28 September 2010

Duh, Penerbitan Karya Sastra 
Makin Minim 
di Daerah Istimewa Yogyakarta


Sobat, ada informasi kurang sedap dari provinsi wisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Diwartakan publikasi karya sastra di DIY semakin minim. Tak sedikit penerbit buku cenderung menghindari, bahkan emoh, menerbitkan karya sastra. Kenapa demikian? Mereka berargumentasi: karya sastra kurang menjanjikan; apalagi puisi.

Tuturan tersebut disampaikan Sholeh UG, Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) cabang DIY. Ada apakah gerangan? Fenomena ini layak dikritisi baik oleh pemerintah selaku otoritas dan pelaku sastra, khususnya penulis, dan penerbit sebagai produsen. 

Alasan yang dikemukakan penerbit bahwa keogahan penerbitan karya sastra karena tiadanya lagi gelontoran dana dari penyantun. Saat itu, di awal tahun 2000-an, penerbitan karya sastra di provinsi yang memiliki Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini sangat masif. Intensitas penebitan prosa ataupun lirik estetis berjuluk puisi cukup tinggi. Sayang, eforia tersebut cuma berlangsung tiga tahun. Itu pun berkat kucuran dari Ford Foundation. Pascasubsidi dana, geliat penerbitan buku fiksi berangsur surut.  Kolaps, deh, penerbit-penerbit yang menggatungkan napas dan nadi kepada lembaga donor. Parahnya, kala itu produsen buku yang menggantungkan diri dari kucuran dana lembaga donor lebih banyak ketimbang penerbit mandiri. 

Susut hingga asatnya buku kaya imajinasi ini terbukti tatkala Balai Bahasa, sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tanggung jawab dan wewenang atas terjaganya geliat kebahasaan dan sastra di wilayah garapnya, kesusahan mencari karya sastra terbitan DIY. Tiap tahun, balai yang saat ini dipimpin oleh Tirto Suwondo, dan aktor bagian penelitian pengembangan bahasa bernama Edi Setiyono dan Wiwin, tersebut menggelar program penghargaan bagi penulis.

Aktivis, pengunjung, blog yang berbahagia. Ada beberapa variabel penyebab runtuhnya kejayaan produksi karya sastra. Setidaknya faktor surutnya buku-buku kaya pesan moral dan ajang "rekreasi" asyik karena karya sastra saat ini sulit di pasar. Hegemoni buku genre teknologi informasi, cara praktis melakukan sesuatu, motivasi, lebih disukai ketimbang karya sastra. Itu sah-sah saja karena tentu penerbit akan mengikuti selera pasar.

Toh, apabila penerbit tetap fokus menggarap karya sastra, mereka mesti selektif dan bertimbang rasa hanya menerbitkan novel dan kumpulan cerpen. Jenis tersebut masih digemari pembaca. 

Di lain sisi, sebenarnya cerpenis, penyair, novelis, penulis naskah drama yang mukim dan mengklaim diri ada di DIY boleh dibilang sangat banyak. Tiap tahun, penulis mula bermunculan dengan karya-karya yang semakin inovatif dan kreatif. 

Kuakan fenomena tersebut penulis serap saat berleha santai di salah satu kursi merah di dalam Gedung Societeit Taman Budaya Yogyakarta. Bangunan warisan budaya tersebut diapit oleh Pasar Beringharjo dan Pusat Jual-Beli Buku "Shopping Center" dan Taman Pintar Yogyakarta. Tempat yang tak jauh dari ruas Jalan Malioboro tersebut menghadirkan nuansa "riang" pada malam tanggal 25 September 2010. Perhelatan sastra panggung digelar oleh Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta. Komunitas ini mengklaim akan senantiasa setia menjaga dan menghidupkan sastra pertunjukan di Yogyakarta. Setidaknya, tiap bulan di hari tertentu, mereka berdiskusi perihal tetek bengek karya sastra. Hari Leo, sang pendiri, bersama kolega dan mitra komitmen menjaga ruang sastra dan membuka lebar pintu bagi siapa saja untuk terlibat dalam diskusi.

Malam itu, saya terhipnotis oleh performa Akapela Mataraman. Aksi panggung mereka oke. Penguasaan karakter tiap tokoh sangat terjaga dan teruji. Cerita bersetting saat penguasaan Orde Baru. Sang tokoh utama memutar radio usang warna putih ukuran jumbo bermerek impor. Siaran yang dicari adalah pitutur Pak Besut. Tokoh Jawa kaya nasihat itu mengisahkan perjuangan seorang pensiun yang begitu tidak dihargai. Pentas Akapela Mataraman itu diwarnai oleh aksi ciamik tokoh dua wanita. Mereka tampak cantik dan anggun malam itu. Berkostum ala perempuan desa dan wanita karier penenteng laptop, mereka bernyanyi begitu memukau, dari langgam jawa hingga lagu Keong Racun. Dari awal hingga purna, tawa tak bosan tersuar dari bibir tiap pelihat. Hingga di awang imajinasi, tumbuh sebuah khayal, andai aku punya cewek seayik dia :)

jemekmime.blogspot.com
Sastra panggung malam itu juga diisi aksi sastra gerak sang tokoh pantomin, Jemek Supardi. Sayang, tidak ada narasi ataupun brosur dari panitia yang menyebutkan karya sastra apa yang sedang digelar oleh Mbah Pardi. Akhirnya, aku cuma bisa bengong-bengong saja ketika doi berkarya telanjang dada dan hanya ditemani pijar lampu.

Rangkaian acara sebenarnya diperdanai oleh aksi Komunitas Gedek dalam bentuk musikalisasi puisi. Kelompok seniman dari Kali Code tersebut membawakan tiga puisi. Tetabuhan berupa kentongan, gamelan mengiringi sang pujangga.

Ada komunitas Assarkem. Mereka kumpulan anak kuliahan yang konsen pada pemusikan puisi. Kekuatannya ada pada sang vokalis yang memiliki suara indah. Misal doi ikut acara idol-idolan pasti ia menang, dengan catatan perolehan SMS bukan patokan penilaian.

Performa yang patut jadi diskusi lanjut adalah sastra dugem yang diawaki oleh Dewo PLO. Di brosur, sang doi mengklaim bahwa genre ini baru pertama kali di dunia. Mereka mengawinkan antara pembacaan puisi dan aksi langsung (live) sang pemutar musik, DJ. Sayang, penulis tidak sempat melihat aksi mereka karena diajak beringsut ke tempat lain, yaitu klatak Mas Bari di Pasar Jejeran, Imogiri, Bantul.

Sebagai catatan akhir, kalau catatan pinggir sudah dipunyai Gunawan Muhammad :) : seyogianya pemangku kepentingan, penulis sastra, dan penerbit senantiasa berinovasi menumbuhkan karya sastra berkualitas dan menyesuaikan dengan zaman sehingga pembaca masih suka prosa dan lirik, alih-alih penggemarnya makin banyak agar budaya baca selalu terjaga di negeri tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar