanak. Sekadar contoh kecil, banyak siswa yang tidak lagi mengindahkan larangan mencoret-coret meja sekolah.
Sikap hormat terhadap hukum pun menjadi hal yang mustahil untuk dapat ditumbuhkan bila esensi taat hukumnya sudah terlanjur bergeser menjadi acuh hukum.
Sikap mengacuhkan hukum yang berkelanjutan ini bukanlah sepenuhnya kesalahan dari masyarakat, tapi juga didukung dengan tidak efektifnya supremasi hukum di negeri ini. Beberapa faktor penyebab palanggaran peraturan ini antara lain, banyak aturan yang dibuat dengan tidak mempertimbangkan realitas di lapangan. Seperti isu terbaru yang terjadi di Jakarta, yaitu adanya peraturan yang melarang mobil-mobil parkir di tepi jalan umum tertentu, namun tidak didukung  dengan  ketersediaan lahan parkir yang memadai. Dapat diprediksi hal ini menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi keengganan masyarakat untuk mematuhi aturan, terkait dengan kurang realistisnya butir-butir aturan itu sendiri.

Pembaca yang budiman,
Pada keempat berita tersebut terdapat istilah acuh. Acuh masih dipahami sebagai perilaku/tindakan/keputusan tidak peduli, tidak mengindahkan hal/kejadian tertentu. Bukti bahwa kosakata tersebut bermakna tak peduli ditunjukkan oleh kata bercetak tebal pada badan berita, baik di tulisan pertama, kedua, ketiga, maupun keempat.

Senyatanya,
Kata acuh bukan berarti cuek, tidak peduli, tak mau tahu, atau bahasa "girli"-nya lu lu gue-gue. Acuh bernosi peduli, indah.
Pekamus merumuskannya sebagai berikut.
acuh v peduli; mengindahkan: ia tidak -- akan larangan orang tuanya; -- tak -- tidak menaruh perhatian; tidak mau tahu;
meng·a·cuh·kan v memedulikan; mengindahkan: tidak seorang pun yg ~ nasib anak gelandangan itu; acuh·an n hal yg diindahkan; hal yg menarik minat

19 November 2010

Subjek "Menggendong" Koma

Bloger yang berbahagia....

Tanpa bersusah-susah mencari-cari sampai memicing mata saking kelelahan, kita kerap menemukan subjek diikuti tanda hubung koma ( , ) dalam sebuah kalimat—tak terkecuali di berita-berita media cetak ataupun laman. Semestinya subjek kalimat tidak perlu "ditemani" oleh sang koma, alih-alih malah mengganggu sang empunya mata pembaca.

Perkenankan saya cuplikkan sebuah berita dari "korannya Jawa Tengah, Suara Merdeka" sekadar sebagai contoh semata.

Pengungsi Bingung Cari Nafkah
Belum Ada Bantuan buat Pulang

MAGELANG - Setelah pengurangan zona bahaya dari 20 km menjadi 15 km, banyak pengungsi akibat erupsi Gunung Merapi, mulai pulang ke rumah. Dari semula 91.752 pengungsi, kini tinggal 61.752 orang di 256 lokasi pengungsian. (Edisi 19 November 2010).

Kalimat pertama di teras berita tersebut merupakan kalimat majemuk. Inti kalimat terletak pada klausa kedua dan subjek kalimat adalah banyak pengungsi akibat erupsi Gunung Merapi. Alangkah elegan dan menyamankan pembaca apabila tanda baca koma ( , ) setelah subjek tersebut dihilangkan.

Pada kalimat kedua, saya sarankan disusun demikian:
Dari semula 91.752 orang, pengungsi kini tinggal 61.752 orang di 256 lokasi pengungsian.

Argumentasinya: status kalimat tersebut lebih kuat karena mempunyai subjek yang tegas, yaitu kata pengungsi.

Sekadar menyegarkan, berikut saya kutipkan definisi subjek.

sub·jek /subjék/ n 1 pokok pembicaraan; pokok bahasan; 2 Ling bagian klausa yg menandai apa yg dikatakan oleh pembicara; pokok kalimat; 3 pelaku: dl pengkajian itu manusia dapat berperan sbg -- di samping sbg objek pengkajian; 4 mata pelajaran: bahasa Indonesia merupakan -- pokok di sekolah; 5 orang, tempat, atau benda yg diamati dl rangka pembuntutan sbg sasaran;
-- gabungan frasa nominal yg terdiri atas lebih dr satu nomina atau pronomina yg digabungkan dng konjungsi atau intonasi yg berfungsi sbg subjek dl klausa; -- gramatikal subjek; -- logis nomina atau frasa nominal yg dl klausa pasif, berfungsi sbg pelaku atau penyebab perbuatan; untuk membedakannya dr subjek gramatikal; -- politik pemeran politik; -- psikologis topik suatu kalimat, msl orang itu dl kalimat orang itu rumahnya jauh (Sumber: KBBI Daring)



15 November 2010


NAMA-NAMA PEMENANG BULAN BAHASA DAN SASTRA 2010


1. SAYEMBARA PENULISAN ESAI SASTRA
Pemenang I
Nama : Efi Sefiani
Judul : “Yamadipati: Dari Naskah Kuno hingga Naskah Kini”
Alamat : Jalan Karangsari No. 225 RT. 06 RW. 01
Cibeureum, Cimahi Selatan,Bandung,Jawa Barat 40535
Pemenang II
Nama : Rohadi Budi Widyatmoko
Judul : “Manusia Guru dan Sastra Kita”
Alamat : Tegal Rayung No. 485 RT. 13 RW. 4, Pelem,
Simo, Boyolali,Jawa Tengah 57377
Pemenang III
Nama : Abdul Aziz Rasjid
Judul : “Pak Mustakim sebagai Tokoh, Chairul Anwar sebagai Contoh”
Alamat : Perum. Griya Tegalsari Indah
Jalan Kenanga 2M3 No. 1 RT. 09 RW. 10, Ds. Kedug,
Kec. Kembaran, Kab. Banyumas 53182
Pemenang Harapan I
Nama : Dewi Lestari
Judul : “Ketika Sastra Menyuarakan Korupsi”
Alamat : Jalan Jiwantaka I No. 16 RT. 03 RW. 02
Pekarungan, Serang,Banten 42114
Pemenang Harapan II
Nama : Bekti Patria Dwi Hastuti, S.S.
Judul : “Pendidikan Karakter Ala Pesantren dalam Novel
Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi”
Alamat : Jalan Ploso No. 58, Madium, Jawa Timur 63115
Pemenang Harapan III
Nama : Heru Kurniawan, S.Pd., M.A.
Judul : “Pembelajaran Sastra pada Anak: untuk
Pembentukan Karakter Cinta Lingkungan”
Alamat : Griya Mulawarman Indah Blok B 7, RT. 04 RW. 01
Karangklesem, Purwokerto Selatan 53144
2. SAYEMBARA PENULISAN NASKAH DRAMA
Pemenang I Tidak ada
Judul : -
Nama : -
Alamat : -
Pemenang II
Nama : Mulyadi
Judul : ”Pencuri Anak Pak Haji”
Alamat : FKIP Universitas Mataram, Gedung D, Lantai 1
Jalan Majapahit No. 62
Nusa Tenggara Barat 83125
Pemenang III
Nama : Amiruddin Ena
Judul : ”La Undi dan Serulingnya”
Alamat : Jalan Betombari No. 109 RT 02/RW 09 (Pondok Fantastik)
Kelurahan Katobangke, Kecamatan Beloambari, Bau Bau
Provinsi Sulawesi Tenggara 93724
Pemenang Harapan I
Nama : Mezra E. Pellondou
Judul : ”Sasando ke Seratus”
Alamat : SMA Negeri 1 Kupang
Jalan Cak Doko No. 59
Kupang, Nusa Tenggara Timur
Pemenang Harapan II
Nama : Nana Riskhi Susanti
Judul : ”Pranatamangsa”
Alamat : Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Semarang
Kampus Sekaran, Gunungpati 50229
Jawa Tengah
Pemenang Harapan III
Nama : Asmaya, S.Pd.
Judul : ”Ilusi”
Alamat : SMP Negeri 9 Kendari
BTN Kendari Permai Blok Y3 No. 18
Kelurahan Podako, Kecamatan Kambu
Kota Kendari, Sulawesi Tenggara
3. SAYEMBARA PENULISAN CERITA RAKYAT
Pemenang I
Nama : Zakiyah M. Husba
Judul : “Kidung Cinta dari Wonuakongga”
Alamat : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Jalan Holuoleo, Kompleks Bumi Praja
Anduonohu, Kendari 93231
Pemenang II
Nama : Laila Kurniawaty Paada
Judul : “La Bada Hitu Siku” (Si Badan Tujuh Siku)
Alamat : Jalan Tamburaka No. 15
Kendari, Sulawesi Tenggara
Pemenang III
Nama : Yacob Alpius Atapada
Judul : “Tallamang dan Fielamang”
(Cerita Rakyat dari Kecamatan Alor Selatan)
Alamat : Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur
Jalan Jenderal Suharto No 57
Naikoten I,Kupang
Pemenang Harapan I
Nama : Heksa Biopsi P.H.
Judul :“La Ganta-Ganta, Si Anak Pemberani”
(Cerita Rakyat Moronene, Sulawesi Tenggara)
Alamat : Kompleks Bumi Praja,Jalan Holuoleo
Anduonohu,Kendari 93231
Pemenang Harapan II
Nama : Ahmad Thohamudin
Judul : “Secupa, Secaru, Secubu”
Alamat : Jalan Bumimanti, Gang Pelangi 57 RT/RW 02
Desa Kampung Baru,Kedaton, Bandar Lampung
Pemenang Harapan III
Nama : Arman A.Z.
Judul : “Baturaja”
Alamat : Jalan Hasanuddin No. 42/74
Teluk Betung, Bandar Lampung
4. SAYEMBARA PENULISAN CERPEN REMAJA
Pemenang I
Nama : Riska Qadrina
Judul : ”Susu Kecil”
Alamat : MAN 1 Tangerang
Pemenang II
Nama : Gusti Ngurah Arya Bayu Permadi
Judul : ”Kutitip Serpih Hatiku di Mato A’in”
Alamat : SMAN 1 Melaya
Pemenang III
Nama : Any Riaya Nikita Ratriaga
Judul : ”Dunia Fantasi”
Alamat : SMAN 5 Surabaya
Pemenang Harapan I
Nama : Rendi Pradila Habsari
Judul : ”Dias”
Alamat : SMAN 3 Bengkulu
Pemenang Harapan II
Nama : Revina Violet
Judul : ”Lazuardi”
Alamat : SMAN 2 Banjarbaru
Pemenang Harapan III
Nama : Nurul Hidayah
Judul : ”Ketika Aku Harus Menulis Puisi tentang Ayah
Alamat : Universitas Negeri Semarang
5. PENGHARGAAN SASTRA PUSAT BAHASA
1. Nama : Afrizal Malna
Judul buku : Teman-Temanku dari Atap Bahasa (kumpulan puisi)
2. Nama : Linda Christanty
Judul buku : Dari Jawa Menuju Atjeh (jurnalisme sastrawi)
3. Nama : Nukila Amal
Judul buku : Laluba (kumpulan cerpen)
6. SAYEMBARA CIPTA PUISI REMAJA
Pemenang I
Nama : Dayinta Pramaharsi
Judul : ”Jika Aku Guru Sastra”
Alamat : Kumendaman MJ 2 No. 612
Jalan Pugeran Timur, Yogyakarta
Pemenang II
Nama : Tarmudi
Judul : ”Tentang Bahasa”
Alamat : Jalan Semboja Rt. 03/06
Pakembaran,Slawi, Tegal
Jawa Tengah,52415
Pemenang III
Nama : Kemas Ferri Rahman
Judul : ”Kami dan Kata-Kata”
Alamat : Jalan Batu Putih No. 72
Talang Pancur, Muara Duo, Oku Selatan
Sumatera Selatan, 32171
Pemenang Harapan I
Nama : Andreas Aswin
Judul : ”Sumbu”
Alamat : Jalan Martil No. 20
Kampung Ambon, Jakarta Timur, 13210
Pemenang Harapan II
Nama : Marfidah
Judul : ”Siluet Dunia Sastra”
Alamat : Wareng 33/11, Donomulyo
Nanggulan, Kulon Progo
Yogyakarta, 55671
Pemenang Harapan III
Nama : Moh. Nurul Kamil
Judul : ”Perdebatan Rahasia di Malam Luka”
Alamat : Jalan Raya Candi No. 27 Rt 01/Rw 11
Batang-Batang, Sumenep, 69473
7. LOMBA PEMBUATAN BLOG KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN
Pemenang I
Nama : Drs. Sawali, M.Pd.
Judul : Bahasa dan Sastra Indonesia: Membangun Karakter Bangsa
Tautan : http://cintabahasa.co.cc
Pemenang II
Nama : Siska Yuniati
Judul : Media Aksara
Tautan : http://mediaaksara.wordpress.com
Pemenang III
Nama : Didik Durianto, S.Pd.
Judul : Megaportal Bahasa dan Sastra
Tautan : http://literatur-bahasawan.blogspot.com
Pemenang Harapan I
Nama : Iqbal Nurul Azhar, S.S.
Judul : Pusat Bahasa Al Azhar
Tautan : http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com
Pemenang Harapan II
Nama : Babang Juwanto
Judul : Aku, Pengetahuan, Ilmu, dan Filsafat
Tautan : http://babang-juwanto.blogspot.com
Pemenang Harapan III
Nama : Kris Bheda Somerpes
Judul : Jejak Kata Buana
Tautan : http://krisbheda.wordpress.com
8. PENILAIAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DI MEDIA MASSA
Terbaik I
Koran Tempo (DKI)
Terbaik II
Kompas (DKI)
Terbaik III
Media Indonesia (DKI)
Terbaik IV
Republika (DKI)
Terbaik V
Sinar Harapan (DKI)
Terbaik VI
Suara Pembaruan (DKI)
Terbaik VII
Pikiran Rakyat (Jawa Barat)
Terbaik VIII
Seputar Indonesia (DKI)
Terbaik IX
Kedaulatan Rakyat (DIY)
Terbaik X
Jawa Pos (Jawa Timur)
9. FESTIVAL MUSIKALISASI PUISI TINGKAT DKI
Pemenang I : SMAK 5 Penabur Jakarta
Judul : “Lagu Tanah Airku” karya Piek Ardijanto Soeprijadi
Pemenang II : SMA Negeri 27 Jakarta
Judul : “Sebuah Rumah Jepara” karya Adri Darmadji Woko
Pemenang III : SMA Pelita III
Judul : “Rumah Puisi” karya Ajamuddin Tifani
Pemenang Harapan I : SMAN 62 Jakarta
Judul : “Lagu Tanah Airku” karya Piek Ardijanto Soeprijadi
Pemenang Harapan II : SMA Perguruan Ksatrya
Judul : ”Gerimis” karya Abdul Hadi W.M.
Pemenang Harapan III : MAN Pembangunan UIN
Judul : ”Lagu Tanah Airku” karya Piek Ardijanto Soeprijadi
10. FESTIVAL MUSIKALISASI PUISI TINGKAT NASIONAL
Pemenang I : SMA Negeri I Pekanbaru
Judul puisi wajib : “Malam Laut” karya Toto Sudarto Bachtiar
Judul puisi pilihan : ”Sunyi” karya Amir Hamzah
Pemenang II : SMA Santo Yoseph Bali
Judul puisi wajib : “Malam yang Susut Kelabu” karya Goenawan Muhammad
Judul puisi pilihan : ”Sia-Sia” karya Chairil Anwar
Pemenang III : SMA Negeri I Lembang
Judul puisi wajib : “Malam Laut” karya Toto Sudarto Bachtiar
Judul puisi pilihan : ”Rubayat Matahari” karya Jamal D. Rachman
Pemenang Harapan I : SMAK 5 Penabur Jakarta
Judul puisi wajib : “Bunga Gugur” karya W.S. Rendra
Judul puisi pilihan : ”Serenada Biru” karya W.S. Rendra
Pemenang Harapan II : SMA Negeri 1 Kotabesi, Palangkaraya
Judul puisi wajib : ”Bunga Bakung” karya Saini K.M.
Judul Puisi pilihan : ”Serenada Biru” karya W.S. Rendra
11. KUIS TIARA BAHASA
Pemenang I : SMA PGRI Depok
1. Mamat Rasmat
2. Jaka Dwi Juniardi
Pemenang II : SMAN 4 Jakarta
1. Annisa Vini Cahyati
2. Eva Dwi Pratiwi
Pemenang III : SMA Al-Azhar BSD
1. Julang Fahman
2. Sabrina Wahyu Wijayanti
Pemenang Harapan I : SMAN 63 Jakarta
1. Windi Riyadi
2. Falah Hilmi
Pemenang Harapan II : SMAN 21 Jakarta
1. Faradis Rahmawati
2. Rizal Azhari
Pemenang Harapan III : SMAN 65 Jakarta
1. Maimunah
2. Finesta Biyantika
12. DEBAT BAHASA
Pemenang I : Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Setia Budi
1. M. Noor Ichsan
2. Jarnuji
3. Fitriah
Pemenang II : Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia
1. Dewi Lestari
2. Julia Sarah
3. Pramita Nurhayati
Pemenang III : Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
1. Ana Monica Rufisa
2. Lia Kurniawati
3. Aang Arwani
Pemenang Harapan I : Program Studi Pendidikan Bahasa san Sastra Indonesia,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
1.Halimah Tusya Diah
2.Riatun
3.Wulan Widari Endah
Pemenang Harapan II : Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
FBS, Universitas Indraprasta PGRI,Jakarta
1. Winda Yulfamita R.
2. Sri Rezeki
3. EkoYulianto
Pemenang Harapan III: Jurusan Bahasa dan Sastra Arab,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
1.Denden Taupik Hidayat
2.Abdallah Sy
3.Nur Khayati Aida
13. DUTA BAHASA
Pemenang I
Provinsi : Bali
Nama : Made Dwi Setyadhi M.
Ni Nym. Krisna Kumalayani
Pemenang II
Provinsi : DKI
Nama : Bryan Gunawan
Linda Dwi Putri J.
Pemenang III
Provinsi : Jawa Tengah
Nama : Greget Kalla Buana
Vienna Paramitha A.
Pemenang Harapan I
Provinsi : Sumatra Barat
Nama : Loveandiyo M.R.
Intan Permata Sari
Pemenang Harapan II
Provinsi : Sumatra Utara
Nama : Edward Tosio Fransetia S.
Aminah Rizki Lubis
Pemenang Harapan III
Provinsi : Sulawesi Utara
Nama : Jerianto Bolang
Fergie S. Mahaganti
14. LOMBA KETERAMPILAN BERBAHASA INDONESIA BAGI PESERTA BIPA
Pemenang I
Nama : Sarah Dinsmore
Asal Negara : Australia
Pemenang II
Nama : Nicholas Mark
Asal Negara : Australia
Pemenang III
Nama : Nicholas Williams
Asal Negara : Amerika Serikat
(Sumber: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id)

08 November 2010

 Kenapa dan Bagaimana Rubah Hadir di Belantika Bahasa Indonesia?


Sobat,

Tidak sedikit bahasawan yang menghadirkan "satwa" ketika berbahasa, baik secara lisan ataupun tulisan. Tak terbilang jumlah pemunculannya, parahnya banyak pula dijumpai di lembar-lembar ilmiah. Mestikah destinasi bahasa yang kudu formal dibayang-bayangi selalu oleh si "fauna" tersebut?
Sumber:
unik.supericsun.com
 Dialah rubah. Sedikit saya segarkan ingatan dan pemahaman Anda perihal binatang ini. Rubah ialah karnivora kecil. Ada sejumlah 27 spesies rubah. Mereka termasuk hewan omnivora dan anggota terkecil famili Canidae (mamalia yang berhubungan dengan anjing). Mereka pelari ulung: cepat dan tangkas. Rubah bisa ditemui di semua benua, hidup di hutan, semak-semak dan padang pasir. Makanan rubah kebanyakan adalah tikus, vole, kelinci, telur burung, serangga besar dan daging bangkai anjing.
 Kenapa dan dengan cara apa rubah hadir di belantika bahasa Indonesia? Usut milik usut ternyata ada kekeliruan yang latah, kesalahan berbahasa yang nyaris jadi mafhum, yaitu pemakaian kata berimbuhan ubah. 
Tidak sedikit media massa, dalam jaringan ataupun media cetak, memakai istilah itu. Baiklah kita minta tolong paman Google untuk membuktikannya. 
 Sang paman melaporkan, setidaknya terdapat sejumlah 3.740.000 kata merubah. Wow jumlah yang sungguh fantastik.
Sobat, kita sepakat bahwa kata dasar ubah ketika mendapat imbuhan me- maka terjadilah  nasal (ng), menjadi mengubah, bukan merubah.

Yuk, kita perhatikan contoh kalimat berikut.
A. Parman yakin, ia bisa mengubah penampilan dan perilaku Parmin.
B. Parman yakin, ia bisa merubah penampilan dan perilaku Parmin.

Kalimat pada item A pasti membuat ibu/bapak guru senyum sumringah karena peserta didiknya mahir berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Sayang, pada item B menghadirkan suasana horor, absurd, dan gelitik, klenik karena Si Parman memiliki ilmu mengubah wajah, ia merubah, berubah menjadi rubah dan siap-siap menerkam Parmin yang lagi mendendangkan lagu Gang Kelinci-nya Eyang Titiek Puspa.




04 November 2010

Bahasa Tunduk pada Keganasan Merapi




Asap membubung di puncak Merapi, awal November 2010. Sumber: Kompas.com
 

Di medio Oktober 2010, Indonesia direpoti oleh bencana alam. Tsunami di Mentawai "mengangkat" ratusan hamba ke alam barzah. Gempa bumi Wasior, Papua, tak kalah tragis. Tak terhitung kerugian harta benda akibat tragedi tersebut. Bencana yang tak kalah prestise ialah erupsi Gunung Merapi. Tiap gunung teraktif di dunia itu berulah, ratusan media massa pasti berkompetisi memberitakannya ke dalam bentuk teks, gambar, audio, ataupun audiovisual. Dunia pun terkesima. Tiap insan—semestinya—mafhum dan mengamini akan kebesaran ciptaan-Nya.


Ada banyak ilmu yang didapat dari aktivitas alam tersebut. Ilmu hakikat bisa kita dapati bahwa manusia itu adalah makluk lemah. Ia tunduk pada keberaturan. Allah sebagai Sang Pemilik Hidup berhak mengelola alam seisinya. Ilmu kalam jua berserakan. Pemahaman, pengetahuan, wawasan, kosakata perihal kebumian, vulkanologi, kegunungapian semakin luas dan dalam.

Di sisi kebahasaan, pemakai bahasa Indonesia tak asing lagi dengan istilah: deformasi, lava, magma, erupsi, efusif, lahar dingin, asap solfatara, kubah, dan sebagainya. Saya hanya pengin berbagi tahu perihal erupsi versus meletus.

Sobat,
Selama ini, saya selalu menggunakan istilah "erupsi" untuk mengatakan proses keluarnya material, berupa batu besar-kecil, pasir, lumpur, dari perut Merapi. Pada peristiwa tragedi Merapi tahun 2006, ketika mengedit tulisan wartawan, saya disiplin dan konsisten mengubah istilah "meletus" menjadi "erupsi". Argumentasinya: Gunung Merapi memiliki kekhasan yang hampir tak dimiliki oleh gunung-gunung lainnya. Ia memuntahkan material dengan cara melelehkannya melewati punggung gunung. Ia tidak pernah memuncratkan atawa meletuskan material secara vertikal. Keunikan ini diakui oleh banyak pakar, praktisi vulkanologi sehingga tak sedikit ahli mengistilahkan batuk Merapi sebagai batuk terindah. Erupsi nan indah.

Saya juga pernah membuktikannya. Di tahun 2006 itu, saya sering menemani sang jurnalis foto ke areal terdekat Merapi. Ia memang teman yang militan dan total pada profesinya. Sosoknya elegan, tak kenal lelah, dan pemberani. Kami kerap bermalam di Dusun Kalitengah Lor, yang berjalan tak lebih dari 4,5 kilometer dari puncak Merapi. Di lain malam, kami bereksperimen dengan sudut pandang lain, misalnya di Balerante, Klaten, Jawa Tengah, dan Babadan, Magelang. Waktu itu Merapi batuk. Ia melelehkan lava pijar. Warnanya merona merah kekuningan. Ia meluncur deras diiringi gemuruh nan menggelegar.

Akan tetapi, di Oktober 2010, dunia tercengang. Merapi tak seindah dahulu lagi. Ia sudah tak mau sekadar erupsi. Ia benar-benar telah menunjukkan keangkuhan dan kegagahannya. Merapi pun meletus. Tak malu-malu, ia semprotkan awan panas (wedhus gembel) hingga radius 8 kilometer. Abu vulkanik tak segan ia muntahkan sampai Jawa Barat dan Kota Yogyakakarta. Semua orang gemas diselimuti takut mencekam. Dusun Kinahrejo dilibas tuntas. Mbah Maridjan sang juru kunci andalan Sultan Hamengku Buwono IX dan 33 warga diperkenankan menuntaskan tugas di dunia fana.

Akhirnya, sah-sah saja pastinya bahasawan mengistilahkan Merapi sedang meletus. Jadi, arahan ahli vulkanologi yang menyarankan pemakaian istilah "erupsi" telah terpatahkan oleh keganasan Merapi sendiri, sang empunya cerita.

Gunung Merapi telah meletus. Erupsi eksplosif tersebut mengeluarkan awan panas sampai radius 8 kilometer. Akhirnya, status Merapi tak sekadar Awas. Statusnya menjadi Kritis. Artinya, orang harus mengungsi terlebih dahulu supaya tidak dilumat habis awan panas yang bersuhu lebih dari 600 derajas celsius.




20 Oktober 2010


Susahnya Merumuskan Rambu Penunjuk Jalan


     Tajuk tersebut tidak bermaksud provokatif. Senyatanya, kita sebagai pengguna jalan pasti mafhum atas pusparagam redaksional petunjuk rambu umum, baik itu berupa teks ataupun imbauan memakai sesuatu dengan baik, aman, nyaman. Kita bayangkan betapa pemangku kepentingan—di antaranya pemerintah setempat,  pihak kepolisian—bermaksud baik agar sebuah petunjuk bermanfaat bagi kemaslahatan meskipun tak sedikit yang malah membingungkan.

     Kita masih ingat soal penulisan "Belok Kiri Jalan Terus". Saat itu, JS Badudu sempat memberikan kritik dari sisi bahasa. Rambu yang kerap dijumpai di kota priangan Bandung tersebut, menurut Badudu, malah tak mengizinkan orang belok ke kiri. Bagaimana mau belok ke kiri, lha, orang-orang disuruh jalan terus. Kalimat tepatnya ialah "Belok Kiri Langsung". 
      Setali tiga uang dengan kota yang punya Gedung Sate, di kota gudeg yang punya Istana Negara, Yogyakarta, petunjuk arah yang membingungkan juga kerap kita jumpai, yaitu rambu "Ke Kiri Ikuti Lampu". Tulisan berbahasa Indonesia tersebut umumnya disertai istilah asing "Left Turn Signal", "Turn Left Go a Head", "Straight Signal", "No Turn on Red". Dari sisi bahasa, satuan kata tersebut tentu multitafsir. Sah-sah saja orang berpendapat, "Aku harus ke kiri kalau lampu berwarna hijau". Orang lain akan berpendapat, "Aku akan melajukan kendaraan jika lampu sudah berwarna merah." Sah-sah juga apabila seorang pengendara berseloroh, "Aku tidak akan jalan-jalan karena lampu yang aku ikuti tidak jalan juga." Bagaimana mau jalan, lampu yang diikuti adalah lampu petromak, atau lampu penerangan  jalan yang sampai sepuluh tahun pun akan tetap di tikungan jalan. Momok itu semua karena ketidakjelasan acuan arahan "ikuti lampu"; lampu apakah gerangan? Parah lagi, kalau mengacu ke bahasa kuminggris, Turn Left Go a Head bisa saja kita terjemahkan bebas menjadi belok kiri "gundul pringis". 

     Di kota yang dipimpin oleh wagiman, wali kota yang gemar tanaman, Herry Zudianto ini, banyak rambu jalan yang berbasis sepeda kayuh. Ada istilah "Ruang Tunggu Sepeda" di perempatan-perempatan besar. Ada rambu "Jalur Alternatif Sepeda ke..." di banyak ruas jalan. Hatta penulisan kedua petunjuk itu pun belum bisa dikatakan sukses karena multimakna pula.




     Di sisi lain, ada ragam cara pak polisi ataupun petugas lalu lintas jalan raya menyampaikan imbauan cara memakai helm yang benar. Hari-hari ini acap kali kita saksikan iklan layanan masyarakat yang dibintangi oleh mbak pemenang kontes kecantikan. Doi memberikan arahan kepada sepasang pria dan perempuan yang berboncengan motor agar menggunakan helm hingga terdengar bunyi klik. Di berbagai sudut jalan yang stategis terpampang spanduk bertuliskan "Gunakan helm standar dengan baik dan talikan dengan kencang", " Pakailah helm hingga bunyi klik", "Klikkan helm agar anda selamat sampai tujuan".

     Fakta tersebut sangat mungkin juga terjadi di berbagai tempat di Tanah Air. Inilah persoalan pemakaian bahasa yang mestinya menjadi persoalan bersama antara pemerintah sebagai pembina dalam urusan berbahasa dan masyarakat sebagai pengguna bahasa. Tak berlebihan kiranya penyusunan rambu "Ke Kiri Ikuti Lampu", "Jalur Alternatif Sepeda ke Jalan...", "Ruang Tunggu Sepeda", dan lain sebagainya dijadikan bahan diskusi di ranah akademik, birokrat, hingga praktisi. Tidak tertutup kemungkinan juga melibatkan peran serta masyarakat, misalnya dalam wujud sayembara penyusunan redaksional rambu umum. Semua temuan, hasil kajian di level daerah-daerah tentunya akan ditarik ke pusat sebagai eksekutor.

     Kita ketahui, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta  Lagu Kebangsaan, di antaranya, mengatur rambu umum (dan petunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum).
     Semoga saja, payung undang-undang tersebut menyentuh level problematika yang dikemukakan di alinea-alinea sebelumnya. Alangkah aman dan nyamannya manakala ada standardisasi redaksional rambu petunjuk arah dan rambu umum lainnya. Jadi, ketika orang Papua motoran di jalan-jalan Yogyakarta tidak perlu waswas kena semprit petugas karena paham rambu untuk belok ke kiri-ke kanan dan sebagainya. Orang di Sulawesi tidak perlu bimbang berkelana di jalan-jalan di Surabaya karena imbauan spanduk tentang pemakaian helm yang baik sama dengan yang ia jumpai di kotanya.


19 Oktober 2010


Ada yang Salah dengan 
Pengajaran Sastra




Korupsi kian akut. Kolusi nepotisme masih saja bukan modus tabu. Semua bahkan dilakukan berjemaah. Partai A hingga partai Z, di institusi anu sampai institusi itu, dari level situ hingga tingkat sana selalu saja ada sang korup. Tatanan kehidupan geming dalam karut-marut, absurd.

Itulah cermin kekinian negeri. Semua bermuara pada: Ada yang salah dengan pengajaran sastra. Hatta sukar nian menemukan pejabat, politisi, atau siapa pun yang memiliki kepekaan terhadap kondisi yang dihadapi bangsa ini.

Demikianlah satu sorotan buah pikir Acep Zamzam Noor, pujangga kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, saat menyua dua ratusan ahli bahasa, pakar bahasa, praktisi bahasa, sastrawan, pendidik dalam perhelatan Sarasehan Kebahasaan dan Kesastraan bertajuk "Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Peningkatan Kualitas Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah" yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta, di Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta.

Ia membandingkan antara pengajaran sastra dahulu dan masa kini.
Betapa, besutan pengajaran sastar tempo doeloe mampu mencetak orator-orator andal ala Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Bung Tomo, Natsir, Hamka. Pidato mereka bukan hanya hidup dan indah, melainkan juga sarat makna mendalam yang bikin bulu kuduk siapa pun merinding dibuatnya. Kata-kata yang terucap merupakan rangkaian kata yang telah mereka pahami, hayati, dan jalani. Untaian kata terlahir dari lubuk hati, bukan sebatas luapan kata umpama busa di bak mandi.
Kontra dengan generasi milenium kedua ini. Semua kerap menyaksikan sejumlah politisi muda mengutip teks sastra di saat kampanye pemilu. Kutipan-kutipan tersebut dipasang di baliho-baliho, dan lain sebagainya. Sayang, tak ada keselarasan antara teks dan citra yang melekat pada pribadi mereka. Kata-kata yang terucap tidak matching dengan gerak bibir, ekspresi wajah, dan sorot mata, hingga gestur, apalagi suasana kalbu/hati. 

Penyair yang beberapa kali mendapat Hadiah Sastra Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda untuk puisi Sunda terbaik dan pernah tinggal tiga tahun di Italia ini menyodorkan fakta betapa pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah zaman dahulu sungguh berbobot. Taufiq Ismail pernah mengadakan penelitian mengenai pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah di sejumlah negara. Konon, pascakemerdekaan RI, siswa-siswi tak lagi wajib membaca buku sastra. Padahal, di sejumlah negara, tiap murid diwajibkan membaca 5 hingga 32 buku dalam tiga tahun masa sekolahnya. Padahal, sekolah menengah pada zaman kolonial mewajibkan peserta didik membaca minimal 25 buku, di samping kewajiban mengarang. 

Pada akhirnya, banyak warga Indonesia—dengan status, fungsi, peran masing-masing—tak cukup peka, bahkan "tumpul" terhadap kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini.

Sob, saya kira, bangsa ini masih ada kesempatan buat memperbaiki diri agar mampu mencetak ksatria piningit, sosok yang mampu menjadikan cahaya Indonesia mendatang lebih cerah. 
Caranya? Siapa lagi kalau bukan diri kita sendiri, kapan lagi kalau bukan sekarang, dan di mana lagi kalau bukan di sini, di negeri sendiri, buat berkontribusi dengan cara masing-masing.

Arkian, saya kutipkan saran Acep Zamzam Noor agar pembelajaran sastra makin ciamik.
  • Selain pengajaran sastra yang harus dilakukan lebih serius lagi di sekolah, kampus, maupun sanggar-sanggar, tampaknya dibutuhkan juga terobosan dalam upaya mendekatkan sastra kepada pembacanya, yaitu masyarakat luas. Terobosan ini harus terus dilakukan untuk menyadarkan semuanya, khususnya generasi muda, mengenai sikap kebangsaan yang kian hari makin sirna. Terobosoan harus kreatif, impresif, imajinatif.
  • Karya sastra jangan hanya terkerangkeng di kelas-kelas sekolah, ruang-ruang kampus, perpustakaan atau lembaran-lembaran kertas. Para sastrawan, aktivis, pencinta sastra harus sama-sama bergerak memperluas wilayah apresiasi dengan kemampuan serta latar belakang masing-masing. Pembacaan sastra, dramatisasi sastra, musikalisasi sastra yang selama ini sudah berjalan di banayk daerah harus terus dilakukan, di samping terobosan kreatif lainnya. Mal, supermarket, kafe, restoran, karaoke, radio, televisi lokal, madrasah, pesantren, pasar tradisional, gedung dewan, kantor pemda, kejaksaan, pengadilan, kodim, polres, bahkan penjara, hingga lokalisasi pelacuran akan sangat indah seandainya bisa dimasuki karya sastra.

Sosok

Acep Zamzam Noor

Tempat, Tanggal Lahir: Tasikmalaya, 28 Februari 1960.
Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Pada 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As ­Syafi'iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987).
Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993).
Mengikuti workshof seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996).

Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibu kota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur'an, Jurnal Puisi serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia. Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007), Rambut Ikal (Pustaka Azan, 2010), Marak Cahaya (dalam proses) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994.
Sejumlah puisinya termuat dalam beberapa antologi penting seperti Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987), Dari Poci I/ (Tiara, 1994), Ketika Kata Ketika Warns (Yayasan Ananda, 1995), Takbir Para Penyair (Festival Istiglal, 1995), Negeri Bayang-bayang (Festival Surabaya, 1996), Dari Negeri Poci 1// (Tiara, 1996), Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996), Utan Kayu: Tafsir Dalam Permaianan (Kalam, 1998), Bakti Kemanusiaan (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2000), Angkatan 2000 (Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Napas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan lain-lain.
Sejumlah puisinya juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan termuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), Aseano (Manila, 1995), In Words In Colours (Jakarta, 1995), A Bonsai's Morning (Bali, 1996), Journal of Southeast Asia Literature Tenggara (Kuala Lumpur, 1996), diterjemahkan Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (Ohio University Press, 2001), Poetry And Sincerity (Jakarta, 2006), Asia Literary Review (Hongkong, 2006) serta The S..E.A. Write Anthology of Asean Short Stories and Poems (Bangkok, 2008). Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan termuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004), diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan termuat dalam Orientierungen (Bonn, 2008), diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal dan termuat dalam Antologia de Poeticas (Jakarta, 2008). Belakangan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jepang dan Arab.
Puisi-puisi Sundanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modem Sundanese Poetry., Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan ke dalam bahasa Perancis oleh Ajip Rosidi dan Henri Chambert-Loir untuk Poemes Soundanais: Anthologie Bilingue 
(Pustaka Jaya, 2001).
Beberapa kali mendapat Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda) untuk puisi Sunda terbaik. Kumpulan puisinya, Di Luar Kata, meraih Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2000 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sedang kumpulan puisi Jalan Menuju Rumahmu selain mendapat Penghargaan Penulisan (SEA) Karya Sastra 2005 dari Pusat Bahasa, juga mendapat South East Asian Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand. Mendapat Anugerah Budaya 2006 dari Gubernur Jawa Barat. Mendapat Anugerah Kebudayaan (Medali Emas) 2007 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Kumpulan puisinya, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Namanya termuat dalam Ensiklopedi Sunda dan Apa Siapa Orang Sunda susunan Ajip Rosidi.
Tahun 1995 mengikuti Scond ASEAN Writes Conference di Manila, Filipina, mengikuti Festival Puisi Indonesia-Belanda dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Tahun 1997 mengikuti Festival Seni 1po/7 //, di 1poh, Malaysia. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Wintemachten Overzee di Jakarta, mengikuti Kuala Lumpur Southeast Asian Writers Meet di Kuala Lumpur, Malaysia. Tahun 2002 mengikuti Festival Puisi Intemasional Indonesia di Makassar. Tahun 2004 mengikuti Wintemachten Poetry International Festival di Den Haag, Belanda. Tahun 2006 mengikuti Festival Puisi Intemasional 2006 di Palembang, mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2006 di Bali. Tahun 2007 mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale di Magelang, menjadi mentor pads Bengkel Puisi Majlis Sastra Asia Tenggara (Masters) di Samarinda. Tahun 2008 mengikuti Temu Sastrawan Indonesia di Jambi, mengikuti Jakarta International Literary Festival di Jakarta, mengikuti Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Tahun 2009 mengikuti Nusantara Poetry tattering di Kuala Lumpur, Malaysia.

Sumber:
Makalah Acep Zamzam Noor dalam Sarasehan Kebahasaan dan Kesastraan, Yogyakarta 2010; acepzamzamnoor.blogspot.com



Ada Baiknya Ujian Mengarang Digaungkan Kembali...




Saya tergelitik setelah membaca opini Junaidi Abdul Munif di sebuah media massa. Artikel tersebut bertajuk "Hilangnya Ujian Mengarang". Lokus tulisan tersebut terletak pada pernyataan, "Mengarang erat kaitannya dengan komunikasi, baik tulisan ataupun lisan. Bagaimana seseorang menyampaikan gagasan, keinginan, kegundahan, dan segala perasaan yang dia rasakan. Semua itu memerlukan seperangkat bahasa yang baik agar menghasilkan output yang baik pula. Masyarakat yang jauh dari bahasa, kering diksi, akan memunculkan masyarakat yang kaku dalam berkomunikasi."


Nyatanya, porsi kegiatan menulis di sekolahan sangat sedikit. Buku-buku pelajaran maupun buku pendamping kurang memberikan arena yang luas buat peserta didik. Guru-guru pun seakan abai betapa penting kompetensi menulis. Semua kembali kepada target angka sebagai parameter kelulusan sebuah ujian.
Sah-sah saja pemangku kepentingan kejar target. Namun, akan lebih cantik lagi, di samping upaya menggapai nilai yang optimal an-sich, siswa-siswi didorong buat cakap mengarang. Kita beri rnereka lahan yang lapang buat menjabarkan imajinasi, kreasi, gagasan ke dalam bentuk tulisan bebas dan tema yang dibebaskan.

Ada banyak cara dan media agar para murid memiliki kemauan hingga kecintaan terhadap kegiatan mengarang. Di antaranya, pemberdayaan media majalah dinding, buletin sekolah, memperbanyak porsi portofolio mengarang, lomba-lomba mengarang. 

Berikut saya tampilkan secara utuh artikel JUnaidi Abdul Munif. Sekiranya esai ini bisa memberikan permenungan bagi semua pemangku kepentingan.

Hilangnya Ujian Mengarang
Oleh JUNAIDI ABDUL MUNIF
Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang


Bahasa Indonesia adalah pelajaran “kelas dua” dalam kurikulum pendidikan di Indonesia meski termasuk pelajaran yang masuk kategori wajib Ujian Nasional. Bahasa Indonesia memang diakrabi sehari-hari sebagai bahasa pengantar pelajaran di sekolah, materi kuliah, media massa, diskusi, film, sinetron, lagu, dan pengantar komunikasi di ruang publik,- terutama di kota.
Bahasa Indonesia dikondisikan sebagai pelajaran “legalitas-formalitas” karena bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia diharapkan menjadi “jembatan penghubung” berbagai suku di Indonesia untuk meneguhkan nasionalisme sebagai imagiend communities.
Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia kini hadir dengan gaya mengulas teknis berbahasa dengan baik dan benar secara teoretis. Bahasa Indonesia pun mirip “ilmu eksak linguistik” yang dipenuhi dengan “rumus-rumus” bagaimana membuat kalimat yang benar dan mengikuti kaidah EYD dan SPOK (subjek-predikat-objek-keterangan). Pelajaran Bahasa Indonesia meninggalkan ruang imajinasi, kreasi, dan nalar siswa yang potensial menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang asyik, menarik, dan integratif dalam komunikasi siswa.  
Mengarang sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia pada titik tertentu sering menjadi momok bagi siswa. Jika selama ini pelajaran yang menjadi momok sering disematkan untuk pelajaran eksakta (matematika, fisika, kimia), maka tampak lucu jika mengarang juga menjadi momok. Ini menandakan bahwa masyarakat kita sedang mengidap masalah akut jika untuk berimajinasi (mengarang) saja tidak bisa!
Menurut teman yang seorang guru bahasa Indonesia, mengarang hanya menjadi “sub kecil” dari pelajaran bahasa Indonesia. Mengarang ditampilkan dalam menulis pengalaman pribadi, cerpen, skenario dan lain sebagainya. Yang lebih ironis, dalam ujian, tes semester, dan UN, siswa disodori soal multiple choice (pilihan ganda) yang meniadakan ruang berpikir kreatif dan imajinatif yang dimiliki siswa. Mengarang bukan prioritas dalam ujian nasional.
Bandung Mawardi (Lampung Pos 9/6/10) berhasil melacak bagaimana buku pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1940-1960-an jauh berbeda dengan buku pelajaran di era Orde Baru. Buku pelajaran karangan K.St. Pamoentjak dan M.J. Halim  (Tjendrawasih: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rendah; 1949) banyak berisi cerita, syair, percakapan. Sedangkan B.M. Nur dan W.J.S. Poerwadarminta (Bahasaku: Kitab Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat; 1957) yang berisi latihan menatap, menyimak, merangkai kalimat, ceritakan dengan bahasamu sendiri, dan mengarang!
Materi tersebut, secara tak sadar telah membuat pelajaran Bahasa Indonesia dibuat sedekat mungkin dengan kehidupan siswa. Bandingkan dengan buku pelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang justru membuat siswa berjarak dengan bahasa Indonesia.

Keliru
Mengarang selama ini masih diasosiasikan sebagai pekerjaan “orang yang tak punya pekerjaan jelas”. Hanya pekerjaan anak-anak yang “aneh”. Lebih baik bermain layang-layang, gundu, dan pemainan yang mengasah aspek kognisi. Atau belajar ilmu-ilmu sains, eksakta, kedokteran, karena itu lebih menjamin masa depan anak. Maka sejak kecil anak dituntun dengan cita-cita dokter, insinyur, akuntan, arsitek, yang lebih menjanjikan masa depan (uang).
Mengarang erat kaitannya dengan komunikasi, baik tulisan atau pun lisan. Bagaimana seseorang menyampaikan gagasan, keinginan, kegundahan, dan segala perasaan yang dia rasakan. Semua itu memerlukan seperangkat bahasa yang baik agar menghasilkan output yang baik pula. Masyarakat yang jauh dari bahasa, kering diksi, akan memunculkan masyarakat yang kaku dalam berkomunikasi.
Pada titik tertentu, kegagalan berkomunikasi akan melahirkan sikap anarkis sebagai bahasa untuk menyampaikan perasaan. Habermas dalam The Theory of Communicative Action merumuskan sebuah perubahan sosial masyarakat yang selama ini dikendalikan oleh media, uang, penguasa, dan kapitalisme. Masyarakat, karena tidak tumbuh dalam kultur berbahasa yang imajinatif-reflektif, akhirnya hanya menjadi objek yang dikendalikan. 
Generasi muda, anak-anak sekolah, karena miskin perbendaharaan kata dan tak bisa “teori dan praktik” mengarang, memilih meluapkan emosinya pada kata-kata destruktif, pemberontakan di tembok-tembok, kamar mandi sekolah, dan ruang publik tempat mereka bisa “eksis”. Sekolah, rumah, lingkungan tak menyediakan ruang untuk menyampaikan pendapat secara elegan.           
Kalau di sekolah mereka diajarkan untuk mengarang, tentang pengalaman, perasaan, harapan, cita-cita, bahkan apa yang tidak disukainya, ini akan menjadi cara bagi seorang guru untuk memahami karakter dan permasalahan psikologis siswa. Sebab anak-anak seusia remaja, cenderung menyampaikan perasaan dengan apa adanya. Belum ada manipulasi cerita, dramatisasi kisah, dan lain sebagainya yang membuat cerita menjadi benar-benar fiktif.

Imajinasi        
Saat saya masih SD dan SMP, dalam ujian Bahasa Indonesia masih ada mengarang. Meski bentuknya adalah menceritakan gambar. Ada 4 gambar yang merupakan rangkaian peristiwa dan kita dipaksa untuk menceritakan gambar tersebut. Seperti menjelaskan ilustrasi. Namun, saat itu banyak teman yang merasa kesulitan untuk mengarang.
Dari sini bisa dipetik pelajaran, sudah ada sedikit upaya untuk merangsang imajinasi siswa lewat pemberian gambar berantai. Semestinya untuk pelajaran mengarang, siswa benar-benar dibebaskan mengarang apa saja, tentu dalam norma dan moralitas. 
Albert Einstein, fisikawan yang dijuluki manusia tercerdas abad 20, adalah seorang pembaca sastra, yang sering diasosiasikan sebagai hasil karangan dan imajinasi manusia. Semua mimpi besar, penemuan-penemuan teknologi, adalah hasil karya (produk) yang muncul dari sebuah imajinasi yang dihadirkan lewat karangan.
Orang berimajinasi, bagaimana manusia bisa terbang, berbicara dengan orang yang terpisah jarak. Lalu sains menangkap itu sebagai penemuan pesawat terbang dan telepon. Betapa sains dan imajinasi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sains berkembang karena adanya imajinasi yang tak terbatas.
Sejarah melupakan bagaimana pendiri bangsa ini adalah para pengarang juga. The founding fathers Indonesia; Tan Malaka, Soekarno, M Yamin, dan lain-lain adalah pengarang-pengarang besar yang tidak kehilangan sensibilitasnya sebagai politisi (pejuang) yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari karangan, imajinasi, mimpi besar itu bisa terwujud.

(Kompas, 18 Oktober 2010)