15 September 2010

Nilai Kasih Ibu


Seorang anak perempuan bernama Faizah sedang bermain masak-masakan bersama teman-temannya di halaman rumah orang tua Faizah. Sekelompok anak-anak itu tampak asyik. Mereka membuat ramuan dari dedaunan pohon untuk bahan masakannya. Faizah sedang menggendong sebuah boneka, dia pura-pura sebagai seorang ibu.
Tiba-tiba ibu Faizah memanggil dari beranda rumah. “Faizah, tolong belikan sabun krim untuk cuci piring di warung Mbok Darmi. Banyak sekali piring kotor bekas makan siang.” Pinta ibu.
Wajah Faizah langsung berubah kecut, “Tapi aku baru asyik bermain, Bu? Warungnya juga agak jauh. Siang ini kan panas, Bu.”
 “Sebentar saja, setelah itu kamu boleh main lagi.” Kata ibu.
Dengan sedikit terpaksa Faizah menuruti perintah sang ibu. Dia berlari kecil ke warung Mbok Darmi untuk membeli sabun. Selesai menjalankan tugasnya, dia bermain lagi bersama temannya.
Sore harinya, ketika anak perempuan bernama Faizah itu capai bermain masak-masakan, terdengar suara ibu memanggilnya lagi. “Faizah ingin jadi anak rajin bukan? Sekarang Ibu minta tolong kamu untuk menyapu halaman sekaligus menyiram tanaman ya?”
Faizah yang sedang menonton TV itu kembali bermuka muram. “Yaaa....Ibu. aku kan sedang nonton film kartun kesukaanku, Bu.”
Ibu tersenyum, “Film itu sudah pernah ditayangkan beberapa waktu lalu dan kamu sudah menonton episode tersebut. Jadi kamu sudah tau jalan ceritanya.”
Untuk yang kedua kalinya, Faizah melaksanakan tugas dengan perasaan malas. Dia mengambil sapu lidi dan mengisi gembor untuk menyiram bunga-bunga yang ditanam ibu.
Malam harinya setelah makan malam, lagi-lagi ibu meminta bantuan Faizah untuk membereskan meja makan. Dan seperti yang sudah-sudah ada saja alasan yang dikatakan Faizah, walaupun pada akhinya, anak perempuan itu menuruti juga apa kata sang ibu.
Keesokan harinya, Faizah bangun agak terlambat. Selesai shalat subuh dia bergegas mandi agar ke sekolah tidak terlambat. Ibu memeriksa kamar si sulung dan mendapati bahwa kamar itu masih belum rapi. Maka setelah Faizah selesai mandi, ibu meminta putrinya untuk membereskan tempat tidurnya.
“Kalau Faizah terlambat ke sekolah bagaimana?” Alasan itu dijadikan senjata.
Ibu berdalih, “Merapikan sprei, melipat selimut, dan menata bantal guling itu tidak membutuhkan waktu lama, Nak. Kamu pasti bisa.” Seperti biasanya, anak itu mengerjakan dengan wajah cemberut.
Siang hari, Ibu melihat Faizah pulang dari sekolah lewat pintu samping rumah. Dengan cepat ibu yang sedang menggendong adik berdiri di depan pintu dan memanggil Faizah, “Nak, tolong buankan sampah di dapur ke bak sampah pinggir jalan. Tempat sampahnya sudah penuh. Biasanya siang ini tukan sampah lewat, biar sekalian dibawa ke tempat pembuangan akhir.”
Faizah menghela nafas sebal. Dia benci dengan yang namanya membuang sampah karena sampah adalah barang yang kotor dan menjijikkan.
Akhirnya Faizah pun membuat perhitungan kepada ibunya. Dia menulis di selembar kertas lalu disodorkan pada ibunya yang sedang memasak sore itu. Ibu menerima dan membara isinya.
‘Upah membantu itbu : pergi ke warung Rp 20.000, menjaga adik : Rp  20.000, membuang sampah Rp 5.000, membereskan tempat tidur Rp 10.000, menyiram bunga Rp 15.000, menyapu Rp 15.000, jumlah Rp 85.000.’
Selesai membaca, ibu tersenyum kemudain mengambil pena dan menulis di balik kertas yang sama. ‘Mengandung selama sembilang bulan : gratis, melupakan rasa sakit saat melihatmu lahir : gratis, jaga malam karena kamu menangis : gratis, khawatir memikirkan keadaanmu : gratis, air mata yang menetes karena kamu : gratis, menyediakan keperluanmu selama ini : gratis, jumlah nilai kasih sayang ibu kepadamu : GRATIS.’
Sejak saat itu, Faizah mulai mengerti mengapa ibu memberikan pekerjaan padanya. Itu karena ibu menyayanginya dan ingin agar Faizah belajar agar kelak jika dewasa tidak mengalami kesulitan. Lama-kelamaan Faizah merasa senang membantu pekerjaan ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar