13 September 2010

Seri Cerita Remaja: Jejak di Atas Pasir


Dia seorang diri mengunjungi pantai itu. Sebuah kolam raksasa bernama laut selatan, dimana pada masa air pasang, ombaknya bergulung-gulung seperti mulut predator laut ganas terbuka lebar, seakan hendak menelan segala yang ada di sekitar bibir pantai.  Di sore itu, tepat tiga hari setelah kepergian kekasihnya, mata cekung sendunya memandang ke horizon batas samudra dengan langit putih kelabu yang menjadi latar. Sesekali rambut di keningnya menjadi tirai pengganggu pandangannya karena angin darat seketika berhembus kencang. Kalau sudah begitu, tangannya yang selama dia terdiam disimpan dalam saku celana, akan keluar salah satu untuk menyibakkan kembali. Kakinya seperti pilar  kuat terpancang dengan sepatu kets, celana jeans abu-abu, menyangga tubuh atletis berkemeja biru lengan pendek yang tidak dikancingkan, dan dilapisi oblong putih di dalam kemeja itu.
Dialah seorang pemuda dalam kehidupan hingar bingar dunia, life style, dan trend-trend masa kini yang menjadi kebanggaannya.  Namun sejak tiga hari lalu, dia ingin melepaskan tetek bengek pemberat jiwa itu.  Di sekitarnya, anak-anak dan orang dewasa berkeliaran. Mereka manusia-manusia pantai, penjaring ikan, pasangan-pasangan pemuda yang kasmaran, rombongan keluarga piknik, dan pencari kerang-kerang kecil terdampar yang mungkin bisa dibuat asesoris lalu dijual.
Arif, pemuda itu, langak-languk karena matanya bosan dan lelah memandang cakrawala tak berujung hanya untuk mendapatkan bayang-bayang kekasihnya. Matanya menemukan pemandangan yang segera menjadi perhatian baru.  Di tempat yang agak ajuh, di ujung bibir pantai, dengan jelas terlihat sepesang mamalia penguasa bumi berlawanan jenis sedang duduk di atas pasir basah. Sesekali ombak menyapu hamparan pasir tempat mereka bermesraan itu. Sang pria memrangkulkan tangannya ke pinggang gadisnya, dan si gadis dengan damai membalas uluran itu sambil meletakkan kepala di pundak si pria. Kemudian kepala mereka menyatu, dari jauh tampak menjadi siluet indah. Mereka tidak mempedulikan kalau-kalau ada mulut-mulut di sekitar pantai yang mempergunjingkan perilaku pemuda masa kini yang semakin tidak tahu malu. Tentu saja, karena si gadis itu berpakaian muslimah lengkap! Itu poin penting yang membuat Arif menjadi tertarik untuk mengawasi setiap gerakan keduanya. 
‘Ran, maafkan aku....’ Hatinya berbisik. Seolah-olah ada keyakinan bahwa permohonan itu sampai pada kekasihnya yang telah jauh di sana, di tempat yang tidak terjangkau olehnya. Terus tersimpan dalam bilik berharga dan tidak akan pernah pudar saat-saat melintasi berbagai peristiwa bersama kekasihnya, Rani.
Arif bertemu kekasihnya dua tahun lalu dalam sebuah pertemanan antar mahasiswa baru. Hubungan yang sangat biasa, tapi dia merasakan serabut-serabut halus di hatinya, lama-kelamaan mereka saling bertautan menjadi sebentuk jaring yang siap digunakan untuk menangkap buruan. Memendam berbulan-bulan hasrat untuk memiliki gadis buruannya, membuat pertahanan Arif tak sanggup lagi.
Arif mendatangi Ko Ceng, si mata sipit yang baik hati, untuk sekedar berbicara.  Pemuda perlente itu membiarkan tentang keinginannya mendapkan si Putri Bulan yang menawan. Sementara Ko Ceng mendengarkan sambil manggut-manggut, menonton Liverpool dan MU berebut bola di TV, dan menyembur-nyemburkan asap dari sigaret putih yang dijepit diantara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Si mata sipit itu sebenarnya heran, apa hubungannya Putri Bulan dengan temannya yang mulai tidak waras karena jatuh cinta ini. 
“Waaa....... Kurang sedikit lagi gol dan MU bakal menang! Sial!!” Teriakan itu mendadak meloncat dari tenggorokan Ko Ceng sebagai tanda bahwa dia kecewa dan sebal.
“Ceng! Aku ini lagi ngomong, dengar dulu.” Arif membalas juga dengan kesal, merasa tidak diacuhkan.
“Aku dengar kok apa yang kau beberkan tadi.  Kau mau memburu Rani kan? Si cewek masjid yang cantik itu. Bah! Kau sudah gila rupanya? Mana ada cewek alim kayak Rani mau sama preman?” Seloroh Ko Ceng membuat Arif menciut.
“Sembarangan! Dasar kampret! Style keren begini dibilang preman?” Arif tidak terima. Dia menarik kerah bajunya berusaha menunjukkan merek terkenal yang terjahit rapi di baliknya.
“Kau itu preman. Pengganggu ketenangan jiwa tiap cewek yang liat kau. Itu lah keuntungan, karena kau ganteng.” Ko Ceng menepis kerah baju yang dijulurkan Arif padanya.  “Kenapa tak kau cari saja yang lain? Jangan cewek masjid lah. Aku rasa akan sulit untuk ditaklukkan. Meisya atau Junie saja. Atau keduanya.”  Si mata sipit memberikan penawaran gadis-gadis populer di kampus.
Namun Arif mencibir, “Huh! Mereka lebih cocok disebut gundik. Udah nggak fresh! Coba itung, berapa banyak cowok yang macari mereka. Sorry lah yaw. Pilihanku tetap pada buah yang baru matang di pohon!”
“Terserah.” Ko Ceng tidak peduli. “Kalau kau sampai mendapatkan Rani, jangan lupa makan besarnya.”
###
Tatapan mata mereka mengisyaratkan kepemilikan antara satu dengan yang lain.  Seorang  pemuda perlente yang sudah sering mencicipi aroma-aroma malam dan di hadapannya gadis berjilbab, biasa dipanggil ukhti oleh kawan-kawannya, berdua dalam kelembutan cahaya lilin di meja makan sebuah restoran.  Sementara Ko Ceng dengan bangga dan penuh kemenangan  menikmati makan besarnya di meja lain seorang diri. Dia tidak peduli dengan kedua temannya yang kasmaran.
Sungguh gila! Rani jatuh dalam pelukan Arif dengan mudah. Tak disangka-sangka gadis itu telah menaruh hati padanya dan juga memendamnya. Rani takut ketahuan teman-temannya sesama aktifis masjid. Apalagi pengasuhnya, dalam liqo’, pasti akan memberi peringatan keras.  Tapi perasaan itu tidak bisa diganggu gugat.  Semakin lama akan semakin menyiksa. Makanya, begitu pemuda pujaannya mendekat, pada saat itu juga Rani memberi lampu hijau.
Selama ini, Rani harus menurut pada pengasuhnya. Dia dinilai sebagai aktifis dakwah wanita yang berkomitmen, dan menjalankan tugas dengan baik di organisasi keagamaan. Dia dan teman-teman seorganisasi rutin melakukan rapat mingguan, membuat program kerja, menjalankannya, dan membuat laporan pertanggung jawaban. Selama ini pula baginya, pria dan wanita adalah dua makhluk berbeda yang sangat berbahaya bila bersatu tanpa ikatan apa pun. Saling memandang wajah ketika mereka berbicara juga dianggap kesalahan. Rani hampir tidak mengenali wajah teman-teman pria sesama aktifis karena setiap kali ada pertemuan mereka berada pada sisi yang lain, di balik hijab.  Namun, Arif bukan anggota organisasi atau aktifis. Laki-laki itu biasa berkeliaran di mana pun.  Tak sadar, Rani menikmati  sinar mata bahagia dan senyum menyejukkan hati ketika berpapasan dengan si ganteng perlente. 
Pelan-pelan ikatan rohis yang begitu kuat membelenggu Rani pun luntur. Di restoran tempat mereka makan itu banyak pasang mata yang menatap dengan cibiran dan sindiran. Beberapa gadis saling berbisik pada yang lain. Seorang akhwat duduk di restoran seperti itu adalah langka, apalagi dengan pria, siapa lagi kalau bukan pacarnya. “Aku merasa ditatap orang-orang sedunia.” Rani berbisik.
“Berlebihan.” Gumam Arif. “Apa untungnya bagi mereka membicarakan kita?  Sudahlah, kamu santai aja. Aku lebih suka menikmati wajahmu daripada dengerin ucapan orang lain yang nggak berguna.”
###
“Maaf ya, aku nggak bisa ikut liqo’ hari ini. Aku ada janji penting.” Rani meminta ijin dengan mengulas senyum di hadapan pengasuhnya di depan masjid. Masjid di lingkungan kampus tersebut bukan hanya sebagai tempat umum bagi orang-orang  yang datang hendak beribadah, tapi juga telah difungsikan sebagai markas mereka.
Sang pengasuh, berjilbab lebih besar lagi dan berwarna gelap sehingga pakaiannya lebih pantas disebut jubah,  mengernyit. Kerutan di keningnya itu menyiratkan berbagai pertanyaan yang masih tersimpan dalam benak ‘Apa yang membuat semangat jihad dan komitmennya yang kuat selama ini menjadi kendur? Masalah apa yang sedang dihadapinya? Dan yang paling penting, kenapa pakaiannya lama-kelamaan menyusut?’ Pengasuhnya memandangi Rani. “Kamu sering nggak datang. Ada apa? Apa aku bisa bantu masalahamu?”
“....” Pikiran Rani berputar-putar mencari alasan tepat untuk kealpaan yang berulang-ulang.
Pengasuhnya yang baik hari mempersilakan, dengan catatan Rani harus mengerjakan sebuah tugas khusus. Meresume materi liqo’ hari ini, dua hari lagi diserahkan pada pengasuhnya, bagaimanapun caranya.
Dua bulan keaktifan Rani di organisasi menyusut. Gamis longgar, rok panjang lebar yang menutup hampir seluruh kakinya, serta jilbab besar yang juga menjulur sampai ke pnggang, sekarang menjadi celana jeans,  kemeja sepinggang lengan panjang,  jilbab yang menutup sampai sepanjang lengannya. Bagi orang lain yang bukan ikhwan atau akhwat, cara berpakaian Rani baru-baru ini adalah wajar dan tidak perlu di persoalkan.
Sekali lagi Rani merasa lega atas ijin itu.  Ada kepuasan untuk meninggalkan perkumpulan sejenak, istirahat sebagi aktifis dengan siklus kegiatan yang membosankan, serta keinginan merasakan kebebasan sebelum masa tuanya datang.  Dia berjalan dengan langkah ringan, menuju tempat parkir kendaraan. “Rif, kita ke kosku dulu. Aku jalan pakai motorku. Dan kamu pakai motormu.”
Kekasihnya tersenyum agak kecut. Kadang-kadang Rani menjadi menyebalkan karena dia menjaga jarak ketika mereka berada di lingkungan kampus.  Arif tahu, itu dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan  antar aktifis pemuda masjid.
###
“Apa yang kamu tulis? Aku boleh liat?” Tiba-tiba sebuah suara muncul di belakang Rani yang sedang menorehkan tinta hitam dari penanya yang terselip diantara jemari tangan kanannya pada selembar double folio. Gadis itu duduk di bangku melingkar di selasar sendirian. Mendadak wajahnya pucat, matanya melotot karena kaget. Sebuah ketakutan muncul dalam benaknya, dentang di dadanya seketika menjaadi cepat, tangannya kaku dan berkeringat dingin. Rani menoleh sesaat dan mendapati wajah Arif.  Lalu dengan sigap dia membereskan kertas, memasukkan double folio kembali dalam file case-nya dan menutup rapat-rapat.
“Oh, bukan apa-apa.” Keterkejutannya menjadikan nafasnya sedikit tersengal-sengal.  Namun sesaat kemudian dia merasakan ada yang mengganjal di dadanya. Salah satu tangannya diletakkan di dadanya dan menekannya. Dia berusaha menarik nafas dalam-dalam, berulang kali.
Lelaki yang sangat mencintainya mengernyit,  dia melihat ada yang tidak beres pada gadisnya.  “Kamu kenapa sih, Ran?” Dia duduk di samping Rani, memegang sebelah pundaknya, melihat ke wajah pucatnya, untuk memastikan keadaan itu. “Apa aku tadi terlalu mengagetkan kamu? Maaf.... aku nggak bermaksud jelek. Aku nggak tau kalau kamu punya gangguan fisik seperti ini.” Arif menyesal.
Gadisnya belum menjawab, tapi dia merogoh salah satu kantong di tasnya, mencari in healer. Dia menghirupnya beberapa kali. “Ini adalah nyawaku.” Ucapnya lirih sambil tersenyum.  Arif tertegun.
Peristiwa barusaja membuat Rani bersyukur karena kekasihnya telah melupakan secarik kertas berisi tulisan yang sebenarnya adalah resume liqo’ kemarin. Rani menemui salah satu anggota perkumpulan itu untuk bertanya lebih lanjut mengenai apa-apa yang dibicarakan bersama mbak pengasuh. Untuk soal perkumpulannya yang satu itu, Rani memang menutup mulut. Seperti ada suatu perintah yang mewajibkan bahwa perkumpulan bersama pengasuh, yang dalam bahasa rohisnya pengasuh itu disebut murabbi dan murobbiyah,  sebaiknya tidak secara blak-blakan diumbar di depan umum. Konon, siapa pengasuh mereka itu juga menjadi hal yang tidak boleh sembarangan disebut di hadapan khalayak. Pengasuh bisa memberi pengaruh melebihi orang tua anggotanya. 
“Ran, aku ingin ngajak kamu jalan. “
“Bukannya kita udah sering meluangkan waktu untuk itu?”
Arif menghela nafas. “Iya, tapi maksudku bukan cuma ke tempat makan atau ke kos, seperti biasanya.”
“Lalu kamu maunya kita ke mana? Aku nggak mau kalau pergi ke pub. Aku takut.” Suara Rani tetap lirih, berhati-hati.
“Rani kamu tau kan, sejak aku dekat sama kamu aku semakin jarang keluyuran sampai pagi. Aku tau kamu nggak suka tempat keluyuranku itu. Kamu suka pemandangan alam. Iya kan?”
“Ya.” Jawab Rani mantap. Di a membayangkan kekasihnya akan membawanya ke pegunungan yang sejuk atau pantai dengan pasir lembut jika kulit menyentuhnya.  “Aku sih mau. “
Jawaban itu cukup untuk membuat Arif memutar otak mengatur segala rencana.
###
Tujuh puluhan mahasiswa berkumpul di depan gedung rektorat universitas.  Mereka bersuara riuh rendah. Ada beberapa gadis yang bertanya-tanya satu sama lain, “Hei, hei.... dandananku sudah cantik belum?” Sementara yang lainnya akan berkata “Begitu sudah bagus.” Atau mengulurkan tangan membenahi sedikit asesoris milik temannya yang kurang pas letaknya. 
Seorang juru foto berkata lantang, mengatur barisan-barisan agar menjadi sedap dipandang. “Yang cowok di belakang yang cewek! Kalian berdiri di tangga itu! Ya bagus, begitu! Eh, kamu yang pakai kacamata, mbak yang pakai kemeja pink, tolong berdiri paling depan karen kamu terlihat pendek di belakang!” Si gadis berkaca mata yang disebut-sebut tadi manyun, merasa tidak senang disebut pendek.  Beberapa temannya cekikikan mentertawai.  Rani berada di barisan kedua. Dia cukup tinggi dibandingkan teman-teman sebayanya. Biar bagaimana, dia merupakan poin pada gambar foto yang akan dipajang oleh tiap mahasiswa, teman-teman seangkatannya, suatu hari nanti.  Gadis cantik yang malang.
“Oke, Siap! Satu.... Dua.... Ti.....ga!” Juru foto memberi aba-aba. Klik! Klik! Klik! Beberapa kali dia mengambil gambar. Dan hasilnya yang cukup banyak itu akan dipertimbangkan di studio untuk dipilih dua terbaik dan dijadikan foto angkatan.
Hampir setengah jam mereka dijemur di pelataran gedung rektorat hanya untuk diperintah oleh seorang juru foto, berpose dengan anggun dan berwibawa.  Makanya, ketika usai, otot-otot para mahasiswa yang kaku segera dilemaskan. Mereka tertawa-tawa puas. 
Arif duduk di salah satu ujung teras. Sekitar delapan lelaki duduk bersamyanya, termasuk Ko Ceng. Sesekali diliriknya si tambatan hati.  Dia melihat sosok yang agak lesu hari ini. Tapi dia terlihat baik-baik saja, nafasnya tidak tersengal-sengal seperti minggu lalu. Oleh sebab itu, rencana membawa kabur Rani ke suatu tempat sore nanti telah menjadi angan-angan yang hampir terwujud. Jantungnya berdebar cepat, dia memikirkan kejutan apa yang akan diberikan pada gadisnya.  Tiba-tiba terbersit dalam otaknya, apa yang ada di balik kaus lengan panjang biru muda itu? Pasti ada kulit lengsat yang lembut di balik celana jeans, dan rambut seperti apa di balik jilbab yang selalu menutupi kepala kekasihnya? Mengapa ada rasa penasaran?
Sementara Rani tidak pernah tahu perhatian dari jeluk pikiran Arif yang berlebihan itu.  Dia agak menjauh dari teman-temannya, berbicara di telepon genggamnya.  “Iya, Bu.  Aku baik-baik aja. Meskipun rasanya agak capek. Oh, nggak perlu. Ibu nggak perlu repot-repot ke sini nengok aku. Dengan istirahan, aku yakin semuanya akan kembali  seperti biasanya.  Ya., aku kan belum pernah lupa bawa obat. Jadi ibu tenang sana. Ibu juga hati-hati di rumah. Salam buat bapak dan adik-adik. Waalaikum salam....” Dia merasa ibunya kali ini berlebihan dalam mengkhawatirkan dirinya.  ‘Ibu pikir aku ini anak kecil apa? Aku sudah tau apa yang harus aku lakukan, Bu.’ Batinnya sedikit kesal.
###
“Wah, jadi ini yang kamu maksud, Rif?” Rani berlari-lari kecil lebih mendekat lagi ke bibir pantai menyambut jilatan ombak. Dia berhenti ketika ombak itu telah menggenang sampi betisnya. Kekaguman akan birunya laut dan langit yang membuat gradasi sangat memikat hatinya.  Di hadapan matanya ada wilayah yang sangat lapang, tidak ada penghalang matanya untuk memandang sampai ujung cakrawala. 
Arif tersenyum puas dan bahagia bisa membuat Rani senang.  Dia membiarkan dirinya dan kekasihnya tenggelam dalam guratan peristiwa yang nanti akan menjadi salah satu kenangan indah. Waktu tidak mampu mengusik mereka. Keduanya bersendau gurau, menggores-gores pasir basah, “Aku akan meninggalkan jejak di sini.” Tangan Rani masih terus membuat tanda-tanda tidak jelas di atas pasir kelabu.
“Nanti akan hilang disapu ombak.” Arif cemas.
“Tapi perasaanku padamu nggak akan hilang.  Kamu tau kenapa? Karena aku sudah mengikhlaskan diriku untuk kamu. Aku ingin kita bisa sama-sama terus.” Suara gadis itu terdengar sendu. Saat itu juga angin berhembus semakin kencang. 
Kaduanya duduk di atas pasir  basah dalam pelukan hangat cinta dan kedamaian.
Arif merangkulnya erat. Dia berbisik “Aku menginginkan sesuatu dari kamu. Tapi aku belum berani memintanya.”
Agak samar Rani mendengar bisikan itu. Dia semakin merapatkan tubuhnya pada lelaki itu karena merasa kedinginan.  Seketika Rani melepaskan pelukannya, dia merasa ada sesuatu yang sangat penting.
“Ada apa?” Arif mengerutkan keningnya.
“Tasku... Di mana tasku?” Rani menjadi tergagaap. Suaranya hampir hilang.  Dia berlari ke pasir kering tempat tas-tas mereka ditinggalkan.  Langkahnya gontai, terbatuk-batuk, tangannya diletakkan di atas dadanya yang sesak.
Arif membuntuti. Ada kekhawatiran yang sangat hebat, saat Rani merogoh-rogoh ke dalam tas. Hingga beberapa saat tidak juga dia temukan benda penting yang disebut ‘nyawa’ oleh si gadis. 
Rani menatap kekasihnya dengan air muka kehancuran, pandangannya sangat serius. Kepalanya menggeleng lemas. Sedangkan dadanya semakin tersa tertekan. “Uhuk...uhuk...uhuk....”
“Nggak mungkin! Pasti ada!!” Sekarang giliran lelaki itu, merebut tas Rani, menuang semua isinya ke atas pasir dengan sembarangan dan tergesa-gesa. Dia merunduk dan mengorek lagi apa yang telah dia tumpahkan.  Setelah apa yang dicari tidak juga diketemukan baru dia merasa tercekam dalam ketakutan dahsyat.
“Aku pasti lupa bawa in healer. Aku nggak kuat lagi.....” Suara gadisnya mendesah dalam kekalahan. Tubuhnya terkapar di atas pasir.
“Ran!” Dia beralih pada tubuh Rani yang lunglai. Beberapa orang berkerumun,  Arif memohon pada salah seorang pengunjung lelaki setengah tua agar berbaik hati mengantarkan gadis itu ke Rumah Sakit.
Mobil yang mengusung tubuh lemah itu melesat gesit. Diiiiiinnn....!! Sesekali suara klaksonnya melengking, meminta pada kendaraan lain agar mengalah untuk memberikan jalan pada mobil yang tergesa-gesa itu.  “Buat dia tetap terjaga! Sepertinya rumah sakit agak jauh letaknya.” Si sopir meragukan jarak rumah sakit dan tempat gadis itu mulai tidak sadarkan diri.  Dia, dan mungkin juga Arif, hanya tahu rumah sakit-rumah sakit yang terletak di kota. 
“Ran, buka matamu. Tolong jangan tidur”  Kekasihnya menyuarakan kata itu di dekat telinga Rani.  Kepanikan demi kepanikan menggerogoti Arif. Seorang lelaki adalah manusia juga.  Dalam kekalutan dia bisa saja lebih rapuh dari perempuan. Dia menguraikan air mata.  “Kamu harus bertahan.”
Sedangkan gadisnya tidak menjawab. Kesadarannya menurun, matanya sesekali terbuka ketika lelaki yang menjaganya dalam perjalanan itu melantangkan suara di dekat telinga Rani atau memukul agak keras wajah gadis itu. Tapi matanya tak sanggup membuka dalam waktu lama, kata-katanya tak lagi sampai di mulutnya untuk dikeluarkan, dan suara yang dia dengar semakin pelan.  Kebisingan di sekitar rasanya menjadi sangat jauh. Yang dia rasakan kemudian adalah kesunyian. 
###
Lima orang gadis berjilbab mengelilingi gundukan tanah di sebuah pekuburan. Gundukan itu belum kering seutuhnya. Baru kemarin liang di dalamnya digali dan diisi oleh jasad perempuan muda. Tiga diantarany memegang surat yasin dan membacanya, yang lainnya terdiam dalam doa yang terucap tanpa suara dari mulut mereka.
Hampir lima belas menit kelimanya terlihat khusu’, berkutat dengan pikiran masing-masing tentang apa yang terjadi pada dunia di dalam liang kelam tertutup tanah di hadapan mereka, murobbiyah dan teman-teman Rani dalam liqo’. 
Gadis berjilbab paling besar yang sejak awal berdoa dalam diam, kemudian menitikkan air mata penyesalan.
Yang berjilbab hijau melihat gelagat pengasuhnya, segera mendekat dan mengusap-usap pundaknya. “Kami juga sangat kehilangan, Mbak.”
“Tapi aku ada ganjalan. Aku nggak pernah tau soal kealpaan Rani di pertemuan karena dia punya pertemuan sendiri dengan pacarnya. Aku baru tau kalau dia kemarin pergi berdua ke pantai sama pacarnya. Ya Allah.... Astaghfirullah, kita dan teman-teman yang lain kan nggak tau apa yang mereka lakukan saat berdua. Dia bisa meninggalkan fitnah di kalangan teman-teman atau aktifis lainnya.” Suara pengasuh terdengar pilu.  “Padahal ada seoran murobbi yang  berniat menjadikan Rani sebagai  calon istri sahabatnya. “
“Ya Allah, hanya Allah yang paling tau apa yang Rani lakukan.” Ucap yang berjilbab putih. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, agak sinis suaranya.  “Dan sayang sekali ya, saat meniggal dia masih lajang.  Jadi dia belum menyempurnakan separuh agamanya dengan patuh pada suami dan mengurus keluarga.”
Sementara, sang kekasih yang terluka tidak mempedulikan penampilannya yang sekarang kusut. Di wajah tampan penghipnotis perempuan itu terlukis warna-warna duka lara. Sungguh sebuah pukulan hebat yang menyakitkan.
Ko Ceng mendatangi Arif. Sejak kemarin Arif hanya meringkuk di kamar kosnya. Si mata sipit merangkul karibnya. Temannya itu sangat membutuhkan penyangga dan pemandu untuk membuat hidup kembali damai. “Dia pasti baik-baik saja. Mungkin memang lebih baik begitu.” 

Penghiburan Ko Ceng justru tidak membuat si ganteng tenang. ‘Apa benar dia akan baik di sana? Di hadapan para malaikat penanya? Apa dia pergi dengan amal yang baik? Sedangkan pada hari itu kami sedang bersenang-senang berdua??’ Lelaki itu tertunduk lemas. Dia merasa sedih, menyesal, dan malu.  ‘Aku nggak tau cinta seperti apa yang kami jalani kemarin.  Aku memang bukan orang yang arif seperti namaku. ‘
###
Pasangan muda kasmaran meninggalkan bibir pantai. Suara gelak tawa mereka samar-samar terdengar di sela-sela tiupan angin darat. Mereka berjalan meninggalkan tempat yang banyak dikunjungi orang dan telah menjadi saksi bisu dari ribuan tragedi tiap pengunjung.  Arif melihat keduanya selalu berdekatan, saling mendekap satu sama lain. Mereka berjalan melewati Arif yang masih berdiri mematung.
Dengan langkah gontai, Arif menapakkan langkah, mendekat ke bibir pantai ke tempat dimana pasangan tadi duduk. Dia menemukan juga jejak yang ditinggalkan di atas pasir. ‘Sandi dan Rani’, sebuah kebetulan, nama gadis tadi sama dengan nama kekasihnya.  Kemudian sebuah ombak, seperti lidah raksasa, menjulur sampai tempat di mana goresan itu dan Arif berdiri, dengan cepat ombak menjilat pasir serta menggenangi kaki lelaki patah hati selama beberapa detik, dan jejak itu mengabur.
Tirai senja akan segera dijulurkan, pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan berjanji tidak akan kembali untuk jangka waktu lama, hingga rasa kehilangannya lenyap. ‘Ya Allah, ampunilah kami....’ Bisiknya penuh harap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar