27 September 2010

Kenapa 1 Lukisan Bisa Bernilai Rp 1 Miliar, sedangkan 1 Karya Sastra Tak Lebih Rp 1 Juta?


   Itulah pertanyaan seloroh yang dilontarkan teman, seorang redaktur senior sekaligus kepala sebuah biro koran nasional di Yogya. Manggut-manggut juga merespons pernyataan tersebut. 

Pembaca yang pengamat seni tentu ingat pelukis 1 miliar: Djoko Pekik. Ia berjuluk pelukis satu miliar karena lukisannya, Indonesia 1998 Berburu Celeng, terjual Rp 1 miliar dalam satu pameran di Yogyakarta pada tahun 1999. Berburu Celeng bersama dua lukisan lain, yaitu Susu Raja Celeng (1996) dan Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita 2000, merupakan sebuah trilogi. Trilogi tersebut adalah lukisan paling berkesan bagi seniman ekstentrik  asal Purwodadi, Jawa Tengah, ini di antara 300 karya lukisnya.

Dari obrolan ringan dengan beberapa pelaku seni, kurator, pekerja di galeri-galeri seni, sudah jadi rahasia umum betapa perupa yang telah punya nama selalu diburu lukisan-lukisan mereka. Tak kecil, kolektor membayar mahal untuk pigura tanggung pun. Tak semata milik sang maestro, bernama, pemula pun tak sedikit ramah disonggong limpasan rupiah.

Timbullah tanya di hati, kenapa ya karya sastra tulis yang juga merupakan proses pergulatan batin, pengimajinasian, olah rasa, kontemplasi melalui media aksara tidak sebombastis karya visual tersebut? Bukankah keduanya sama-sama berpijak atas nama keindahan, seni, dan meniscayakan proses apresiasi.

Sebuah cerpen yang terhias di koran kaliber nasional hanya dihargai tak lebih dari sejuta rupiah. Di lokalitas, koran hanya mau memberi "jasa penghargaan" tak hingga lima ratus ribu rupiah, dua ratus lima puluh ribu rupiah.

Di ranah sayembara penulisan karya prosa, puisi, penyelenggara tak lebih memberikan nominal di bawah digit dua. Nilai lebih, mungkin, terpanen ketika seorang produsen mampu mendapat label penghargaan-penghargaan yang berujung pada "pengakuan" hingga kompensasi ratusan juta rupiah saja yang terselenggara oleh yayasan, institusi, organisasi, komunitas, bahkan negara. Itu pun mesti melalu proses panjang, ketulussetiaan untuk senantiasa berkarya. Artinya, tidak setiap cerpenis, novelis, penulis naskah drama, pujangga, penulis naskah drama bergelar sang untung.

Naif memang, membicarakan proses penciptaan karya sastra apabila melulu dikaitkan dengan lembaran duit. Akan tetapi tidak dimungkiri bahwa kompensasi merupakan muara. Tujuan sebuah keinginan dan tentu berkelindan dengan semangat untuk selalu menorehkan karya.

Tidak sedikit tukang kebun kata berseloroh, seumur hidup penulis tidak bakal kaya.

Permenungan atas ketakasyiknya penghargaan karya sastra bukan sesuatu wilayah tabu, haram. Sah-sah saja semua berkontribusi memberikan tutur, ada apa sebenarnya dengan ladang-ladang sastra di Indonesia. Apakah petani kata sebatas tetap istikamah mencangkul, menyiangi, mengairi, memupuk lahannya supaya tumbuh subur dan memanen karya yang keemasan. Namun, di sisi lain, penghargaan terhadap karya tak lebih dari harga sebuah kotak ajaib putih-hitam 14 inci?

Peladang kata yang gemerlap sebenarnya telah bermunculan. Terbuktikan, pekarya sastra tak selamanya terpuruk dalam ketakadaapresiasi. Deretan pesohor telah jadi simbol dan teladan. Siapa yang tak kenal Andrea Hirata, Habiburrahman el Shirazy, Abidah El Khalieqy? Sohor, kompensasi berkelindan manis atas dedikasi dan loyalitas mereka bercocok tanam kata. 

Semoga bukan lantunan nada utopi, ironi apabila selalu ada slogan buat semua pekerja kata: kencangkan ikat pinggang, tegakkan kepala buat selalu berladang prosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar