28 September 2010

Kata Penghubung agar di Koran Kompas


Pengunjung blog yang berbahagia, saya pengin sedikit berbagi tentang penggunaan kata penghubung agar. Kebetulan saya menemukan kalimat yang memiliki konjungsi tersebut di sebuah berita bertema pemerintahan daerah di koran Kompas lembar Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berita tersebut bertajuk "Dukuh Korupsi, Warga Desak Pemecatan", terbit tanggal 29 September 2010. Iktisar warta perihal dukuh yang tersandung kasus korupsi dana rekonstruksi gempa DIY dan sekitarnya pada Mei 2006. Tak lekang dari ingatan, betapa dahsyat bencana itu. Lima ribuan warga DIY dipanggil lebih awal oleh Sang Kuasa. Ribuan rumah porak poranda. Infrastruktur banyak tak berfungsi. Waktu itu, wakil presiden menjanjikan bantuan puluhan juta rupiah bagi semua korban. Mata dunia tertuju di DIY, khususnya Kabupaten Bantul sebagai pusat bencana. Tidak sedikit lembaga donor, baik dalam negeri ataupun mancanegara, menggelontorkan bantuan kemanusiaan, baik berupa rupiah maupun benda. Nah, timbunan dana itulah yang menyilaukan mata pejabat tingkat dusun hingga kabupaten.

Sekadar info, dukuh adalah sebutan bagi kepala dusun. Institusi dusun merupakan bagian dari sebuah desa. Sebuah dusun terdiri atas beberapa RW. Beberapa RW terdiri atas beberapa RT. Sebuah RT terdiri atas puluhan kepala keluarga. Pimpinan tingkat dusun/dukuh itulah dinamai kepala dukuh (dukuh) dan kepala dusun. Sebenarnya masih ada petinggi bernama kamituwo. Istilah kamituwo hampir mirip dengan dukuh. Dia merupakan pimpinan tingkat dusun pula.

Kembali ke soal bahasa, saya kutipkan dua kalimat sebagai pembanding:

Kalimat pertama:
Warga Dusun Semampir, Panjangrejo, Pundong, Bantul, mendesak agar dukuh mereka dipecat dari jabatannya. 

Kalimat kedua:
”Kami sudah berulang kali minta agar kepala desa melakukan pemecatan, namun tuntutan warga tidak digubris,” katanya.


Bagaimana kawan menganalisis kekurangtepatan penggunaan konjungsi agar tersebut.
Saya punya pendapat, penempatan agar pada kalimat pertama tepat. Boleh jadi, warga tersebut meminta—untuk menghaluskan istilah mendesak—seseorang, kelompok, atau institusi segera memecat seorang dukuh dari jabatannya. Secara panjang, kalimat tersebut bisa tersirat:
Warga Dusun Semampir, Panjangrejo, Pundong, Bantul, mendesak (kepala desa) agar dukuh mereka dipecat dari jabatannya. 

Nah, kalimat kedua, saya kira, ada kerancuan, yaitu letak kata penghubung agar tidak tepat. Kalimat tersebut bisa bermakna lain, misalnya kami (warga) telah berulang-ulang minta (badan perwakilan desa/lembaga pilihan langsung warga alias DPRD-nya desa atau pak camat bahkan pak bupati) agar menyuruh sang kepala desa segera melakukan pemecatan. 
Kerancuan muncul karena posisi agar tidak tepat. Kalimat tersebut menjadi efektif apabila posisi agar diletakkan setelah kata kepala desa. Beginilah perbaikannya:

”Kami sudah berulang kali minta kepala desa agar melakukan pemecatan, namun tuntutan warga tidak digubris,” katanya.

Yah, begitulah manusia. Bisikan setan selalu tersuar di telinga kiri. Kesempatan dan niat selalu bekerja sama mengambil yang bukan haknya. Alih-alih beramanah menyalurkan dana bantuan ke yang berhak, eh, tidak sedikit pejabat yang malah berorientasi ke kepentingan pribadi. Kalau aku jadi pejabat, melakukan hal yang sama tidak ya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar