Tergelitik juga saya ketika seorang teman yang bukan pegawai bahasa—alih-alih pekerja bahasa, berseloroh, "Benar tidak ya keterangan gambar di televisi itu. Dia, kan, orang yang kerjanya di kebun dan setiap hari mengurusi pohon salak, kok, dikatai pegawai perkebunan."
Sebagai "kuli" bahasa, saya terkesima dan terdecak dengan komentar sobat yang oleh teman-teman digelari Paman Gembul itu. Insting logika bahasa saya tertawan. Saya mencoba mereka-reka, mengendus-endus rasa, menggeliatkan memori pengalaman berbahasa selama puluhan tahun, hingga akhirnya terluncur seloroh balik buat si paman, "(Mungkin) si dia adalah pegawai bagian administrasi yang sebenarnya tugasnya di dalam kantor berkutat dengan pembukuan dan arus keluar masuk uang tetapi berhubung banyak pekerja cuti maka dia diperbantukan di kebun salak buat memangkasi daun-daun yang kering, Bro...".
Ah, akhirnya aku adukan soal ini ke sang KBBI, yang di edisi terbungsu ini diambil alih oleh perusahaan media papan atas, PT Gramedia Pustaka Utama.
Sobat pembaca mungkin menganggap tulisan ini lebay, alay, kacangan, atau murahan. Hehehe... Namun, sebagai pencinta bahasa Indonesia, ada baiknya juga ya kita mendiskusikan secara santai, sambil minum kopi gula sedikit dan ditemani pisang goreng yang "mongah-mongah" pascadientas dari kawah candradiwajan. Pertanyaannya, untuk urusan UUP ini, alias ujung-ujungnya perut, mestikah ada stratifikasi atawa pembedaan? Ah, stratifikasi piye tho, Dik? Kan tidak ada bedanya. Dua-duanya, kan, sama-sama menyatakan bahwa ada seorang pekerja dan seorang pegawai yang sama-sama bekerja demi menghidupi anak, istri, keluarga, istri tetangga, atau siapalah. Eit, ada tho bedanya. Buktinya, Paman Gembul tadi melukiskan tanda tanya besar: apa bisa seseorang yang lagi bekerja di kebun dibilang pegawai. Ya sudahlah (mengutip Dek Bondan Prakosa), kita nukil KBBI-nya sekarang.
Di halaman 422-lah tersurat lema gawai untuk mengetahui nosi pegawai. Diartikan bahwa pegawai ialah pekerja di kantor, karyawan. Sampel kalimatnya: Ayahnya adalah pegawai PT Kereta Api.
Di nomor kertas 680 bermukimnya istilah kerja untuk mendapati makna pekerja. Dikatakan bahwa pekerja adalah 1. Orang yang bekerja; 2. Orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Secara terang benderang, di bawah lema tersebut juga dikategorikan macam-macam pekerja; pekerja ahli merupakan pekerja yang sudah dididik dan sudah memiliki keterampilan untuk melakukan suatu pekerjaan, pekerja harian merupakan buruh/karyawan yang upahnya diperhitungkan setiap hari ia bekerja, pekerja kasar merupakan buruh yang melakukan pekerjaannya dengan fisik (seperti pemikul barang, kuli bangunan, pekerja perbaikan jalan, pekerja musiman merupakan pekerja yang bekerja hanya pada musim-musim tertentu, pekerja pabrik merupakan buruh atau karyawan pabrik yang tugasnya lebih banyak bersifat pekerjaan tangan tanpa tanggung jawab penyeliaan, pekerja seks komersial merupakan orang yang mencari nafkah dengan cara menjual diri, dan pekerja terampil merupakan tenaga kerja yang memiliki keahlian tertentu yang diperoleh dari pendidikan khusus.
Wow, banyak pula kategori untuk pekerja. Kalau demikian, berarti dominasi orang di Indonesia adalah pekerja. Sungguh kasihan nian para orangtua, nenek-kakek, buyut, leluhur mengetahui anak, cucu, cicitnya gagal menjadi apa yang mereka inginkan. Pastilah tiap sesepuh, tetua berdoa dan berharap, anak-anak keturunan mereka menjadi seorang pegawai. Mereka rela berpeluh keringat, berkeluh kesah, menjual sawah, ladang, sapi, sampai kelinci demi menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Jadilah sarjana. Jadilah pegawai. Kok rasanya tidak ada orangtua yang menghendaki anaknya jadi pekerja.
Di sisi lain, egoisme dan pengultusan istilah PEGAWAI haruskah diharamkan bagi orang yang tidak punya kantor, tidak punya slip gaji, tidak punya kartu karyawan, tidak punya nomor induk, tidak punya nomor ekstensi, tidak punya tunjangan hari tua, tidak punya tunjangan hari raya, tidak punya renumerasi yang selalu naik dari tahun ke tahun, tidak punya tunjangan anak sekolah/istri melahirkan, tidak punya jamsostek?
Tertawakah banyak orang ketika ada sahabat-sahabat kita menabrak menara gading ke-pegawai-an dengan mengatakan bahwa Aku seorang pegawai harian, bahwa Aku seorang pegawai kasar, bahwa Aku seorang pegawai lepas, bahwa Aku adalah seorang pegawai seks komersial?
(Mungkin) penyebutan yang sedikit lebih kece ini setidaknya bisa sedikit melipur nestapa mereka yang menggendong kecewa tak bisa mengabulkan harapan orang tua menjadi pegawai kantoran, bisa sedikit memberikan seringai senyum dan kebanggaan bahwa aku juga pegawai..... Kenalkan nama saya Rembulan, saya adalah pegawai rumah tangga. Saya punya teman pegawai seks komersial. Dia tinggal di samping seorang pegawai pemungut sampah di kompleks rumahnya seorang pegawai musiman.
Ah, apalah artinya sebuah penyebutan. Begitu kata Paman Gembul sambil mengerubuti tubuhnya dengan selimut tipis karena udara malam itu sungguh pekat. "Tidur, Bro... besok, kan, kamu kerja jadi seorang pegawai bahasa di kantor tercinta," katanya, mengakhiri perbincangan malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar